Integrated Farming System ala Rizki Hamdani, Pertanian Berkelanjutan Untuk Majukan Negeri

ADA SATU tren yang meningkat terus-menerus dan tak bisa kita mungkiri, yakni minat generasi Z pada dunia teknologi. Siapa yang kini tak pegang gawai? Setiap hari akses informasi terbuka luas berkat kecanggihan Internet. Hiburan dan pengetahuan tinggal dipilih sesuai minat dan kebutuhan – semuanya bisa dinikmati dengan ketukan atau sapuan jari selama paket data mencukupi.

Maraknya digital marketing telah mendorong lahirnya kreator konten dengan pendapatan yang mengagumkan. Tak heran jika semakin banyak anak zaman now yang tergiur untuk menjadi content creator karena pekerjaan bisa dilakukan secara remote di rumah dengan kebebasan waktu dan penghasilan.

Menurunnya minat pada pertanian

Memang menyenangkan berburu cuan dari bidang yang disukai, apalagi dimudahkan oleh platform teknologi digital yang semakin canggih dan inovatif. Namun yang agak terlupakan adalah membangkitkan minat generasi muda pada bidang pertanian.

Pertanian memang unik, di satu sisi dianggap sebagai bidang yang tidak menjanjikan secara ekonomi. Ongkos produksi mahal, biaya buruh tinggi, tetapi harga jual rendah sehingga kerap jadi keluhan. Namun di sisi lain, kita butuh makan yang bisa terpenuhi lewat kegiatan cocok tanam.

Dengan kata lain, pertanian bisa menjadi dasar mewujudkan kedaulatan pangan guna mengikis kelaparan dan akhirnya kemiskinan di belahan dunia mana pun. Bukankah ironis, misalnya, jika di negeri kita tercinta terjadi tragedi kelaparan sementara Indonesia termasuk negara agraris yang tanahnya subur dan mudah diolah untuk menumbuhkan nyaris apa saja?

Kabar buruknya, sebagaimana diberitakan oleh CNBC Indonesia, penurunan pekerja pada sektor pertanian akan terjadi akibat penuaan, ditambah sulitnya regenerasi petani di Tanah Air.

Pertanian bukanlah bidang yang seksi untuk digeluti sehingga menarik minat anak muda, khususnya Gen Z. Survei oleh Jakpat menemukan bahwa ternyata hanya ada 6 dari 100 generasi Z berusia 15-26 tahun yang ingin menggeluti bidang pertanian. Alasan Gen Z tak tertarik menekuni bidang pertanian sebagai sumber pendapatan bisa dilihat dalam grafik berikut.

Usaha di bidang pertanian boleh dibilang untung-untungan. Modal besar biasanya karena harga pupuk yang cukup tinggi dan kerap langka, sebagaimana yang dikeluhkan para petani di desa saya. Selain itu, bagi Gen Z menjadi petani bukanlah opsi ideal sebab tak terlihat mentereng dan tak menjanjikan peluang hierarki karier.

Sorgum yang bikin kagum

Padahal Indonesia sangat kaya dengan beraneka sumber pangan lokal yang bisa dikembangkan menjadi komoditas alternatif dengan harga cukup mahal. Sebut saja sorgum atau garai yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan gondem. Semasa kecil tanaman ini sangat populer di desa sebagai pengganti nasi.

Garai atau sorgum terbilang tanaman yang gampang dibudidayakan. Selain biaya perawatan yang murah, sorgum juga bisa ditanam secara tumpang sari dengan tanaman lain misalnya padi gogo, kedelai, kacang tanah atau tembakau. Mau dikembangkan sebagai tanaman tunggal pun bisa sebagaimana yang belum lama ini saya saksikan di Jombang saat mengunjungi anak di pondok pesantren.

Ajaibnya lagi, sorgum kian menarik sebagai komoditas pertanian lantaran dalam satu kali tanam, dia bisa dipanen lebih satu kali sehingga sangat cocok dipilih berkat produktivitasnya yang tinggi. Biaya produksi rendah dan hasil tinggi, bukankah impian setiap petani?

Lebih-lebih sorgum bisa dibudidayakan di berbagai spektrum medan, mulai dataran rendah hingga dataran tinggi dengan iklim tropis-kering sampai iklim basah. Selain itu, menurut data Departemen Kesehatan RI, biji sorgum punya kandungan protein, kalsium, zat besi, fosfor, dan vitamin B1 yang lebih tinggi daripada beras.

Dengan demikian, sorgum lebih aman dikonsumsi bagi penderita diabetes. Batangnya tak kalah hebat sebab bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak serta diolah sebagai etanol. Jadi bukan cuma sumber energi hijau, melainkan bahan pupuk organik dari seluruh bagian sorgum. Ajaib bukan?

Kelompok Santri Tani Milenial (KSTM) solusi masuk akal

Ternyata, sorgum yang saya lihat di jalanan Jombang merupakan hasil kerja keras Rizki Hamdani yang telah mendorong pertumbuhan sorgum di wilayah tersebut. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, para petani di Jombang mendapatkan manfaat ekonomi dari tanaman ini serta mendapat kepastian konsumsi alternatif untuk mendukung ketahanan pangan di masa depan.

Rizki Hamdani dorong lahirnya petani muda (Foto: SATU Indonesia)

Yang membuat saya lebih bahagia adalah kenyataan bahwa semakin banyak anak muda yang bersemangat menjadi petani padahal generasi milenial selama ini sepertinya tidak begitu antusias untuk menggeluti bidang agrikultur. Atas keberhasilannya menginspirasi generasi muda untuk mau bertani lewat Kelompok Santri Tani Milenial (KSTM), Rizki pun diganjar dengan SATU Indonesia Awards ke-11 pada tahun 2020 dari PT Astra International, Tbk.

Dari nama kelompok tersebut termuat tiga kata utama: santri, tani, dan milenial yang menandakan adanya keterlibatan generasi muda dalam bidang pertanian yang Rizki mulai dari pondok pesantren. Ketekunan Rizki membuktikan bahwa santri tidak boleh menggantungkan biaya sepenuhnya pada orangtua atau hanya sibuk mengaji saja. Mereka bisa produktif lewat pertanian dan peternakan. 

Petani bisa sukses

Rizki Hamdani meyakinkan bahwa baik petani maupun peternak sama-sama punya peluang untuk sukses. Ia memulai programnya di Pondok Pesantren Fathul Ulum (FU), Desa Puton Kec. Diwek, Jombang yang kebetulan kini menjadi tempat anak saya menimba ilmu. Dipilihnya pesantren ini sebab Ponpes FU belum memiliki jenjang pendidikan formal, berbeda dengan pesantren modern lainnya. Rizki menngajak para santri berwirausaha melalui pertanian berkelanjutan berbasis ramah lingkungan.

Rizki dan santri binaan Ponpes Fathul Ulum saat memberi makan lele. (Dok. Kukuh Bhimo Nugroho)

Lantas mengapa Jombang yang dipilih? Sebab ia memutuskan tinggal di Kota Santri ini pascamenikah dengan Silvia Nur Rochmah, perempuan asal Jombang. Rizki mundur dari pekerjaannya di Jakarta demi membumikan semangat bertani di desa, terutama bagi kaum muda. Dia sebenarnya orang Aceh yang memutuskan untuk memulai usaha budidaya ikan lele yang terbukti berjalan dengan baik.

Saat menjalankan bisnisnya itulah, ia berkesempatan berkeliling ke wilayah tempat tinggalnya dan mendapati fakta mengejutkan bahwa pertanian kurang digemari generasi muda. Hasil minimal dan tampilan dekil seolah jadi momok yang menghantui profesi petani, berbeda dengan pegawai kantoran yang parlente.

Bagi Rizki, membiarkan fenomena itu terjadi jelas berbahaya. Jika generasi muda tidak didorong untuk menggandrungi cocok tanam—lantaran menganggap pekerjaan ini murahan dan tidak menguntungkan—hingga memilih bekerja sebagai karyawan atau buruh pabrik, maka hanya soal waktu saja kita akan mengalami krisis pangan. Jika tak ada orang yang tertarik bertani, apa yang bisa kita harapkan untuk dikonsumsi pada masa depan?

Klop dengan Kiai Amin

Singkat kata, hubungan Rizki dengan sejumlah santri Ponpes FU semakin karib. Lalu ia bersedia membantu para santri tersebut dalam usaha budidaya ikan lele yang mereka jalankan di pesantren. Atas persetujuan dari pengasuh ponpes, yaitu KH Ahmad Habibul Amin, Rizki percaya diri bahwa kolaborasi mereka bisa menciptakan kesuksesan dalam bisnis pertanian, juga peternakan.

Rizki dan Kiai Amin optimistis menjalankan kemitraan yang menguntungkan (Dok. Kukuh Bhimo Nugroho)

Menurut kesepakatan tersebut, Rizki diminta membantu para santri di Ponpes FU untuk mengembangkan kemampuan wirausaha yang telah dirintis Kiai Amin di pesantren tersebut. Keduanya saling bersinergi: Kiai Amin menggembleng santri secara spiritual dan Rizki membimbing mereka secara entrepreneurial yang berdampak pada keuntungan finansial.

Kiai Amin sadar sepenuhnya bahwa pesantren yang ia asuh membutuhkan seorang pakar dari luar untuk membantu 300-an santrinya dalam menjalankan usaha agar sukses. Dengan pengalaman dan kompetensi yang dimiliki Rizki, santri akan mampu mempelajari cara menjalankan bisnis termasuk manajemen risiko. Sejak saat itu Rizki menjadi semacam konsultan bagi santri Fathul Ulum yang diuntungkan bisa menimba wawasan berharga dan pelajaran penting tentang keuletan dan integritas dalam bisnis. 

Menurut Rizki, ada banyak pesantren di Indonesia, khususnya Jombang, sehingga kita punya banyak peluang untuk mendorong terjadinya regenerasi petani. Setiap daerah di seantero Nusantara punya potensi pengembangan ekonomi yang sangat besar. Oleh karena itu, para santri di pesantren perlu didorong untuk bisa mengolah sumber daya lokal sekaligus memperkuat konsep pertanian secara lebih sistematis.

Santriwati pun aktif belajar wirausaha dalam pertanian dan peternakan (Dok. iNews)

Sinergi Rizki dan Kiai Amin membuahkan hasil yang menggembirakan. Sebagai proyek percontohan, Ponpes FU mampu meraup keuntungan sebesar Rp250.000 setiap hari dari hasil beternak bebek petelur. Belum lagi dari sayuran dan ikan. Setiap bulan ponpes ini setidaknya bisa menagguk omzet sekitar Rp50 juta dari penjualan berbagai komoditas. Komoditas yang dihasilkan ponpes merupakan kebutuhan sehari-hari sehingga target pasarnya tidak sulit, yakni masyarakat luas – juga para santri di pesantren lainnya.

Puncaknya, pesantren yang dikenal dengan sebutan Pondok Gerdu laut ini ditahbiskan sebagai salah satu Desa Sejahtera Astra (DSA). DSA merupakan wujud program berkelanjutan di bawah naungan PT Astra International, Tbk sebagai bagian dari CSR perusahaan.

Tujuannya adalah memajukan empat pilar utama, antara lain Astra Sehat (kesehatan), Astra Hijau (lingkungan hidup), Astra Cerdas (pendidikan), dan Astra Kreatif (kewirausahaan). Baik desa maupun masyarakat dapat menjadi sejahtera melalui program DSA, seperti halnya yang telah dirasakan Pondok Pesantren Fathul Ulum.

Ikhtiar Pertanian Berkelanjutan

Di luar dugaan atau ekspektasi, program santripreneur dan pesantrenpreneur yang diterapkan di Ponpes FU berhasil mengantarkan mereka meraih juara ketiga pada KBANNOVATION 2019 yang mengusung tema “Inovasi Kita, Inspirasi Negeri”.

Dengan setiap kemajuan yang diraih, Rizki semakin berkomitmen untuk merancang konsep santripreneur dan pesantrenpreneur agar para santri memiliki kemampuan berwirausaha dan pada saat yang sama pesantren berdaya secara ekonomi. Lebih lanjut, Rizki memastikan untuk memasukkan sociopreneur dalam program tersebut dengan harapan kegiatan usaha santri dapat menebarkan manfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar pesantren.

Itulah yang semula melatari terbentuknya Kelompok Santri Tani Milenial (KSTM) di Ponpes Fathul Ulum. Bersama pesantren, Rizki bertekad mencanangkan program pertanian ramah lingkungan yang dikenal dengan Integrated Farming System (IFS). Dengan sistem ini, KSTM memadukan pertanian, perikanan, peternakan, dan lingkungan hidup secara berkelanjutan.

Memproduksi pupuk organik berarti menghemat uang dan menyehatkan tanah. (Dok. Kukuh Bhimo Nugroho)

Sebagai contoh, limbah kolam ikan lele dialirkan untuk menyuburkan tanaman atau sayur yang mereka pelihara. Selain itu, mereka juga mencacah batang sorgum untuk diberikan sebagai pakan ternak. Pengolahan sampah ini memberikan manfaat ganda dalam hal pemeliharaan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi. Pupuk organik bukan hanya baik untuk tanah, tetapi juga menghemat uang sehingga mendukung kemandirian finansial pesantren.

Larangan menjadi beban

Dengan luas lahan 2,5 hektar, Ponpes FU memungkinkan para santrinya untuk memelihara 250 ekor bebek pedaging, 30 ekor kambing, 16 ekor sapi potong, dan berbagai jenis ikan di 40 kolam bioflok. Beberapa santri juga menanam tomat, cabai, terong, kubis, durian, dan mengelola pembibitan kayu sengon.

Mereka biasanya bekerja dua jam pada pagi hari sebelum kelas dimulai dan dua jam lagi pada sore hari. Dengan cara ini mereka bisa belajar ilmu agama sekaligus seni berwirausaha.

Nanti ketika mereka lulus, pesantren akan menghibahkan sejumlah uang untuk membantu bisnis rintisan mereka – tentu dalam bidang yang disepakati yakni pertanian atau peternakan. Apa pun usaha yang mereka rintis, KSTM akan sepenuhnya mendukung mereka secara finansial dan membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan. Rizki dan Kiai Amin ingin melihat santri berdaya di masyarakat dengan kemandirian ekonomi, bukan sebaliknya malah menjadi beban.

Kiai Habibul Amin saat mendampingi para santri bercocok tanam (Dok. iNews)

Kiai Amin tidak ingin santri jebolan Fathul Ulum membarter pengabdian agama dengan patokan rupiah tertentu. 

“Jadi, jangan sekali-kali siapa pun mengajar agama secara transaksional, enggak boleh. Saya selalu pesankan ke anak-anak karena mengajar itu harus dengan ikhlas. Untuk bisa itu, maka harus memiliki keahlian, kalau tidak akan berat nantinya,” ujar kiai nyentrik itu serius. 

Ketika santri punya kemandirian ekonomi, maka integritasnya bisa terjaga. Kemampuan itu juga bisa ditularkan kepada warga tempat santri berdomisili. Itulah makna generasi anfa’a, yakni implementasi dari hadis Nabi yang menganjurkan penciptaan manfaat, bukan malah mengharapkan atau menikmati pemberian masyarakat.

Dalam kata anfa’a terpancar energi pemberdayaan. Untuk menggerakkan warga agar mampu meraih peningkatan kehidupan, baik secara religius maupun sosial ekonomi. Terkandung energi untuk selalu berbagi dan terkoneksi, bukan saling memanipulasi.

Pertanian sebagai bahasa hati

Pada kesempatan lain, Kiai Amin meyakinkan bahwa pertanian bisa menjadi bahasa untuk berkomunikasi dengan umat dalam rangka menggembleng mereka secara ekonomi dan finansial. Kalau langsung didakwahi atau diajak mengaji, warga mungkin langsung menolak. Berbeda jika mereka diajak bercakap saat sedang berkebun atau bercocok tanam di sawah/ladang dalam suasanai santai.

Maka Kiai Amin tidak mewajibkan santri agar semuanya menjadi kiai. Skill wirausaha itu akan bisa dimanfaatkan untuk masuk ke relung hati warga, sebagai bahasa pemersatu. Bahasa ekonomi barangkali akan lebih ampuh ketimbang dogma agama yang kaku dan serbaresmi.

Dengan menjadi petani atau peternak — yang merupakan profesi dominan di Indonesia – para lulusan Ponpes FU akan bisa menyisipkan kajian tentang tauhid, fiqih, hingga tasawuf melalui aktivitas pertanian dalam suasana yang menyenangkan dan menguntungkan.

Rizki yang mengalirkan rezeki

Kiprah Rizki Hamdani terbukti telah membantu lahirnya para petani muda dari kalangan santri yang spiritnya kemudian menular luas hingga ke desa-desa lain. Berkat pendampingan dan andil Rizki, para santri pun merasa bangga dan percaya diri karena mendapatkan aliran rezeki dari aktivitas pertanian atau peternakan yang mereka jalankan.

Kemandirian ekonomi itu membuat mereka bisa berkontribusi secara leluasa dan luwes, terutama secara spiritual tanpa harus membebani masyarakat dengan tuntutan ekonomi.  

Rizki yang menginspirasi, diganjar SATU Indonesia Awards 2020 untuk bidang Lingkungan (Dok. Rizki Hamdani)

Dari Rizki Hamdani kita belajar bahwa lulusan pesantren tidak serta-merta menjadi beban orangtua saat pulang kampung dan hanya fokus mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat tanpa penghasilan.

Mereka punya keistimewaan yang sama untuk berkembang secara finansial dari usaha yang mereka jalani sejak mereka tinggal di pesantren. Rizki juga mengingatkan kita bahwa pertanian masih menjanjikan dan bahwa kekayaan lokal — seperti sorgum — dapat membantu kita mendapatkan rezeki sekaligus menjamin ketahanan pangan di masa depan bagi Indonesia tercinta lewat pertanian berkelanjutan.

Tinggalkan jejak