Berburu Lowongan di Lengang Siang: Malah Nemu Jual Kos-kosan

iklan jual kos-kosan

Beberapa bulan lalu, sekitar pertengahan Juni, si sulung mendadak menghubungi kami, katanya pengin disambangi, bukan karena kangen atau minta uang jajan, melainkan butuh kitab yang mesti dibeli di areal Pondok Tebuireng.

Stok di pondoknya habis, jadi mau tak mau harus meluncur agak jauh menggunakan motor atau angkot. Karena belum terbiasa naik angkot sendiri, saya pun datang untuk mengantarnya, sekalian update kabar setelah pulang sehabis sakit.

Pamit sebelum Asar

Setelah kitab didapat, makan siang dilahap, dan obrolan santai sejenak, sekitar jam 2 saya pamit agar tidak kemalaman di jalan. Jarak tempuh Jombang – Lamongan dengan motor sekitar tiga jam, cukup jauh apalagi momennya kurang asyik saat melewati hutan Mojokerto sewaktu gelap atau menjelang petang.

Target saya, nanti saat azan Ashar dikumandangkan, saya sudah tiba di masjid musafir sebelum Jembatan Ploso yang membentang di atas Kali Brantas. Di sini lokasi yang mantap untuk selonjor kaki dan menyeruput kopi yang disediakan cuma-cuma oleh takmir masjid setempat.

Selama satu jam dari pondok si sulung menuju Ploso, saya sengaja memacu motor perlahan. Siapa tahu ada lowongan, pikir saya. Biasanya pemberitahuan lowongan ditempel di kaca atau pintu kantor dengan teks yang besar.

Ekonomi sedang lesu?

Namun sejak bertolak dari pertigaan Kecamatan Gudo, tak ada satu pun iklan lowongan yang terpampang. Sebaliknya, yang saya tangkap justru iklan tentang suatu ruko cukup besar yang tengah dijual. Ruko berderet dijual, bukan disewakan.

Sebelum tiba di lampu merah Pabrik Gula Cukir, saya melihat sebuah bilik potong rambut yang sedang tutup. Bilik yang biasanya ramai oleh pelanggan dan babang pencukur asli Madura kini sepi, tampak terbengkalai entah sejak kapan. Debu dan kotoran tipis pertanda tempat agak lama ditinggalkan.

Perjalanan terus merambat, kedua mata tetap celingukan kanan kiri kalau-kalau ada info lowongan pekerjaan. Masih nihil, yang ramai terlihat hanyalah bank plat merah dan BPR atau semacamnya.

Di sisi kiri sebelum palang kereta api Stasiun Jombang, terlihat sebuah gerai penjualan produk khas bayi yang sangat sepi. Produk bersusun, tapi tak terlihat ada aktivitas lain padahal toko jelas buka.

Melewati alun-alun, motor terus bergerak sampai tiba di perempatan lampu merah tengah kota. Pemandangan miris: toko musik yang sering saya lihat saat berkendara tetap sunyi seperti biasa. Namanya unik, semoga pembelian pun unik, barangkali transaksi lewat daring. Semoga.

Dari bank ke pasar

Setengah jam berkendara, saya akhirnya sampai di pertigaan pasar di mana terdapat landmark kota Jombang. Belok ke kiri, saya melihat deretan toko juga sepi, lagi lagi hanya BRI yang terlihat ramai. Tak lama berselang, di sebelah kanan sebelum saya memutar haluan, sebuah toko busana cukup besar terlihat sepi pengunjung. Jelas tak mungkin pasang iklan lowongan!

Dari sana saya lurus dan sengaja mengambil jalanan kecil di tengah pasar tradisional. Di kiri kanan para pedagang terduduk menunggu barang. Seorang tukang tampak memarut kelapa, mungkin buat santan pelanggan. Beberapa meter ke depan, ibu penjual buah terlihat kebut-kebut alias mengipasi dagangannya demi menghalau lalat.

Puncaknya, di jalan kecil, tepatnya di sebuah belokan ramai di belakang RSUD Jombang, ada iklan yang besar dengan warna kuning yang membetot perhatian. Sayangnya, bukan berisi lowongan kerja, melainkan iklan penjualan sebuah rumah kos dengan kapasitas 18 kamar dan fasilitas lengkap. Dijual cepat seluruhnya!

Mungkin belum rezeki menemukan apa yang saya harapkan. Lamat-lamat terdengar Syi’ir Tanpa Waton khas Gus Dur bersahutan. Pertanda azan sebentar lagi akan dikumandangkan. Saya menggeber gas dan tiba di Masjid Ploso ketika shalat Ashar sudah sekian rakaat.

Menyeruput kopi gratis

Setelah menyeruput kopi dan istirahat sejenak, jam 4 sore saya melanjutkan perjalanan. Tak jelas apa yang saya cari: lowongan atau kebodohan sendiri — karena keduanya belum saya temukan.

Menyusuri Kali Brantas, hanya truk pengangkut tebu yang lalu-lalang. Mendadak menyeruak bau khas jagung rebus dari tebu yang dimasak menjadi gula.

Apa memang begini ya hidup? Keinginan dan harapan kadang meluap-meluap di luar dugaan tanpa tahu kita butuh atau sekadar mau? Sama beratnya membedakan ilusi antara “benar-benar memiliki” dan “sekadar dipinjami”. Apakah demikian dunia yang melingkupi kita saat ini, termasuk gelembung ekonomi yang mungkin penuh manipulasi?

Saya sudah menembus alas Kemlagi, dan akhirnya kehujanan di area gumuk sebelum tiba di kecamatan Cendoro. Berkendara basah kuyup, oh sungguh Rabu yang berkesan, salah satu hari yang meninggalkan banyak pertanyaan.

Tinggalkan jejak