You Lose If You Don’t Get Up, But…

Seorang teman bloger memasang status yang cukup miris. Narablog yang tinggal di Bogor ini membuka donasi, berharap ada teman lain yang berkenan menyumbang seikhlasnya sebab dia dan keluarganya sedang sangat membutuhkan.

Beberapa waktu sebelumnya, di akun Facebook yang sama, dia membagikan kabar tentang dibekukannya akun kedai di sebuah platform pemesanan makanan daring, yaitu GrabFood. Sepinya order di warung makan yang dia kelola berimbas pada ditutupnya sementara akun — yang berarti tak ada income yang bakal masuk.

Bloger lain punya cerita tak kalah menyedihkan. Di jagad Burung Biru alias X, dia memberitahukan bahwa saldo di rekening tersisa Rp7.000 saja padahal token listrik sudah habis dan perlu segera diisi. Bisa dibayangkan paniknya, suara meteran berdencing — terdengar hingga rumah tetangga yang boleh jadi menimbulkan rasa malu.

Kita bisa berdebat tentang mengapa dua kasus di atas terjadi. Mungkin kita bakal gampang menyalahkan mereka yang seolah kurang mengerahkan effort dalam bekerja sehingga terbatas dalam rupiah. Atau sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi kurang bersyukur atau kurang bersedekah sehingga rezeki segitu-gitu aja.

Namun satu hal yang pasti: mereka bukanlah satu-satunya orang yang mengalami keterhimpitan ekonomi saat ini. Ekonomi sedang lunglai, kemakmuran di negeri ini jadi pertanyaan besar sebagaimana kita lihat diskusi dan debat di Twitter atau linimasa medsos lainnya.

Saya Terpuruk?

Pengangguran bertambah, PHK terjadi di mana-mana, jualan seret, dan berbagai kendala yang bisa dengan mudah kita susun daftarnya. Di sisi lain, pejabat dan petinggi negara terlihat baik-baik saja, seolah tone deaf terhadap nasib rakyatnya. Alih-alih berteriak, wong cilik hanya terisak dalam doa, entah doa baik atau melaknat pemimpinnya.

Tentu bukan lantaran fatalistis, tapi saya sendiri tengah mengalami kejadian serupa. Saldo rekening menipis dan beberapa tagihan menunggak belum sempat terbayar lunas. Dering notif Wasap atau telepon silih berganti untuk menagih. Saya bergeming karena sudah bingung mana pos yang didahulukan.

Namun kalau ada uang yang masuk, sebisa mungkin saya setor kepada mereka yang berhak — biar tidak terus menagih padahal saya sudah kena penalti berupa denda. Kata orang, “Jangan terlibat pinjol, apa pun alasannya!” sebuah wejangan bijak tapi tidak cukup menapak.

Rasakanlah sendiri saat jeritan dan rintihan tak didengar bahkan oleh keluarga atau teman sehingga pengaduan hanya kepada Gusti Alloh yang pasti bakal menolong. Hanya saja memang saya tak sabar, semua harus cepat karena bersaing dengan waktu penagihan dari sini dan sana.

Berutang kepada teman sungguh berat untuk diucaapkan. Pertama karena malu. Kedua sebab khawatir piutang ini akan merusak persahabatan, berapa pun nilainya. Saya sendiri menjadi korban. Seorang sahabat meminjam uang Rp500.000 sejak setahun silam, tapi belum dikembalikan sampai detik ini.

Di sisi lain, saya mesti gali lobang tutup lobang — termasuk dari aplikasi Pinjam atau Pay Later yang sungguh tidak dianjurkan. Jangan, jangan lakukan kalau tidak ada keterpaksaan! Kalaupun sudah terlanjur, semoga cepat terbayar dan tak sampai tergiur untuk menggunakannnya lagi.

Dosa riba, duh!

“Jangan-jangan kita (repot) begini karena dosa riba!” ujar Bunda Xi suatu malam. Hujan deras, air menggenang di jalan depan tak bisa dihalau.

Saya tak menampik, saya tak menyangkal. Demi pendidikan anak dan kebutuhan, saya seperti tak punya pilihan. Saya tak hendak mengelak apalagi membela. Ini kesalahan, sebuah kecerobohan yang sayangnya terpaksa dilakukan dengan banyak pertimbangan.

Jadi, kalau teman-teman bloger mendadak mendapat pesan dari penagih pinjol yang menggunakan nama saya, percayalah itu bukan hoaks. Itu benar adanya, jadi saya mohon maaf jika ada yang merasa terteror oleh pesan mereka.

Belum rezeki

Beberapa bulan belakangan saya dipercaya menjadi koordinator teman-teman bloger Jatim untuk meliput acara di sebuah lembaga. Honornya lumayan, cepat cair dan penyelenggara tidak rewel. Dan paling enak tentu saja karena amplop langsung dibagikan sepulang liputan yang berarti bisa segera dimanfaatkan.

Undangan ini sungguh membantu mengepulkan dapur kami. Maka pekan kemarin, saat tagihan sudah muncul, undangan yang ditunggu ternyata tak datang. Permintaan maaf dari panitia sebab ada pengurangan kuota. Begitu terpukul sebab angka honor yang mestinya pas untuk bayar utang begitu saja melayang.

Belum rezeki, hiburku. Namun pembatalan undangan menjadi menyakitkan saat saya keburu mengharapkan. Apalagi undangan bisa disesuaikan dengan jadwal saya mengajar selama tiga bulan belakangan.

Pay It Forward

Ya, betul. Sejak Agustus kemarin saya mulai mengajar di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris. Selama sepekan saya mengajar di dua tempat, di lembaga tersebut dan di sebuah SMA untuk persiapana UTBK tahun depan. But, dengan berjibaku mengajar di dua tempat pun, entah mengapa income menguap begitu saja. Mungkin memang nominalnya tidak besar jadi masih berharap undangan liputan tadi.

Malah ada kejadian yang bikin sebal, tak perlu saya sembunyikan. Rabu pekan lalu, saya meluncur untuk mengajar kelas TOEFL seperti biasa. Kelas dimulai jam 1 siang, tapi saya terlambat karena motor mendadak ngadat. Tak mau jalan walaupun sudah ditanjap gas.

Oh, no, not now!” gumam saya perih. Keringat mulai bercucuran sambil menyeret motor siang-siang menuju bengkel terdekat. Dan voila, kelas dibatalkan dan hari itu juga saya mesti membayar biaya servis tepat jumlahnya dengan fee mengajaar selama 1,5 jam. Alhamdulillaah….

Menutup ceracauan pagi ini, ada sepenggal video dari Dhar Mann di akun Facebook-nya yang menarik. Seorang gelandangan masuk ke restoran dengan maksud mendapat makanan karena sangat lapar. Owner bernama Adam segera menghalau dan mengusirnya sebab khawatir pengunjung restoran akan jengah melihat lelaki kotor itu.

Saat mau diusir, co-owner muncul dan mencegahnya. Alih-alih mengusir, lelaki bernama Shawn ini malah menjanjikan sandwich untuk dibawa pulang si gelandangan. Tapi Adam menolak mentah-mentah karena kasih makanan gratis di saat bisnis sedang lesu. Shawn bersikukuh untuk memberikan makanan karena selambat apa pun bisnis, setidaknya restoran mereka masih jalan dan masih stabil pendapatan.

Debat berakhir dengan Shawn keluar dari kemitraan. Adam mengancam bahwa tak ada saham yang bakal temannya terima kalau dia keluar demi gelandangan itu. Shawn menjawab santai,

“Gapapa, ambil aja uangnya. Aku udah pernah merintis bisnis ini. Aku bakal mulai dari dari nol,” ujarnya sambil menggandeng lelaki gelandangan keluar resto.

Di belakang mereka berlari kecil seorang perempuan muda yang ternyata seorang jurnalis. Saat ditanya mengapa Shawn memilih membela gelandangan daripada bisnisnya, ia menjawab bahwa dia pernah mengalami keterpurukan serupa. Beberapa tahun silam, ia kehilangan pekerjaan dan menjadi gelandangan.

Berkat kebaikan hati seorang pemilik restoran, yang memberinya makan gratis dan bahkan uang, Shawn akhirnya bisa bangkit dan mendapat pekerjaan. Dia menabung dan lambat laun bisa membangun resto bersama temannya tadi. Dia tahu arti lapar dan kekurangan, itulah sebabnya tak ragu membantu–bahkan melepaskan sahamnya demi gelandangan.

Kisah Shawn kemudian ditulis si jurnalis dan berakhir viral. Si jurnalis mendapat promosi dan Shawn mendapat sumbangan dalam GoFundMe (semacam kitabisa) bernilai ratusan juta. Dia kemudian merintis usaha resto yang memang jadi kredo atau tekadnya, yaitu memasuki bisnis memberi makan orang yg dekat dengan kisahnya pernah kelaparan.

Shawn tidak sempat membalas kebaikan hati wanita yang dulu pernah menolongnya. Maka dia pay it forward kepada orang lain. Sebagian keuntungan bisnis ia donasikan untuk kepentingan amal. Ketika bisnis Adam runtuh, Shawn menawarinya untuk mengelola cabang pertama. Dengan catatan amal tetap yang uatam, bukan bisnis semata-mata.

Di video Dhar Mann yang lain disebutkan,

You don’t lose when you get knocked down. You lose when you don’t get up.” Kau belum kalah saat terjatuh. Kamu disebut kalah kalau jatuh tapi tidak berusaha bangun.

Semua orang ingin menjadi pemenang, tak ingin jadi pecundang. Namun, hidup kadang menghadirkan tantangan unik bagi setiap pribadi. Kita boleh saja menepuk dada karena sekarang dilimpahi hidup yang sentosa, keluarga baik dan anak-anak mulia. Namun ingat, semua bisa berubah jadi jangan gegabah apalagi begitu mudahnya mengomentari kehidupan orang lain yang berbeda dan kita anggap salah padahal tak kita ketahui hakikatnya.

Suatu hari saya berkeluh kesah kepada Bunda Xi. “Kita ini kan ga jahat ya, kayaknya ya sering bantu orang,” intinya seolah kami rela berkorban dll.

Lantaran hidup keknya belum sesuai harapan, saya pun berpikir, there must be something wrong about me. In what way should I change? How far should I make amends to make my life the way I want it to be? I don’t know. I get knocked down now, but….

6 Comments

  1. Tapi masih bisa bangun dan jadi pemenang, Mas Rudi. Insyaa Allah bisa! Allah tak akan menyia-nyiakan setiap usaha dan doa, kan?

    Tapi ngomong memang gampang, ya. Saya tahu pasti sangat berat. Tetap semangat!

    Liked by 1 person

  2. Dan ternyataaaaa…pasutri daebaakk ini MENGGONDOL JUARAAAA DI LOMBA DGN HADIAH TOTAL RATUSAN JUTAAAA

    masyaAllah BarokAllah.

    rezeki sdh tertakar,

    tdk akan tertukar 🔥

    Like

Tinggalkan jejak