I GEDE ANDIKA Wira Teja tak menyangka bahwa kepulangannya ke Pemuteran, desa tempatnya dilahirkan, akan membuka mata batinnya. Pada Maret 2020, dia sengaja pulang kampung dengan maksud meminta restu kepada orangtuanya sebab ia akan bertolak ke Inggris untuk melanjutkan pendidikan S2.
Saat itu wabah Covid-19 tengah melanda dunia, tak terkecuali Bali. Pemuda kelahiran Buleleng 21 April 1998 yang akrab disapa Dika ini mesti menunggu keberangkatan ke universitas tempatnya menimba master hingga September 2020. Saat kembali itulah dia menemukan pemandangan yang memprihatinkan.
Akibat pandemi, siswa SD dan SMP terpaksa belajar di rumah karena aturan pembatasan interaksi. Sayangnya, tidak semua siswa di Pemuteran bisa belajar online dengan nyaman. Ratusan siswa di desa itu kurang mampu secara ekonomi sehingga kesulitan mengakses pembelajaran online lantaran harga paket data Internet yang tidak terjangkau.
Melepas beasiswa demi majukan desa
Demi mengatasi learning loss anak-anak di desanya, Dika pun menggagas sebuah gerakan positif bernama Kredibali yang merupakan akronim dari Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan. Sesuai namanya, program ini menawarkan pendidikan bahasa (Inggris) sekaligus kepedulian pada lingkungan sebagai dua komponen penting setelah dilakukan pemetaan berdasarkan kebutuhan anak-anak setempat.
Pemuteran adalah desa di Kabupaten Buleleng yang diapit oleh perbukitan dan laut. Sebagai salah satu destinasi wisata di Bali yang terkenal sebagai surga diving dan snorkeling, Pemuteran sebelumnya dipadati wisatawan asing yang hendak menikmati ketenangan dan wisata akuatik. Vila dan homestay dapat ditemukan di mana-mana. Itulah sebabnya keterampilan bahasa Inggris dianggap krusial untuk membantu penduduk lokal berkomunikasi dengan pengunjung asing.
Karena program ini diberikan secara cuma-cuma, maka Kredibali harus menyeleksi anak-anak yang memenuhi syarat untuk ikut belajar. Akhirnya terpilihlah sekitar 220 siswa yang Dika ajar sendiri. Program ini menyasar anak-anak yang orangtuanya menjadi penerima bansos (BLT) dari pemerintah serta para pekerja pariwisata yang terdampak serius oleh pandemi kala itu.

Kelas pertama digelar pada 9 Mei 2020 ketika virus Covid-19 mulai merajalela. Kursus bahasa Inggris meliputi tingkat dasar, menengah, dan lanjutan sebagai ikhtiar Kredibali membekali anak-anak agar punya skill khusus sekaligus menghindari mereka dari kemungkinan putus sekolah.
Setelah berlangsung sekitar lima bulan, Dika sebetulnya akan melanjutkan kuliah ke UK sesuai jadwal pada September 2020. Namun kecintaannya yang tulus terhadap masa depan anak-anak di Pemuteran rupanya menghalanginya untuk pamit. Dia memutuskan untuk melepaskan kesempatan belajar di luar negeri dan sebaliknya menemani anak-anak setempat untuk belajar mandiri.
Keputusan tak mudah
Keputusannya jelas ditentang banyak orang, apalagi oleh orangtuanya. Namun Dika meyakinkan mereka bahwa melepas beasiswa adalah keputusan terbaik karena ia yakin masih akan ada banyak kesempatan baginya untuk belajar di luar negeri dibandingkan kesempatan langka anak-anak untuk belajar online selama pandemi berlangsung.
Sebelum idenya disetujui, Dika harus angkat bicara dalam rapat paruman dewan desa. Ia khawatir bahwa jika tidak segera diambil tindakan, maka anak-anak di Pemuteran akan ikut orangtua mereka mencari ikan atau bertani sehingga mengabaikan kesempatan belajar lantaran tak adanya fasilitas pembelajaran online yang memadai.
“Pas ada rapat saya ajukan diri sebagai volunteer dan paparkan data saya, entah masyarakat mengerti atau tidak. Tetapi pada saat itu mereka apresiasi,” ujarnya mantap.
Kekhawatiran lain adalah seputar PPKM yang membatasi masyarakat beraktivitas di luar ruangan. Social distancing masih jadi keumuman yang mesti ditaati. Dari situlah akhirnya diputuskan untuk menjadikan balai desa sebagai tempat belajar karena memiliki ruangan luas bagi banyak anak. Aparat desa dan para pemuda setempat bergandengan tangan untuk mendukung program yang digagas Dika.
Selain dukungan yang besar, ternyata antusiasme mereka untuk mengirimkan anak mereka juga tak kalah tinggi. Dika mengaku kaget melihat semakin banyak anak yang datang untuk mengikuti program tersebut padahal tanpa diiklankan. Dia jujur tidak menduga jumlah peminat akan sebanyak itu.
Demi efisiensi, maka dipilihkan 220 anak yang bisa diakomodasi di tempat belajar. Dan keputusan Dika melepas beasiswa terbukti bijak dan tepat. Anak-anak di Pemuteran mengalami peningkatan yang signifikan dalam bahasa Inggris setelah belajar di Kredibali. Hal itu akan menciptakan banyak peluang bagi mereka di masa depan.
Bagi Dika, meningkatnya kemampuan anak-anak sungguh anugerah yang tidak bisa dihargai dengan keuntungan materiil apa pun. Sebut saja pengalaman positif yang dimiliki I Gusti Ayu Putu Sri Kertiasih Wulantari. Gadis berusia 14 tahun (kini 18 tahun) yang akrab dipanggil Wulan ini kian percaya diri berkat kemampuan bahasa Inggrisnya yang meningkat drastis setelah belajar di Kredibali.
“Sekarang kalau ada bule sudah beranilah berbicara lancar dengan mereka. Sebelumnya cuma sekedar hello saja,” kata Wulan sembari tertawa.
Peduli lingkungan, semangat hidup berkelanjutan
Tak hanya mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan turis asing yang datang ke Pemuteran, Wulan juga berhasil meraih juara kedua dalam lomba pidato bahasa Inggris yang diadakan oleh SMA Negeri 2 Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada Juni 2020 silam. Itu jadi prestasi mengagumkan baginya, apalagi dibanding para pelajar di daerah lain di Bali seperti Denpasar, Badung, atau Gianyar yang rata-rata terbiasa bercakap dengan orang asing dalam bahasa Inggris.
Wulan yakin bahwa kemampuan bahasa Inggris akan mengantarnya ke masa depan yang cerah. Meski orangtuanya hanya petani dengan penghasilan rendah, Wulan tak akan membiarkan dirinya putus sekolah. Gerokgak tempat tinggal Wulan merupakan salah satu kecamatan dengan angka putus sekolah yang cukup tinggi di Buleleng. Angka putus sekolah disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pendidikan dan pengaruh lingkungan.
Wulan bersyukur dan berterima kasih banyak kepada Kredibali yang sudah membuka pikirannya. Ia bahkan berpikir untuk bisa pindah ke daerah lain seandainya ada kesempatan — sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelum bergabung dengan Kredibali.
Kredibali berhasil merebut hati para orangtua di Pemuteran bukan hanya karena meningkatnya kecakapan berbahasa anak-anak mereka, melainkan kepedulian pada lingkungan yang kian membuncah. Anak-anak mereka kini bisa memilah sampah.

Inilah yang membuat Kredibali unik. Alih-alih gratis sepenuhnya, kursus anak-anak di desa tersebut harus dibarter dengan plastik dari sampah rumah tangga masing-masing. Teknisnya: sebelum memasuki kelas, siswa harus memasukkan sampah plastiknya ke dalam kantong yang telah tersedia dengan bantuan fasilitator. Plastik itu sudah dipilah dari rumah.
Kesudian membawa dan menyerahkan plastik menunjukkan tekad mereka untuk mengikuti kelas secara sungguh-sungguh. Adapun pemilahan sampah anorganik mengajarkan mereka tentang pengelolaan sampah. Dengan cara ini peserta didik Kredibali jadi paham mana sampah yang dapat didaur ulang dan mana yang tidak. Yang jauh lebih penting, mereka belajar untuk peduli pada lingkungan.
Sampah yang telah dipilah kemudian dikirim ke bank sampah untuk ditukar dengan beras. Kredibali menggandeng komunitas Plastic Exchange sebagai mitra, dengan tujuan memberdayakan masyarakat agar mau mengubah perilaku soal sampah melalui sistem pertukaran yang menguntungkan demi terciptanya lingkungan yang lebih bersih dan sehat.

Uniknya, beras yang sudah terkumpul akhirnya dibagi-bagikan kepada warga lanjut usia yang kurang mampu di wilayah tersebut. Dalam hal ini, Kredibali bisa mengatasi tiga masalah sekaligus. Pertama, anak-anak di Pemuteran jadi punya akses gratis terhadap pembelajaran bahasa Inggris sebagai keterampilan wajib yang akan membantu mempersiapkan masa depan mereka.
Kedua, mereka belajar untuk sadar lingkungan melalui tindakan sehari-hari dalam pengelolaan sampah sebelum pelajaran dimulai. Terakhir, Kredibali mendorong anak-anak agar memiliki semangat empati dan berbagi dengan cara membantu mereka yang kurang beruntung lewat donasi beras yang diperoleh sebagai pangan lokal.
Soal warisan, bukan popularitas
Atas ide cemerlangnya tersebut, Kredibali dianugerahi SATU Indonesia Awards ke-13 tahun 2021 oleh PT Astra International, Tbk. Dika dinobatkan sebagai Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemi COVID-19. Menanggapi penghargaan ini, ia mensyukurinya sebagai apresiasi berharga dari perusahaan sebesar Astra.
Namun, Dika menegaskan bahwa penghargaan bukanlah tujuan utamanya. Menurut lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana ini, ide awal Kredibali adalah untuk menghidupkan kembali desa tempat tinggalnya karena pandemi telah berdampak negatif dan serius terhadap pariwisata lokal.
“Misi kami bukan membuat kami terkenal, melainkan meninggalkan satu legacy di satu tempat,” pungkas pemuda yang kini telah menyandang gelar master dari kampus di Yogyakarta.
Anak-anak di Pemuteran mungkin belum bisa memperoleh pendapatan ekonomi dalam waktu dekat, tetapi Dika yakin bahwa sumber daya manusia setempat lebih dari kompeten untuk menggeluti masalah pariwisata. Kredibali akan selalu menjadi mitra untuk membantu mereka maju sambil mencari desa lain untuk dikembangkan. Itulah alasannya mengapa desa yang harus terkenal, bukan Kredibali sebagai mitra.

Dengan spirit ini, Kredibali pun memperluas wilayah layanannya di luar Pemuteran. Setelah dipastikan masyarakat di suatu desa terbukti berhasil atau bahkan memodifikasi pola Kredibali, maka Kredibali akan merambah desa-desa lain di antaranya Puhu (di Gianyar) dan Batur (di Bangli).
Dika menambahkan bahwa keberadaan relawan adalah untuk membentuk mentalitas masyarakat, bukan terus-menerus menyuapi mereka. Dengan mental yang benar, mereka akan mampu bertahan hidup dengan mengandalkan kearifan dan kekayaan lokal masing-masing.
Dari Kredibali kita belajar bahwa usia bukanlah halangan untuk berkontribusi. Dika yang masih muda (saat itu 23 tahun) terbukti mampu berperan aktif untuk mendorong agar masyarakat menjadi komunitas produktif dengan melirik potensi lokal yang bisa diandalkan.
Lewat Kredibali, Dika telah menunjukkan semangat hidup berkelanjutan dengan terus memperkuat fondasi sumber daya lokal demi menyambut tantangan masa depan bagi desa-desa di Bali yang bisa ditiru oleh daerah lain seantero Nusantara dengan menyesuaikan kelokalan yang dimiliki dan memastikan lingkungan tetap lestari.

Jika satu Andika Wira Teja bisa menggerakkan semangat anak-anak desa untuk percaya diri lewat potensi wisata yang dikelola dengan sustainability, maka kita patut optimistis bahwa banyak anak muda lain di Indonesia bisa melakukan hal serupa untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih baik berdasarkan jiwa kepedulian dan nilai-nilai lokal sembari melestarikan lingkungan hidup.
