Salah satu pertanyaan yang sering orang ajukan dalam hidup adalah, “Sampai kapan?” Atau dalam bahasa Jawa disebut, “Kok suwe?”. Dalam bahasa Inggris terdengar, “How much longer?” Mungkin juga bahasa Perancis, “Combien de temps encore?” Orang Jepang boleh jadi bilang, “Dore kurai?” dan di Spanyol, “¿Cuánto tiempo más?”
Sepenggal pertanyaan itu mengemuka karena kita sedang tak sabar. Ada rasa jengah saat menanti sesuatu walau sesuatu itu kadang tak jelas apa. Bisa jadi tengah berlangsung penantian rezeki yang selama ini digadang-dagang. Sayangnya, apa yang diharapkan tak kunjung datang. Kekecewaan pun berulang, boleh jadi lantaran pemahaman yang salah tentang bentuk rezeki.
Dalam blog ini pula pernah saya singgung kenapa kita susah bersyukur atas kenikmatan yang sudah didapatkan? Setidakanya lima hal yang menjadi latarnya. Pertama, karena rezeki selalu kita tafsirkan sebagai uang. Kalau dapat nikmat berbentuk barang, hati pun mencelos penuh geregetan. Padahal kesehatan dan kesempatan beribadah sebenarnya termasuk rezeki tak ternilai.
Alasan kedua, rezeki datangnya sedikit. Karena pikiran kita kadung terkooptasi oleh pemahaman bahwa rezeki barulah disebut rezeki ketika hadirnya keroyokan, digelontorkan dalam jumlah berkelimpahan. Kalau banyak, kita hepi enggak keruan–malah jadi lupa bersyukur. Sebaliknya ketika sedikit, kita cemberut dan bisa-bisa mencemooh Tuhan.
Ketiga, rezeki kita maknai sebagai barter atas kebaikan yang sudah kita kerjakan. Ini kekeliruan yang fatal. Faktanya, Tuhan punya rumus sendiri dan berhak menganugerahi siapa pun dengan apa pun dalam kadar seberapa pun tanpa bisa kita intervensi.
Kalau kita berpikir bahwa rezeki kita dapat sebagai imbalan atas perbuatan baik, bersiaplah kecewa. Mengapa? Karena amal baik kita ini sangat minim, sehingga akan rugi kalau menunggu barteran dari Tuhan. The fact is, lebih banyak pemberian luar biasa yang bahkan tak kita sadari dan itu melebihi amal saleh yang kita klaim sudah dilakukan.
Terakhir, kita kerap dirundung kesempitan dan bahkan kehampaan dalam hidup sebab menanti akumulasi rezeki besar dalam waktu yang disegerakan. Sak det sak nyet, kata orang Jawa: apa yang kita kehendaki mesti cepat terjadi, apa yang dipanjatkan ingin segera jadi kenyataan. Termasuk rezeki—minta didatangkan tanpa waktu berlarut. GPL alias ga pake lama kata orang zaman now.
Intinya, rezeki yang tak kunjung datang membuat hati kita meradang. Akhirnya lupa mensyukuri apa yang sudah dimiliki, hati abai terhadap berbagai nikmat yang sudah diberi. Kalau mengukur hal-hal baik dari Tuhan dari kecepatan waktu (immediacy), mestinya kita–eh saya–malu semalu-malunya sebab sejatinya tak layak menerima nikmat luar biasa dalam waktu cukup gegas.
Sebagai contoh, rezeki berupa anak atau keturunan. Saya tercubit saat imam Jumat di Masjid Asy-Syifa membacakan sepenggal ayat dari Surah Ibrahim selepas Ramadan tahun lalu. Masjid megah yang berada di kawasan Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan (RSML) ini punya daya tarik tersendiri bagi pelancong atau musafir setiap hari.
Kala itu, imam membaca ayat berikut yang membuat saya gemetar–maksudnya merasa terpukul akibat kesalahan fatal. Serasa tak tahu diri, tak tahu terima kasih.

Tanpa saya sadari, Allah telah begitu baik (tentu saja always) dengan menganugerahi saya dan Bunda Xi dengan dua bocil lucu dan berbakat tak lama setelah kami menikah. Oke, itu memang titipan, tapi berapa banyak orang menghendaki titipan tersebut untuk melengkapi hidup mereka–untuk memijarkan kegembiraan di rumah-rumah setiap hari?
Sekaliber Nabi Ulul ‘Azmi pun bersyukur telah diuji dengan terlambatnya kehadiran keturunan. Loh saya kok mongkok, umpak-umpak-umpakan, sok-sokan enggak sadar diri–apalagi berterima kasih–padahal punya anak relatif cepat tanpa ikhtiar macam-macam atau doa serta penantian panjang. Bukankah itu lacut? meminjam istilah guru di pondok dulu sebagai akronim aLAne kebaCUT alias keburukan yang melampaui batas.
Pertanyaan tentang kapan suatu permintaan akan dikabulkan sungguh manusiawi. Namun, jika terus mempertanyakan seolah menuduh Tuhan tak adil sungguh kesalahan belaka. Terus meminta itu baik, apalahi kepada Zat Maha Pengabul dan Pemilik Segalanya. Namun, ketidaksabaran jangan sampai mendera kita sehingga penantian seolah sia-sia atau Tuhan terkesan tak sayang sebab melimpahi orang lain dengan banyak hal baik dan tidak kepada kita.
How much longer? Loh kok suwe? sungguh adalah pertanyaan yang sekarang saya ajukan. Pengin ganti motor, laptop, hape, renovasi rumah yang tiap tahun dilanda banjir, oh sungguh panjang daftarnya. Semoga tulisan pendek ini membuat saya ingat, untuk meyakini bahwa setiap pemberian akan indah pada waktunya.

semangat terus ya mas…
LikeLike
Terima kasih.
LikeLike