MATAHARI PUKUL DELAPAN pagi berpijar cukup meriah di ufuk sana. Namun, teriknya terasa lembut menerpa kulit berkat sepoi angin dari gugusan pohon kayu putih dan jati di kanan-kiri jalan. Langit biru, seperti benderang lampu yang menerangi perjalanan kami ke Kota Santri.
Hutan Kemlagi, Mojokerto, memang jadi rute wajib saya saat mengantarkan si sulung ke pesantren tempat ia belajar di Kec. Diwek, Jombang. Melihat pohon-pohon tinggi menjulang di sepanjang jalan, diselingi deretan tebu dan kacang, bocah yang membonceng di belakang tak berhenti bercakap dalam ketakjuban.
Hati kian membuncah begitu kami tiba di lampu merah dan belok di perempatan pasar kecamatan. Dari sana motor saya pacu lurus menuju Sungai Brantas. Tak jauh dari sebuah SDN yang rindang, masih di jalan raya yang sama, tampaklah himpunan tanaman sorgum atau garai di seberang jalan.
Rimbun batang yang hijau itu sepintas memulihkan memori masa kecil ketika kami menyesap batang-batang pemberian petani di desa selepas panen raya. Rasanya mirip tebu, hanya dengan sensasi harum yang lebih khas.
Sorgum hebat berjuta manfaat

Sorgum, yang dikenal sebagai gondem dalam bahasa Jawa, menjadi pangan pokok pengganti nasi di desa-desa pada masa lalu. Keunggulan sorgum terletak pada kemudahan budidayanya, biaya perawatan yang ekonomis, serta fleksibilitas dalam sistem tanam. Sorgum dapat ditanam secara monokultur atau dikombinasikan dengan tanaman lain seperti padi gogo, kedelai, kacang tanah, atau tembakau.
Sorgum bisa diandalkan karena produktivitasnya yang tinggi. Dengan kemampuan panen lebih dari satu kali dalam satu musim tanam, sorgum patut dilirik sebagai pilihan sangat menarik bagi petani yang ingin memaksimalkan hasil produksi dengan biaya yang efisien.
Kemampuannya beradaptasi di berbagai lingkungan juga menjadi nilai tambah. Ia mampu tumbuh subur di dataran rendah maupun tinggi, serta di berbagai jenis iklim, mulai tropis kering hingga basah. Apalagi berdasarkan data Departemen Kesehatan RI, biji sorgum mengandung protein, kalsium, zat besi, fosfor, dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibandingkan beras—menjadikannya pilihan yang lebih sehat dan bergizi.
Dengan kata lain, sorgum adalah solusi berkelanjutan untuk sejumlah masalah. Bukan hanya sebagai sumber pangan yang sehat, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan produktivitas pertanian dan pelestarian lingkungan. Selain sebagai pakan ternak dan pupuk organik, batangnya juga bisa diolah menjadi etanol yang jelas mendukung pasokan energi hijau.

Inilah yang membuat Rizki Hamdani mendorong petani di Jombang untuk menekuni penanaman sorgum. Lelaki asal Aceh ini memilih sorgum karena cocok ditanam di lahan marginal kritis nonproduktif, baik kondisi kering maupun genangan yang banyak ditemukan di Jombang. Berkat sorgum yang ditanam di lahan seluas 3 hektar, KSTM (Kelompok Santri Tani Millennial) binaan Rizki mampu meraup pendapatan hingga Rp60 juta per bulan.
Ironi negeri kaya
Siasat jitu Rizki mestinya bisa diadopsi dan diduplikasi di daerah lain sesuai khazanah pangan lokal masing-masing. Menurut berita yang diturunkan oleh Harian Kompas tanggal 9 Desember 2022, ada setidaknya 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang dikabarkan tak mampu mengonsumsi makanan bergizi.
Sungguh ironis jika masih banyak masyarakat yang tak bisa mengakses pangan padahal sebagai negara agraris Indonesia mestinya sanggup memproduksi hasil pertanian dalam jumlah besar sebagai jaminan ketahanan pangan nasional.
Masih menurut media yang sama, tragedi pangan misalnya terjadi di Merauke yang digadang-gadang menjadi lumbung pangan di Indonesia timur. Faktanya justru berkebalikan, Merauke malah menjadi salah satu kawasan paling rawan pangan di Indonesia dengan angka harapan hidup yang rendah.
Salah satu penyebab kejadian ini adalah pergeseran gaya hidup masyarakat setempat. Dulu, hutan menjadi sumber pangan utama bagi penduduk asli Papua, memasok berbagai hasil hutan yang dikonsumsi secara alami. Namun, kini masyarakat cenderung beralih ke konsumsi pangan olahan yang harus dibeli.

Perubahan dramatis terjadi tahun 2010 ketika sekitar 1,2 juta hektar tanah dan hutan di Kabupaten Merauke, Papua Barat, dialihkan menjadi kawasan agroindustri. Penduduk setempat diarahkan untuk mengonsumsi nasi (beras) tapi tidak disertai dengan transformasi budaya bercocok tanam padi. Walhasil, proyek pencetakan sawah baru pun berujung kegagalan.
Proyek lumbung pangan di Merauke tersebut gagal menyusul terbengkalainya sebagian besar sawah yang baru dibuat. Ketidaksesuaian lahan diperparah oleh minimnya dukungan infrastruktur dan ketiadaan petani yang memadai dengan keterampilan yang mumpuni.
Ancam kemandirian pangan
Selain kerawanan pangan, akibat lain kebijakan pembangunan semacam ini berpotensi menghapus identitas budaya, pengetahuan, dan keterampilan masyarakat lokal tentang pangan dan kesehatan yang telah mereka jalani dan lestarikan secara turun-temurun.
Ironisnya, desain lumbung pangan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru memicu pergeseran pola konsumsi yang tidak sehat. Sebagai contoh, masyarakat asli Papua yang sebelumnya mengandalkan sagu dan umbi-umbian sebagai sumber makanan utama kini terpaksa beralih ke konsumsi beras dan mi instan yang kurang bergizi.

Sejarah mencatat, Presiden Soekarno telah menerawang tentang pentingnya ketahanan pangan. Saat meletakkan batu pertama IPB (Institut Pertanian Bogor) pada April 1952, beliau mengingatkan kita agar tidak sepenuhnya bergantung pada padi. Sayangnya, pesan ini seakan terlupakan hingga kini kita ditelan krisis pangan yang mengkhawatirkan.
Hingga lebih 70 tahun berselang, ketahanan pangan ternyata belum bisa diwujudkan dari pemberdayaan pangan lokal seperti jagung, sorgum, talas, porang, gembili, dan berbagai tanaman liar yang sebenarnya produktif untuk mendukung sistem konsumsi berkelanjutan.
Bermula dari mangrove Papua
Belum optimalnya pemanfaatan sumber pangan lokal seperti itulah yang menggerakkan Hayu Dyah Patria, perempuan kelahiran Gresik, Jawa Timur untuk menelisik kandungan gizi dalam tanaman liar yang murah meriah.
Ia memang mengambil jurusan Teknologi Pangan dan Gizi saat kuliah, tetapi nyatanya lebih tertarik pada hubungan antara alam, manusia, dan pangan—bukan bekerja di pabrik makanan olahan ultraproses.

Minatnya yang besar pada ketiga hal tersebut mendorongnya menekuri banyak referensi guna mengungkap keterkaitan antara satu dengan yang lain. Ketika melakukan penelitian untuk bahan skripsi, Hayu menemukan sebuah fakta menarik. Dari literatur yang ia baca, Orang Asli Papua (OAP) yang tinggal di daerah pesisir ternyata memanfaatkan berbagai jenis mangrove sebagai bahan pangan.
Salah satu jenis pangan lokal yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah Bruguiera gymnorrhiza alias lindur. Warga biasa mengolah pati yang diambil dari bagian biji lindur. Temuan itu kian membuncahkan semangat Hayu karena saat itu ia kerap melewati beberapa daerah yang dipenuhi oleh mangrove dalam perjalanan ke kampus setiap hari.
Selama mengenyam perkuliahan, Hayu kurang puas pada ilmu yang ia pelajari yang cenderung terkotak-kotak, alih-alih holistik. Pada saat yang sama ia sedang gemar membaca banyak buku antropologi dan antusias mengkaji beragam kebudayaan dari belahan dunia yang berbeda.
Lalu sesuai bidang yang ia pelajari, yakni pangan dan gizi, ia pun mulai mengait-kaitkan antara ilmu teknologi pangan dan gizi dengan ilmu antropologi. Aktivitasnya ini berujung pada terhimpunnya literatur-literatur yang mengupas persilangan ilmu antara ilmu antropologi dengan ilmu pangan dan gizi.
Ditolak karena tidak komersial
Temuannya mengenai potensi pangan lokal sebagai sumber gizi yang bisa diperoleh dengan mudah dan murah rupanya tidak bisa diterima begitu saja saat diajukan sebagai materi skripsi. Ide itu ditolak lantaran dianggap tidak bisa dikomersialkan oleh industri pangan. Setelah bersikukuh mempertahankan alasannya, akhirnya Hayu diperbolehkan mengangkat tema itu walau harus berakhir pahit, yakni mendapat nilai yang buruk.
Namun, tak ada penyesalan yang menderanya. Ia justru terpuaskan oleh banyaknya riset mandiri tentang aneka mangrove dan kaitannya dengan manusia. Begitu gelar sarjana dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ia raih, Hayu kian tergugah untuk menguak keanekaragaman hayati yang berlimpah di Indonesia.

Keingintahuan yang besar itu menggerakkannya untuk mengunjungi desa-desa dengan tujuan menggali lebih banyak lagi mengenai budaya pangan lokal. Interaksi langsung dengan penduduk lokal pun sanggup menyingkap masalah yang selama ini tak pernah ia ketahui, hal yang tak pernah ia dengar ketika berkuliah, yaitu “problem gizi di tengah-tengah masyarakat”.
Tragedi malanutrisi
Hayu prihatin menangkap fenomena krisis gizi padahal Indonesia merupakan negeri kaya raya akan keragaman hayati, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu negara dengan mega-biodiversity di dunia. Sayangnya, malanutrisi dan kelaparan masih menjadi masalah besar di Tanah Air. Ironi inilah yang kemudian mendorong Hayu untuk lebih mendalami sistem pangan di Indonesia.
Ia menggunakan penelitian tentang tumbuhan pangan liar sebagai pintu masuk yang efektif dengan alasan bahwa sebenarnya masyarakat kita dulu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alam. Mereka telah memanfaatkan segala yang disediakan oleh alam untuk memenuhi kebutuhan terdahulu, termasuk kebutuhan pangan.
Lebih lanjut, ia mengaku terinspirasi oleh kebiasaan foraging (meramban dalam bahasa Jawa, atau ngalasan dalam bahasa Sunda) yang sudah hidup sebagai tradisi dalam masyarakat Indonesia dari generasi ke generasi.

Menurut Hayu, masyarakat adat di Indonesia masih melakukan kebiasaan ini. Akan tetapi, gaya hidup alami ini perlahan-lahan terkikis lantaran pengaruh gaya hidup di era globalisasi. Hayu menegaskan bahwa yang ia lakukan adalah ikhtiar untuk menggali kembali pengetahuan-pengetahuan tradisional tentang budaya meramban dalam berbagai kebudayaan di Indonesia.
Bersama Mantasa, lembaga yang ia dirikan sejak tahun 2009, ia berharap bisa menghidupkan gaya hidup meramban kembali sebagai strategi untuk melawan malanutrisi dan kelaparan di Indonesia yang menyentuh hingga #KEHATI. Namun sebelum ada Mantasa pun, Hayu sebenarnya telah menggali dan mengampanyekan kekayaan pangan lokal sejak tahun 2005.
Gizi segar dari tanaman liar
Pengalamannya bekerja di sejumlah LSM yang bergiat pada isu pendidikan dan pertanian jelas berkontribusi pada solidnya Mantasa dan komitmennya untuk menemukan solusi pangan dari tanaman liar. Apalagi selain mempelajari teknologi pangan, Hayu juga mendalami isu gender dan mengaitkannya dengan pangan.
Saat ini Mantasa aktif mendampingi berbagai komunitas di berbagai daerah selain Desa Galengdowo, Jombang, Jawa Timur. Hayu juga berkegiatan di Desa Ngadas bersama masyarakat adat Tengger, Kampung Pelanjau dengan masyarakat adat Dayak Kanayatn, Desa Mukusaki (Flores), Manokwari, dan Pulau Alor.

Untuk mendukung terlaksananya kegiatan, Mantasa bekerja sama langsung dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat, juga berkolaborasi dengan berbagai institusi nonpemerintah baik dari dalam maupun luar negeri. Hayu menyadari bahwa kolaborasi dan sinergi adalah kunci untuk menggerakkan Indonesia agar bisa bangkit bersama dari pandemi, khususnya problem malanutrisi.
Dengan niat sederhana untuk melestarikan pangan lokal sekaligus memperkuat ketahanan pangan dan melawan kekurangan gizi menggunakan cara yang masuk akal, maka tanaman liar yang digagas Hayu adalah jawaban yang cerdas. Tanaman liar ini mudah dikembangkan, tanpa harus diberikan perawatan khusus yang mahal.
Ia meyakini bahwa peningkatan asupan gizi masyarakat bisa cukup dengan menengok sekeliling, di pekarangan kita sendiri—sebagaimana kebiasaan meramban nenek moyang kita dahulu. Konsep sederhana “dari pekarangan ke meja makan” bisa lahir dari keyakinan ini.
Frasa singkat tapi pesannya padat. Pertama, kita tak perlu khawatir kehabisan sumber pangan bergizi sebab pekarangan bisa memasok cadangan makanan dari bahan-bahan lokal berupa tanaman liar yang tak kalah bernutrisi. Sebagian bahkan tumbuh sendiri nyaris tanpa perawatan rumit atau mahal. Bisa dinikmati secara mudah dan murah.
Pesan kedua yang tersirat adalah pola konsumsi yang minim energi. Karena dipetik langsung dari kebun di samping rumah, maka tak butuh rantai distribusi yang panjang dan mahal yang malah berpotensi meninggalkan jejak karbon di alam. Kita tahu betapa mendesaknya energi bersih pada masa kini, dan mengudap makanan dari pekarangan yang bisa segera tersaji di meja makan adalah solusi cerdas untuk mencerdaskan keluarga Nusantara.
Redefinisi kemiskinan
Sebut saja daun krokot, yang sudah kadung identik sebagai makanan jangkrik padahal fungsinya menarik. Setelah diteliti lebih lanjut, krokot ternyata mengandung banyak vitamin dan senyawa pendongkrak kecerdasan.

“Krokot itu mengandung asam lemak Omega-3 yang bagus untuk jantung dan otak,” ujar Hayu dalam sebuah wawancara bersama Radio Idola Semarang.
Untuk memakannya pun sangat praktis, bisa disayur bening atau bahkan cukup dikudap sebagai salad tanpa harus dimasak sehingga hemat energi. Asam lemak Omega-3 biasanya ditemukan pada ikan laut seperti tuna dan salmon tapi harganya cukup mahal. Maka krokot adalah pilihan bijak jika ingin membuat otak anak encer.
Krokot layak dilirik sebab tanaman ini memang betul-betul liar; mudah didapatkan di mana saja karena bisa tumbuh di daerah yang berpasir, tanah liat, dan bahkan bisa hidup walau kekurangan air. Hebatnya lagi, krokot punya sifat adaptasi yang baik terhadap lingkungan.
Sepenggal pengalaman Hayu saat mengunjungi Dusun Mendiro, Wonosalam, Jombang patut dicatat sebagai fragmen yang menggugah. Karena letaknya di perbukitan, tepatnya di kaki Gunung Arjuno, dusun ini kerap dianggap sebagai salah satu dusun paling miskin di Jombang. Dengan jalan menanjak dan rusak, rumah-rumah masih berbahan kayu, serta pekerjaan warga yang tak menentu di kebun, tak ayal cibiran kerap menerpa.
Namun setelah berkunjung langsung, Hayu tak sepakat bahwa dusun itu layak disebut miskin. Buktinya, warga memiliki air segar tak terbatas yang mengalir dari gunung, tanah subur, dan tanaman-tanaman liar yang tumbuh mandiri–begitu lebat di kebun atau pekarangan. Lebih penting lagi, di hutan yang lokasinya cukup dekat dari rumah warga, aneka keanekaragaman hayati menunggu mereka untuk memanfaatkan.
“Saya justru tidak melihat kemiskinan sama sekali. Jika kemudian definisi miskin adalah berarti rumah tidak beralas semen atau keramik, menurut saya itu bukan esensinya. Ini adalah daerah yang sangat kaya,” ujarnya mantap.

Lambat laun Hayu pun semringah karena ibu-ibu ternyata punya semangat membuncah dalam memajukan tempat tinggal mereka. Pemanfaatan tanaman liar lewat kegiatan berkebun tak lagi dipandang sebelah mata. Padahal sebelumnya mereka cenderung beranggapan bahwa pangan lokal itu jelek dan tidak bermutu.
Selain krokot dan kastuba, mereka sanggup menyebutkan aneka khazanah lokal yang bisa jadi sumber pangan berharga selain beras. Mulai dari suweg, sintrong, pegagan, bayam banci, hingga gadung. Setidaknya ada 100 jenis tanaman yang bisa ditulis dalam waktu satu jam saja.
Memang sempat ada cibiran dari warga di dusun yang sama tentang pilihan komoditas yang mereka budidayakan. Tindakan sejumlah ibu itu dipandang aneh sebab tanaman yang dikembangbiakkan selama ini termasuk tumbuhan yang biasa dibuang atau digunakan sebagai pakan ternak. Akan lebih menguntungkan, misalnya, jika mereka menanam cokelat, cengkih, kemiri, atau durian yang lebih laku di pasaran.
Hanjeli sebagai solusi
Dari Jombang, kita bergeser lintas provinsi, cukup jauh ke Sumedang Jawa Barat. Para warga di Desa Sukajadi Kecamatan Wado mengembangkan hanjeli (Coix lacryma-jobi) sebagai pangan lokal yang bisa memperkuat kedaulatan pangan. Sepintas namanya mungkin terlihat kurang populer. Publik mungkin jauh lebih akrab dengan nama jelai atau jali-jali, yang kondang sebagai judul lagu khas Betawi.
Saat dimasak, hanjeli memiliki tekstur kenyal yang unik, mirip dengan gandum, dan rasa yang sedikit gurih seperti kacang. Selain itu, hanjeli dipercaya memiliki kandungan nutrisi yang dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dan menjaga kesehatan jantung.
Hanjeli patut jadi primadona baru sebab selain mudah ditanam, biji-bijian ini bisa diolah menjadi nasi (nonberas), tepung, kerupuk, teng-teng, rengginang, sereal, dan aneka kue sebagaimana dilakukan warga di Sumedang. Dengan mengonsumsi hanjeli, kita tidak hanya mendukung petani lokal tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan nasional.
Dengan rasa menyerupai nasi dan potensinya sebagai bahan baku berbagai produk pangan, maka hanjeli dapat menjadi alternatif pangan yang menarik selain beras. Masyarakat Dayak konon lebih dahulu mengenal dan mengolahnya menjadi nasi jelai, bubur, dan kue. Komoditas lokal ini bukan hanya berpotensi meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga mendukung diversifikasi pangan dalam jangka panjang.
Sihir Sukun bikin untung
Rapat siang itu mestinya sama seperti rapat-rapat sebelumnya. Bedanya, Letjen Doni Monardo—saat itu menjabat Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Indonesia—tengah menjamu anggota Komisi 8 DPR RI dengan sukun goreng. Sukun itu digoreng dadakan, setelah menempuh perjalanan ribuan kilometer dari Ambon ke Jakarta.

Banyak alasan mengapa sukun dipilih sebagai pangan lokal andalan karena punya sejuta manfaat. Kandungan serat yang tinggi membuat sukun bagus untuk menjaga kesehatan pencernaan. Buang air besar jadi lancar dan penyakit pencernaan seperti maag, mulas, dan gastritis bisa dicegah.
Sukun juga dapat membantu menurunkan kolesterol dalam darah, yang menjadikannya sebagai kudapan sehat sekaligus mengenyangkan. Dengan olahan masak yang kreatif, anak-anak juga bisa diajak mengonsumsi buah murah ini. Belum lagi karotenoid yang dapat melindungi sel-sel mata serta mencegah degenerasi makula.
Air lestari, bernilai ekonomi
Yang tak kalah penting, sebagaimana disampaikan Doni, pohon sukun bisa digunakan untuk melestarikan sumber air. Ini berdasarkan pengalamannya selama bertugas di Timor Timur di mana setiap desa yang memiliki pohon sukun tidak pernah kekurangan air.
Sukun patut diperbanyak bukan semata-mata karena bisa menyimpan cadangan air untuk kebutuhan pada masa kemarau, tetapi juga efektif menjadi tanaman lapis kedua setelah mangrove untuk mencegah abrasi.
Menanam dan menjaga pohon sukun sungguh bikin untung karena menawarkan nilai ekonomi cukup tinggi. Doni menambahkan bahwa beberapa jenis sukun dari Indonesia timur, Ambon, Sulsel, dan Papua bukan cuma gurih dan legit tetapi juga mahal harganya.
“Di Singapura saya dapat info, per kilogram dijual 15 dolar Singapura,” ungkap Doni dalam buku berjudul Sepiring Sukun di Pinggir Kali.
Saatnya pangan lokal berdaya optimal

Melihat potensi pangan lokal di Indonesia, kita mesti optimistis bahwa keanekaragaman hayati selayaknya kita manfaatkan secara bijak dan bertanggung jawab. Pemanfaatan sumber pangan khas daerah adalah solusi cerdas untuk memasok gizi penting sembari melestarikan lingkungan. Namun, ikhtiar itu bukan berarti tanpa PR—setidaknya merujuk pernyataan Hayu berikut ini.
“Kendalanya terutama adalah perspektif masyarakat mengenai budaya pangan mereka sendiri yang semakin menurun. Perlu upaya keras untuk membalikkan pola pikir mereka yang menganggap budaya pangan mereka terbelakang menjadi pangan yang sehat, lestari, dan berkualitas. Respon masyarakat lokal tentang penelitian kami adalah selalu merasa aneh karena mereka merasa pangan lokal mereka itu jelek dan tidak berkualitas.”
Apa yang dilakukan Hayu Dyah Patria, Doni Monardo, dan para petani Wado membuat kita tergugah dan tersadar bahwa negara sangat kaya seperti Indonesia—dengan berbagai jenis tumbuhan yang bisa dimakan—tidak semestinya menyisakan penduduk yang masih banyak dilanda malanutrisi, apalagi kelaparan.
Pengetahuan-pengetahuan tradisional yang sudah dipraktikkan oleh nenek moyang kita harus segera dihimpun dan didokumentasikan agar lestari dan bisa dimanfaatkan tanpa menunggu kepunahan. Kita optimistis bahwa pangan lokal bisa berdaya optimal selama kita bergerak bersama dari hati #KEHATI dengan semangat pemberdayaan dan keberlanjutan.
Sumber bacaan:
- https://womensearthalliance.org/hayu-dyah-patria/
- Wawancara dengan Hayu Dyah Patria
- https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/12/09/pangan-lokal-solusi-gizi-seimbang
- https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/12/08/lebih-separuh-penduduk-tak-mampu-makan-bergizi
- https://news.detik.com/bbc-world/d-3212402/ibu-ibu-dusun-di-jombang-jatim-ini-olah-tanaman-liar-jadi-pangan-bergizi
- Doni Moardo, Sepiring Sukun di Pinggir Kali, Penerbit Citra Jayakarta Nawa Astha, 2019

