Karena jauh dari ATM, saya pun meminta tukang tambal ban untuk menambal sebisa mungkin agar motor bisa dikendarai sampai Lamongan. Si sulung sudah mengeluh semakin lemas. Saya dan Bunda Xi jelas panik. Sebenarnya saya bisa saja menggeber motor Supra agar dia segera ditangani di RS pilihan kami. Namun, meninggalkan Bunda Xi sendiri di tukang tambal ban menyisakan masalah tersendiri.
Akhirnya, tukang tambal beres merekayasa ban belakang motor BeatPop. Dengan satu catatan,
“Maksimal satu minggu harus segera diganti, Pak.”
Dia menambahkan dan kami mengiyakan. Uang jasa berpindah tangan, ada sedikit penambahan sebagai ganti ikhtiar ekstranya–terutama melapisi dengan ban lain sebagai proteksi.

Pamit dan berterima kasih, kami bertiga langsung meluncur. Semoga hujan tidak turun lagi, doaku terus dalam hati. Si sulung duduk kian merapat, masih dalam kondisi lemas. Sesekali saya cek keadaannya dengan bertanya singkat selama berkendara. Saya menengok ke belakang kalau dia tidak segera menanggapi.
Tiba di perempatan Kemlagi, kami gembira karena itu berarti jarak semakin dekat. Namun, begitu masuk ke kawasan hutan jati dan kayu putih, entah kenapa jalanan terasa begitu panjang; ibarat laut, luasnya tak bertepi seolah tak kunjung tuntas kami arungi.
Hati semakin remuk ketika sampai di gugusan gumuk si sulung mendadak berseloroh,
“Cepat, Yah. Tanganku kayak kaku nih!”
yang saya respons dengan menggamit tangannya sambil memacu kendaraan. Dibilang cemas, tentu saja cemas. Seandainya ada mobil ya, bakal bisa lebih cepat sampai Lamongan tanpa harus berteduh selama satu jam tadi di masjid. GUman saya lagi-lagi, merintih dalam perih. Bunda Xi tentu saja tertinggal jauh sebab tujuan utama saya adalah membawa si sulung langsung ke klinik tempat BPJS kami daftarkan.
Hanya doa yang saya panjatkan, berbagai harapan saya langitkan: semoga cepat sampai agar si sulung segera tertangani. Kalau bisa langsung dirawat inap karena sudah bawa hasil lab dari RS Jombang. Lebih praktis dan mudah kalau diopname di kota sendiri karena dekat rumah. Sewaktu-waktu butuh apa, tinggal melipir ke rumah. Lebih-lebih enggak bisa tinggalkan si bungsu yang masih aktif sekolah.
Syukurlah, cuaca bersahabat sampai kami tiba di Klinik Muhammadiyah belakang kantor Pemda. Segera mendaftar dan menunggu antrean dokter jaga. Setelah mendapat giliran, dokter mengonfirmasi perlunya opname agar si sulung cepat pulih dan ditangani dengan baik.
Kami manut saja, mengiyakan karena kondisinya sudah lemah. Setelah berdiskusi, kami putuskan untuk membawanya ke RS Muhammadiyah Kalikapas karena di sana ada dokter spesialis yang akan mengontrol kondisi alih-alih di klinik Faskes yang hanya tersedia dokter umum.
Pilihan kami terbilang tepat karena di sana langsung satset. Perawat dan dokter jaga segera menyambut dengan ramah, selang infus langsung dipasang. Kendala pertama ternyata soal cari makan. Karena belum dapat jatah makan malam itu, maka saya mesti keliling kota buat cari bubur ayam.

Nihil walau sudah ke mana-mana, bahkan ke arah GOR yang ramai penjaja makanan. Bukan buryam, malah bubur sumsum yang ada. Bisa saja beli menu ini karena sama-sama lembut, tapi si sulung mulutnya sensitif sebab terasa hendak muntah kalau mengonsumsi makanan manis. Malam itu, terpaksa makan roti cokelat saja ketimbang tidak mengudap apa-apa.
Sehari dua hari berlalu, kami bergantian jaga di rumah sakit. Selasa dan Rabu Bunda ada kerjaan di Surabaya, jadi saya yang giliran menjaga si sulung. Berat tapi demi cuan, ikhtiar digencarkan. Sedih karena trombosit tak kunjung ada peningkatan. Apalagi melihat dia saat diambil darah, meringis sebab sulit ketemu pembuluh darah yang tepat.
Sejak masuk Sabtu malam hingga Kamis siang, akhirnya ‘liburan’ tanpa rencana pun disudahi saat dokter membolehkan dia pulang. Trombosit meningkat sedikit dan itu pertanda baik. Rasa cemas dan pikiran ruwet mereda dan perlahan terurai. Hanya lelah yang masih menyergap badan, terutama kantuk yang belum tuntas. Maklumlah, istirahat di RS memang tak nyaman. Semoga kami banyak bersyukur.
RS Muhammadiyah Kalikapas memang bisa jadi pilihan warga Lamongan untuk berobat atau rawat inap. RSML di pinggir jalan raya mungkin lebih besar dan lebih lengkap, tapi aksesnya agak jauh dan sulit karena lalu lintas yang padat, apalagi kalau harus menyeberang.
Kalikapas jadi solusi bagi keluarga yang ingin mendapat layanan khas entitas Muhammadiyah yang gercep. Tak membedakan pasien dengan biaya mandiri atau BPJS, mereka selalu sigap melayani sepenuh hati sebab sudah jadi kredo dan prioritas nilai.
Dari Brantas ke Kalikapas, perjalanan singkat kami semoga bernilai ibadah, untuk menggugurkan dosa dan mengingatkan kami bahwa kami bukanlah siapa-siapa, bahwa kami lemah dan selalu butuh Tuhan untuk menjaga. Untuk meminta dan bergantung segalanya. Untuk itu, alhamdulillaah, alhamdulilaah….

1 Comment