Sabtu bersama Bapak, rasanya frasa ini cukup tepat menggambarkan pengalaman kami beberapa pekan lalu. Pada Jumat malam, saat mengikuti pengajian bersama si bungsu di Masjid Namira, tiba-tiba ada pesan masuk di WhatsApp dari nomor asing. Selain teks, pesan juga disertai foto. Intinya mengonfirmasi apakah betul saya orangtua dari anak yang ada dalam foto tersebut.
Ketika foto muncul sempurna, saya terbelalak. Si sulung Xi tergolek lemah di ranjang UGD sebuah rumah sakit di Jombang, tak jauh dari tempatnya mondok. Sejurus kemudian, petugas kesehatan dari pondok yang menemaninya menelepon dan memberitahu bahwa si sulung positif kena DBD. Dia butuh keputusan apakah anak saya langsung diopname di RS tersebut atau dibawa pulang?
Bawa dua motor, sengaja
Saya seketika memutuskan untuk menjemputnya esok hari. Jadi Sabtu pagi saya dan istri meluncur ke Jombang masing-masing mengendarai motor berbeda. Si bungsu ada tugas kelompok sehingga kami antar ke sekolah lalu akan bergeser ke rumah temannya, menunggu di sana hingga malam.
Karena belum ada kendaraan roda empat, kami sengaja membawa dua motor. Bunda Xi bisa mengangkut sebagian barang yang biasanya perlu dibawa pulang selama Xi istirahat di rumah. Adapun motor saya akan ditumpangi Xi dengan kecepatan lumayan.
Karena motor Supra Fit sudah uzur dan tidak memungkinkan untuk menempuh jarak jauh, apalagi akan membonceng anak kelas 2 SMP, kami pun memutuskan mampir di rumah sahabat bloger, Mbak Ika di Desa Lopang yang kebetulan satu jalur otewe ke Mantub dan akhirnya Jombang. Dia mempersilakan saya menggunakan Supra X 125 yang terbukti prima dan tangguh selama menmbus hutan jati dan kayu putih Mojokerto.
Tambangan, solusi potong kompas Kalibrantas
Demi meringkas jarak, Bunda Xi mengusulkan agar kami menempuh tambangan, yaitu perahu kecil yang membawa kami menyeberang Kali Brantas. Ini kali pertama saya mencobanya sementara Bunda Xi sudah beberapa kali bersama si bungsu. Rupanya tepat pilihan ini sebab kami tak perlu menyusuri Sungai Brantas hingga puluhan kilometer. Belum lagi Tambakberas sampai Stasiun kota.

Dengan tambangan yang, kami langsung sampai di kawasan Sumobito dan akhirnya Peterongan. Jarak tempuh paling hanya sekitar 10 menit dengan biaya Rp2.000 per kendaraan. Sangat murah dan praktis, ketimbang kami memutar haluan yang cukup jauh dan melelahkan.
Berkat tambangan, saya menemukan jalur alternatif yang relatif singkat dan sebenarnya lebih menarik karena lebih sepi dibanding lewat Jombang kota. Ending-nya sih sama, yaitu lampu merah Stasiun Jombang. Lumayan banget menyingkat waktu tempuh hingga 30-45 menit.
Empat hal menyenangkan
Lebih dari itu, selama melewati jalur baru ini saya menemukan beberapa hal mengesankan, yang jelas di luar dugaan. Pertama, lewat MTs Sains Tebuireng yang sedang dalam proyek pembangunan. Apakah ini satu yayasan dengan MTs yang lokasinya dekat Pare Kediri? Entahlah….
Kedua, lewat SMA Cambridge Peterongan yang diincar teman saya untuk anaknya. Tempatnya tak jauh dari rel kereta api yang kami susuri di sepanjang Peterongan. Ma’had Ali dan gedung bimbel Darul Ulum pun tampak jelas dari tempat kami melancong.
Ketiga, ini yang paling menarik, kami ketemu warung makan dan penjual minuman dalam perjalanan pulang. Demi mendongkrak trombosit Xi, kami pun menepi sejenak selepas Zuhur di kedai ini, tak jauh dari perlintasan rel kereta api. Orang lalu lalang memasuki warung ini. Sebut saja warteg ala Jatim karena mirip warteg ala Tegal dengan menu yang beragam.
Warteg murah, Serba 9 ribu saja!
Uniknya, makan nasi di sini dihargai Rp9.000 pakai lauk apa pun. Mau makan ayam, ikan, telur dadar dan aneka sayur–kita cukup membayar semurah itu. Kalau mau minum, tinggal pilih dan tambah biaya. Si sulung saya pesankan telur dadar besar dan nikmat, sedangkan saya dan Bunda Xi menyantap lele bumbu dan tumis daun pepaya yang sangat lejaaat.
Kami nikmati hidangan yang nasinya mongah-mongah (bahasa Jawa: panas berkepul) ini di kedai tukang jus yang terletak di sebelah kiri warteg. Sebenarnya dia jual aneka minuman lain dan mi instan tentu saja. Hanya saja, kami begitu terkesan dengan jus jambu merah yang sudah kami pesan. Pekat, manisnya pas, dan cuma dihargai Rp5.000 per cup. Gelasnya pun cukup besar loh!
Kami pesan dua cup jus jambu dan satu cup kopi gula aren. Lumayan banget menyegarkan tenggorokan di tengah cuaca Jombang yang ikutan tidak menentu. Semula panas tapi kemudian hujan deras saat kami hampir tiba di Tugu Buaya Putih. Bayar Rp15.000 untuk tiga cup, oh sungguh ingin kami kembali ke sana.
Memori Astra
Dari sana, kami bertolak menuju lokasi tambangan, untuk kembali menyeberang Sungai Brantas. Namun sebelum tiba di titik yang kami tuju, mata saya terpaku pasa sebuah logo yang sangat familier. Di sebelah kanan ada gerbang desa yang memuat sebuah frasa populer, setidaknya bagi pemburu hadiah dari Anugerah Pewarta Astra tahunan.
Saya melewati Kampung Berseri Astra di Desa Carangrejo, sepenggal kenangan indah karena tahun lalu nama saya sempat termasuk dalam 21 pemenang lomba tahunan itu. “Wah, lumayan juga nih. Tahun depan bisa liputan ke desa sini saja, sekalian sambang si sulung,” gumam saya sembari memacu motor.
Tak lama berselang, kami pun sampai di tambangan. Satset menyeberang, perahu mungil bergerak melawan arus yang mulai kencang. Titik-titik air menghempas dari langit, gerimis mulai menerpa kulit. Dingin menyergap padahal saya sudah pakai jaket. Beres menyeberang, rupanya hujan makin menjadi-jadi.
Kami menggeber motor dan meluncur nyaris spontan ke halaman parkir sebuah masjid di sebelah kiri jalan. Bress!!!! Air tumpah seketika entah berapa miliar barel, menghantam wajah tanah. Untunglah ada tempat berteduh, pikir kami. Sekalian shalat, dijamak qashar dong mumpung ada privilese, hehe.
Selain deras, durasi hujan siang itu juga cukup lama. Si sulung terlihat lemas, hanya meringkuk di karpet masjid. Mata saya tercekat pada gempuran air dari udara, seperti anak panah yang dilepaskan untuk menembus tubuh Bisma. Kalau sudah begini, barulah kepikir enaknya punya mobil sendiri, aku bersenandika.
Sekitar satu jam, hujan reda dan kami bergegas pulang. Kami berselisih paham soal jalur yang mesti ditempuh. Saya langsung berbelok di jalan besar pertama setelah keluar dari area masjid, sementara Bunda Xi terus melaju hendak lewat patung Tugu Buaya Putih.
Saat kami kembali bertemu di jalan beton desa, insiden itu pun terjadi. Duar!!! Terdengar letupan atau ledakan sesuatu, rupanya ban belakang BeatPop yang ia kendarai kempes. Beruntung, tak jauh dari tempat kejadian ada tukang tambal ban yang buka. Hujan beralih jadi gerimis, hati saya rasanya pengin menangis….
Betapa tidak, setelah dicek oleh pak tukang, ban luar roda belakang berlubang. Aus karena kelamaan dipakai. Saatnya mengganti dengan yang baru, atau setidaknya yang lebih bagus. Pak tukang sedang mengganti ban motor lain, milik seorang penjual ayam keliling.
“Bannya bolong, Pak!” ujar tukang tambal padahal kami sudah paham. Prosesnya bakal lama kalau cuma ditambal. Dia menawari ganti ban bekas miliknya, ada beberapa stok terlihat. Cukup bagus memang, minimal aman selama beberapa bulan ke depan. Masalahnya, kami tak bawa uang tunai yang cukup, mesti ke ATM dulu karena cadangan dana tadi cukup buat makan dan sebagian beli BBM untuk dua motor.
Bersambung ke Sabtu Bersama Bapak: Dari Brantas ke Kalikapas (2).
