Manfaat Anger Management & Membasuh Luka Pengasuhan: Lega & Antingegas, Jalani Hidup Semakin Ikhlas

anger management dandiah care

SEKIAN MENIT SAYA bengong ketika panitia membagikan kantung plastik. Sejenak terlempar ke memori masa kecil saat menumpang bus antarkota di mana plastik kresek tersedia bagi penumpang yang hendak muntah. Saya melirik jam di ponsel: 12.15. Suasana kian menegangkan ketika lampu sengaja dimatikan. Benar-benar pengalaman unik bisa ikut worskhop anger management dan membasuh luka pengasuhan bersama Dandiah Care.

“Yang bawa bantal, siapkan dan taruh di samping,” ujar Pak Dandi salah satu mentor kami hari itu. Hah, bantal? Sejak kapan kami diminta bawa bantal? Gumamku agak panik. “Oh iya, disuruh bawa bantal!” pekik Mbak Hani yang mejanya tepat di depanku.

Mungkin akibat kesibukan mengajar, saya sampai lupa tidak memantau grup WhatsApp dengan teliti. Untunglah sejuknya AC Ibis Hotel segera menghalau kalutnya pikiran yang kemudian larut dalam perasaan trance selama sesi terapi di bawah panduan Bu Diah.

Tak lama berselang, dengan arahan Bu Diah, dari beberapa sudut ruangan mulai terdengar isak tangis. Semula lirih, lambat laun menjadi raungan dengan emosi yang intens. Sambil memejamkan mata sesuai perintah, saya terus mengikuti pentunjuk yang diperdengarkan sembari mencoba memahami apa yang sedang saya alami. Inikah yang namanya ekstase? Being mindful?

Saya terus menyelami perasaan dan emosi diri, perlahan menelisik bilik-bilik memori yang sekiranya menyimpan renik-renik amarah yang selama ini terpendam. Suara Bu Diah terdengar jelas dan kian mengaduk emosi, sesekali Pak Dandi menyela dengan intonasi tak kalah otoritatif. 

Lega karena menerima

Dari beberapa meja, sejumlah peserta terdengar muntah, berulang-ulang. Sebagian tetap menangis–begitu kencang, begitu lepas. Sampai akhirnya di satu titik saya tak sanggup membendung emosi. Air mata terasa panas di pelupuk, berleleran hingga ke pipi. Mata terpejam, kenangan demi kenangan kemarahan pun terkuak untuk diletupkan demi penyembuhan.

Pak Dandi mengingatkan bahaya menyimpan anger yang sengaja ditekan.

Kurang lebih satu jam sesi terapi pengelolaan kemarahan (anger management) berlangsung. Plong dan lega, itulah sensasi yang muncul seketika begitu saya membuka mata. Benderang lampu ruangan hotel seolah tak mampu mengalahkan pijar harapan yang membuncah pasca pemafaan.

“Itulah sebabnya kenapa tadi kita foto dulu,” ujar Pak Dandi seusai sesi terapi. “Karena habis terapi, alis segala macam sudah enggak karuan,” lanjutnya setengah berkelakar yang disambut dengan tawa renyah peserta yang pagi itu didominasi kaum hawa.

Sambil menikmati hidangan makan siang khas Ibis yang sangat menggugah, saya bercakap dengan seorang pemuda yang ternyata dropout dari sebuah PTN ternama di Surabaya. Calon bapak yang saat ini menjadi driver online tentunya punya luka yang ingin disembuhkan.

Walau tak banyak yang kami bahas, tapi jelas terlihat dia sangat enjoy mengikuti workshop hari itu. Apalagi setelah melalui sesi terapi tahap pertama yang memang bikin jiwa leluasa.

Sewaktu kembali ke lantai atas untuk shalat Zuhur, saya baru tersadar bahwa memaafkan diri sendiri ternyata jauh lebih menantang. Perjalanan menuju kesembuhan harus dimulai dengan menerima kenyataan, terutama penghargaan atas diri, agar jalan masa depan terbuka.

LELUASA, kesan yang terbawa

Leluasa boleh jadi satu kata yang bisa mewakili kesan saya selepas mengikuti workshop Anger Management & Membasuh Luka Pengasuhan yang digelar oleh Dandiah Care di Ibis Hotel Surabaya pada Minggu (9/2) kemarin.

L = Lega

Pertama, ada perasaan lega setelah saya mampu memahami emosi terdalam, terutama gejolak amarah yang selama ini terpendam. Apalagi pascasesi terapi yang membuat seluruh peserta pecah dalam tangis, tak terkecuali saya pribadi.

Kelegaan lahir berkat keberanian kita dalam melawan suatu masalah. Pak Dandi mengingatkan, saat muncul masalah, kita punya dua opsi: fight (melawan/menghadapi) atau flight (menghindar). Lari dari masalah sepintas terasa nyaman, tapi sebetulnya meninggalkan tumpukan masalah dengan eskalasi emosi yang bisa sangat berbahaya di kemudian hari.

Saat menjelaskan bagian ini, dia menyitir pendapat Aristoteles:

Siapa pun bisa marah; itu mudah. Namun marah kepada orang yang tepat dan pada kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, untuk tujuan yang tepat, serta dengan cara yang tepat—itu tak bisa dilakukan semua orang dan memang tidak mudah.”

Inilah perlunya ilmu, dalam hal ini ilmu untuk mengenali dan memahami emosi, terutama kemarahan. Pemahaman yang memadai akan menuntun kita pada sikap yang tepat saat menghadapi suatu masalah atau peristiwa, tidak asal hantam dengan reaksi agresif.

Kejadian dalam hidup, masih menurut Pak Dandi, sebenarnya netral. Namun, penghayatan atau pemaknaan kita atas kejadian itulah yang tidak netral. Untuk mengelaborasi hal ini, dia lantas menampilkan fakta pahit tentang orang Indonesia–khususnya warganet yang sudah sangat dikenal suka viralitas.

Kebanyakan orang Indonesia cenderung mengadopsi gaya berkomunikasi atau pola reaksi yang pasif-agresif. Sebagai contoh, saat kaki kita terinjak, kita memilih untuk diam alih-alih menegur si penginjak. Kita cenderung pasif dengan menahan rasa sakit tetapi diam-diam mengajak orang lain untuk membenci orang itu.

Kita harus tahu mana bentuk marah yang cerdas dan mana yang tidak cerdas.

Ini jadi pemandangan umum di jagad medsos Indonesia, di mana masalah keseharian yang mestinya bisa diselesaikan secara langsung malah berubah jadi bola salju dan bahkan bumerang.

Idealnya, kita menjadi pribadi yang asertif, yakni melakukan protes secara langsung dengan cara sopan dan disertai alasan. Bukan pasif menyimpan kemarahan atau agresif dengan menyerang secara frontal.

Dalam konteks pasutri atau hidup berumah tangga, Pak Dandi memberikan dua kiat penting untuk menyampaikan kritik sebagai perwujudan komunikasi asertif. Pertama, teknik “I Message“, yaitu mengkritik kejadian spesifik, bukan keseluruhan pribadi pasangan.

Misalnya, “Mama kurang suka kalau Papa taruh handuk di atas kasur sehabis mandi. Bisa enggak Papa taruh di tempatnya setelah mandi?” Jadi terlihat di sini bahwa komplain dilancarkan pada satu hal yang dinilai tidak tepat, bukan sosok suami yang semuanya salah.

Crit Sandwich bisa jadi opsi lain untuk menyatakan kekesalan atau keluhan secara asertif. Sebagaimana namanya, teknik ini mengemas kritik dalam balutan dua hal manis. Kritik dibuka dengan pujian dan diakhiri dengan kesimpulan yang membesarkan hati.

Misalkan, “Pa, Mama seneng dan bangga deh Papa kerja keras buat keluarga. Tapi bisa enggak kalau Papa pulang malam atau lembur ngabarin Mama. Biar Mama tenang. Kalau Mama tenang, Papa kan juga kerjanya jadi ikut tenang. Papa memang hebat, pekerja keras yang sayang keluarga.”

E = Energik

Kami pulang dalam kondisi penuh energi, energi positif tentu saja, seolah recharge energi setelah seluruh emosi negatif ditumpahkan. Benar kata Pak Dandi, kemarahan itu jangan ditekan apalagi dilupakan, tetapi harus dialirkan.

Ada tiga tipe kemarahan yang perlu dipahami, yaitu anger-in, anger-out, dan anger-mixed. Jika anger-in bersifat meredam dan berpotensi menghancurkan diri sendiri, maka anger-out cenderung diluapkan kepada orang lain secara agresif. Adapun anger-mixed adalah perpaduan keduanya, biasanya dilampiaskan kepada orang yang lebih rendah (out) tetapi cenderung ditahan saat menghadapi atasan atau pihak yang superior (in).

Agar tidak terjebak dalam cengkeraman kemarahan, kita mesti mengenali 4C dalam anger management sebagaiman dinyatakan oleh Dr. Dan Siegel.

  1. Cerdas mengenali trigger atau pemicu (hot button)
  2. Cerdas mengenali reaksi tubuh
  3. Cerdas mengenali jenis emosi dan kebutuhan di balik kemarahan, sampaikan secara asertif
  4. Cerdas melatih ekspresi marah, agar selarasa dengan nilai dan prinsip diri

Namun, yang paling penting diingat adalah energi pemafaan karena forgiveness merupakan penawar anger yang jitu. Saya masih ingat ketika mengingat nama-nama orang yang dulu pernah mengecewakan; baik atasan atau teman yang menyakitkan hati. Setelah melalui sesi terapi dengan memaafkan mereka beserta kesalahan masing-masing, hidup saya kembali berenergi dan siap menyambut peluang.

L = Langgas

Kelegaan dengan limpahan energi positif itu bikin saya menjalani hidup dengan perasaan langgas. Ya, langgas. Kata ini mungkin teman-teman kenal dari buku laris Yoris Sebastian berjudul Generasi Langgas untuk menggambarkan Generasi Millenials atau Gen Y, yang kreatif, gemar belajar, suka tantangan, dan percaya diri.

Menurut KBBI, langgas berarti tidak terikat kepada sesuatu atau kepada seseorang; bebas. Begitu pemafaan saya berikan, perjalanan mental ini memang membuat jiwa saya merdeka, tidak terikat pada sesuatu atau seseorang yang selama ini (tak disadari) mengekang.

Memelihara kemarahan, kata Bu Diah Mahmoedah, berarti self toxication alias meracuni diri sendiri karena peristiwa negatif terus diputar dan berulang selama kita belum mampu memaafkan pelakunya. Menuju pemaafan memang sebuah proses batin, dan oleh karena itu harus dimulai dengan sadar dan segera tanpa menunggu luka serius tergores lagi.

U = Unik

Workshop ini saya sebut unik sebab peserta bukan cuma dijejali teori, tetapi mendapatkan sharing berupa contoh-contoh kasus nyata yang pernah ditangani tim Dandiah Care. Peserta jadi mudah membangun empati terhadap contoh kasus sekaligus menjadi acuan biar tidak melakukan kesalahan yang sama, terutama menggoreskan luka pengasuhan pada anak.

Dua sesi terapi yang dihadirkan memang unik, saat kami ‘dibersihkan’ dari luka batin, dengan menelusuri emosi yang selama ini kita ingkari atau sengaja tersembunyi. Pascaterapi, saya serasa menjadi pribadi baru, lebih segar dalam memandang masalah. Inilah katarsis, yaitu melampiaskan emosi secara positif yang membuat kita merasa lebih lega dan bisa menjalani hidup secara lebih produktif.

Sehat mental membawa dampak positif yang krusial | press.jhu.edu

Targetnya, kita bisa sehat mental tanpa dibayangi atau tersiksa oleh emosi negatif yang menghambat kemajuan. Sehat mental, menurut pemaparan Pak Dandi, setidaknya tecermin dalam empat kriteria:

  1. mengenal potensi kita
  2. bisa mengatasi masalah (coping) pada tingkat stres yang normal
  3. bekerja dengan produktif, dan
  4. memberikan kontribusi secara positif

Maka mengendalikan stres jadi kemampuan yang krusial untuk membantu kita mempertahankan kesehatan, meningkatkan kinerja, dan menavigasi tantangan secara efektif. Stres adalah respons alami kita terhadap tantangan dan tuntutan hidup sehingga tak mungkin dihilangkan.

Kalau ada workshop atau pelatihan yang menjanjikan hilangnya stres, itu patut diwaspadai. “Setelah ikut workshop ini, dijamin enggak bakal stres lagi,” ujar Pak Dandi sambil terkekeh mengingat itu hal mustahil. Stres bukan dihilangkan, melainkan dikelola.

Faktanya, tidak semua stres itu negatif. Jika stres tidak dikelola, dan takarannya berlebihan, maka dia berubah distress yang akan memengaruhi kondisi emosi, spiritual, atau fisik penderitanya sehingga lahirlah perasaan sedih, takut, kesepian, dan bahkan depresi.

Adapaun stres yang positif justru dapat memotivasi dan memberikan energi bagi kita. Inilah yang disebut eustress yang terasa saat kita bersemangat, menghadapi tantangan positif, atau terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan. Intinya adalah pengelolaan, bukan penghilangan.

A = Asyik

Workshop berjalan sangat menyenangkan, meski materinya serius berkaitan dengan kesehatan mental, tapi Pak Dandi bisa membawakannya dengan cair lewat presentasi yang memikat. Materi yang bergizi jadi terserap dengan alami. Sesekali terluncur joke ringan yang membuat suasana gayeng. Kehadiran Bu Diah Mahmoedah melengkapi setiap sesi dengan pemaparan yang artikulatif dan memikat.

S = Suportif

Workshop ini digelar dengan nuansa SUPORTIF, ambience yang menggerakkan peserta agar menularkan pesan positif. Bahwa kesempatan kedua itu ada, bahwa pemulihan jiwa dari trauma itu bisa. Kekuatan kolektif seketika muncul untuk bisa sembuh dari luka masa lalu.

Workshop Anger Management dan Membasuh Luka Pengasuhan yang digelar di Ibis Surabaya City Center tempo hari diramaikan oleh 23 peserta offline dan 20 peserta online. Keragaman latar peserta workshop membuat acara kian menarik dan menghadirkan lingkungan suportif. Setidaknya ada 9 orang psikolog, 2 orang ilmuwan psikologi, 3 calon ayah, guru, ustadzah, pengusaha, dll yang bergabung dari pagi hingga petang.

“Yok bisa yok!” kekuatan fisik lahir dari kekuatan mental.

Berbekal ilmu self healing therapy dan teknik relaksasi–juga kisah-kisah nyata yang diangkat–kami pulang dengan langkah mantap bahwa kami optimistis bakal mampu menghalau kemarahan destruktif sebab telah menyadari berbagai efek buruknya. Walau tak banyak bercakap, saat meninggalkan hotel, kami seolah berpesan satu sama lain, “Yok bisa yok!” sebagai penguatan diri.

A = Adem

Kesan lain selepas ikut workshop oleh Dandiah Care ini adalah hati jadi ADEM sehingga ANTENG menjalani hidup. Penyembuhan luka jelas membutuhkan waktu, tapi jangan semata mengandalkan waktu untuk bisa sembuh.

“Jangan cuma time will heal tapi cari ilmunya,” pesan Bu Diah. Bahwa untuk mencapai penyembuhan dibutuhkan ikhtiar nyata, bukan bergantung pada pergantian waktu tanpa kesengajaan untuk bertumbuh.

Kata kuncinya adalah proses, yang didukung dengan ilmu, misalnya tahapan melepaskan emosi (bahasa rasa) yang disampaikan Pak Dandi:

  • Aware, yaitu menyadari siapa dan apa yang membuat kita terluka. Ketahui dulu sebagai modal untuk sembuh. Luka apa dan seberapa dalam luka itu, termasuk apa dampaknya saat ini–ini wajib disadari.
  • Accept, selanjutnya kita mesti menerima beragam rasa yang kita peroleh dari luka itu. Jangan sangkal atau denial; marah, dendam, sakit hati, coba terima lalu kita alirkan melalui terapi menggunakan Self Healing Therapy (SEHAT).
  • Allow, izinkan diri kita untuk melupkan emosi, misalnya curhat atau bahkan menangis. Jangan ditahan sebab berat konsekuensinya.
  • Away berarti membuang ragam kemarahan itu dengan kesadaran bahwa kitalah yang bakal memetik manfaat dari kesudian memaafkan. Dengan memilih menjadi pribadi penuh welas asih (self compassion) lewat pemaafan, hati dan pikiran saya rasanya plong di akhir acara. Lebih-lebih karena ada imbalan pahala berkat forgiveness tersebut.

Sayangnya, menurut Pak Dandi, tak sedikit orang Indonesia enggan menjalani proses. “Dari Aware langsung Away, ya sulit!” sergahnya serius. Kesembuhan dimulai dari kesadaran menjalani proses, termasuk mencari bantuan jika kita sudah kewalahan. Optimistis dan selalu bergerak dengan harapan. Itulah spirit yang lahir sebagaimana tergambar dalam catatan peserta berikut ini.

Setelah sembuh, bangun kembali harapan.

Siapa yang harus ikut workshop ini?

Kalau ditanya siapa yang cocok ikut workshop ini, saya akan jawab: semua orang. Tak peduli apa latar belakang pekerjaan atau suku maupun agama, Anda wajib menelisik tentang kesehatan mental sedini mungkin. Karena faktanya, setiap orang punya masa lalu dan luka yang bisa saja ditutupi atau ingin dilupakan.

Setiap orang punya masalah yang menghadirkan stres tersendiri, baik atasan maupun karyawan, sesama teman, pengguna medsos, orangtua dan bahkan anak-anak. Ini jadi satu narasi besar yang dibahas dalam sesi tersendiri, yakni Membasuh Luka Pengasuhan.

Emosi karyawan pengaruhi kemajuan perusahaan

Sebuah kisah menarik dituturkan Pak Dandi pada sesi ini selepas jeda makan siang. Seorang bos, yang punya sejumlah pabrik di Bandung, mendatanginya dan mengeluh tentang tingginya angka turnover karyawan. “Kenapa ya, Pak Dandi?” tanya pengusaha ini benar-benar clueless.

Setelah mau diterapi, akhirnya terkuaklah bahwa ia menyimpan luka masa kecil akibat pengasuhan yang salah. Sang ayah termasuk abusive, kerap melakukan kekerasan fisik, bahkan memukulinya dengan gesper atau sabuk. Hal ini tak disadari membekas sebagai luka yang dilampiaskan kepada karyawannya. Pantaslah mereka tak betah dan akhirnya keluar akibat bos yang juga abusive.

Selepas sembuh dan bisa memaafkan sang ayah, bos ini lantas mengajak ayahnya makan di restoran mewah kesukaannya. Sambil menunggu pesanan, bos mengatakan, “Yah, tahu ga? Aku sudah memaafkan kesalahan ayah,” ujarnya singkat tapi bernas.

“Salah? Emang ayah buat salah apa sama kamu?” jawaban terlontar spontan, sungguh di luar dugaan.

Betapa pelaku kekerasan kadang malah tak sadar pernah melakukannya. Maka betul kata Bu Diah, mengingat kesalahan orang justru menghancurkan diri kita. Pelakunya saja sudah lupa, mengapa kita malah mengawetkan luka itu?

Fenomena ini dikonfirmasi oleh Bu Diah sebab kerap terjadi di lapangan, yaitu yang 𝘿𝙪𝙡𝙪 𝙆𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣 akhirnya 𝙎𝙚𝙠𝙖𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙋𝙚𝙡𝙖𝙠𝙪. Bisa jadi ayah bos tadi juga merupakan korban kekerasan pada masa kecilnya. Kekerasan itu diturunkan kepada anak, yang kemudian melampiaskan kepada karyawan. Siklus yang tragis dan mengerikan, apalagi kalau terjadi antara ibu dan anak.

Dandiah Care siap mendampingi klien dari berbagai latar belakang.

Keputusan ada di tangan kita: mau melanjutkan rantau kekerasan atau memutusnya sekarang juga. Cara memutus lingkaran parenting kekerasan seperti itu adalah dengan kekuatan ILMU. Nah, Dandiah Care menawarkan ilmu yang dikenal dengan 5M Journey.

  1. Membayar Utang Pengasuhan; jika kita sebagai orang tua terlanjur menggoreskan luka pada anak, maka saatnya sekarang membayar utang pengasuhan agar anak tidak membawa luka batinnya hingga dewasa dan menurunkannya kepada anak atau orang lain.
  2. Membasuh Luka Pengasuhan; coba luruhkan luka masa kecil kita dengan serangkaian terapi 𝘤𝘩𝘪𝘭𝘥𝘩𝘰𝘰𝘥 𝘵𝘳𝘢𝘶𝘮𝘢 𝘩𝘦𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯 𝘳𝘦𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨. Ini akan membantu untuk bisa sembuh.
  3. Memperbaiki Kualitas Pengelolaan Emosi dengan Anger Management, seperti halnya kami yang sudah ikut workshop-nya kemarin, dengan tujuan semua ransel emosi pada masa kini tidak akan tumpah ruah kepada anak
  4. Memperbaiki Kualitas Pernikahan dengan KOMPAK; pernikahan yang hambar bahkan toksik sangat rentan membuka pintu frustrasi dan amarah, yang menjadi pemicu awal malapetaka dalam keluarga.
  5. Menjemput Ilmu Positive Parenting; kegagapan kita tentang kebutuhan anak, karakteristik mereka, juga metode-metode humanis yang cocok bisa jadi lantaran ketidaktahuan terhadap ilmu parenting yang sebenarnya bisa dipelajari. 

Tentang kesejahteraan emosi karyawan yang memengaruhi kemajuan perusahaan, kasusnya bukan hanya menimpa bos pabrik tadi. Pak Dandi dan Bu Diah juga mengisahkan pengalaman mereka melakukan terapi untuk karyawan sebuah perusahaan otomatif yang berdampak pada pencapaian target yang naik drastis dari 800 menjadi 1.100 per hari.

Ketika dampaknya terasa positif, maka para karyawan pun meminta agar pejabat dan atasan di perusahaan tersebut ikut diterapi agar sama-sama menjadi pribadi “baru” sehingga interaksi berikutnya bisa lebih kondusif, humanis, dan produktif. Ini bukti bahwa emosi, termasuk kemarahan, turut berkontribusi pada bagus tidaknya kinerja pegawai.

“Emosinya dulu dibenerin, baru ke logic,” berkali-kali Pak Dandi menyampaikan hal ini. Jika emosi belum dibenahi, maka logika tak akan berjalan lantaran terjadi mental blocking.

Misalnya seorang perempuan yang setiap kali berdoa untuk orang tua, selalu ditambahkan kalimat di ujung. “Rabbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayaani Saghiiraa.Tapi itu tadi buat ayah saya ya Allah,” bisik perempuan tersebut yang belum bisa memaafkan kesalahan sang ibu. Mental blocking ini membuat seseorang enggan berbakti atau merawat orangtua, bahkan sekadar menyebut namanya dalam doa.

Amygdala Hijacking dan ambivalensi emosi

Mental block ini bisa terjadi akibat amygdala hijacking yaitu kondisi ketika emosi-emosi kuat “mengambil alih” atau membajak peran otak sehingga susah berpikir rasional. Pembajakan ini bisa menyebabkan kita bertindak emosional yang akhirnya kita sesali.

Pernah enggak misalnya teman-teman marah besar karena masalah sepele di jalanan? Atau mungkin resign dari pekerjaan semata-mata akibat emosi sesaat?Itu akaibat amygdala hijacking. Yaitu saat emosi memuncak lalu menyerang korteks prefrontal, bagian otak yang mengatur pemikiran rasional.

Belajarlah mengelola amarah agar tidak merusakkan jiwa.

Dengan motivasi inilah Dandiah Care sering menyambangi anak-anak SMA di Bandung yang akan mengahadapi ujian SNBT. Pak Dandi dan tim turun untuk memberikan terapi secara cuma-cuma untuk membasuh luka dan memperbaiki logic para siswa. Pengaruhnya cukup signifkan, terbukti tingkat kelulusan anak-anak lebih tinggi.

Namun, luka akibat kemarahan pada orang lain–sebesar apa pun–boleh jadi tak sebanding dengan luka yang digoreskan oleh orangtua sendiri, lebih-lebih ibu kita. Kita toh tak bisa menyalahkan mereka karena luka pengasuhan itu sebab mereka mungkin belum punya ilmunya. Kitalah yang berhak memutus rantai luka itu sekarang juga.

Jika menyangkut orang lain, kita bisa memaafkan dan melupakan, karena cukup mudah menghindar atau menjauh–tapi kasusnya tentu berbeda dengan orangtua yang harus kita patuhi, sayangi, dan bahkan rawat. Kita tak mungkin menjauh, justru harus mendekat karena norma sosial atau ajaran agama.

Kondisi ini menciptakan hubungan yang ambivalens, karena kita sebagai anak memiliki ide atau gambaran yang berlawanan mengenai orangtua. Di satu sisi mereka kita hormati, tapi di sisi lain telah membekaskan luka mendalam.

“Akan jadi sulit kalau terjadi affective disregulation. Ada ambivalensi emosi, atau love and hate relationship dengan orangtua kita,” ujar Bu Diah saat meng-highlight dilema luka pengasuhan sebab yang kita hadapi adalah orang-orang terdekat.

Sebut saja misalnya seorang psikolog yang terus menolak konseling dari korban pelecehan seksual. Dia lebih memlih mengisi pelatihan tema umum atau meng-handle piskotes dan semacamnya. Selidik punya selidik, dulu dia pernah dilecehkan oleh orang terdekat saat liburan lebaran bersama keluarga besar.

Perjalanan menuju cahaya

Masih banyak kisah nyata ‘menarik’ yang dipaparkan Pak Dandi dan Bu Diah selama workshop di Surabaya kemarin. Sungguh tak menyangka di luar sana orang mengalami kejadian aneh atau mungkin kita anggap sepele tapi menghantui sepanjang hidup.

“Setidaknya kita jadi bersyukur bahwa ternyata masalah kita belum seberapa,” kata Pak Dandi yang disambut tawa ringan peserta.

Saya pikir memang inilah intinya, setidaknya bagi saya pribadi. Bersyukur dan bersyukur, sudah dikasih kesempatan untuk hidup dalam keluarga sampai sekarang. Mungkin belum sempurna, bahkan mustahil bisa ideal, tapi yakinlah Allah telah memberikan yang kita butuhkan, bukan semata yang kita inginkan.

Alhamdulillah saya tak punya luka pengasuhan oleh orangtua. Namun, saya tetap butuh sembuh karena gesekan dengan teman atau rekan kerja di masa lalu jelas harus dikikis. Agar beban masa kini semakin ringan karena saya kini jadi kepala rumah tangga yang mesti menjadi teladan.

Menjadi rapuh is okay, namanya juga manusia, tapi jangan berhenti apalagi sibuk menyalahkan atau mengutuk keadaan. Workshop kemarin mengingatkan saya pada kutipan pendek Edward Albee, dramawan AS yang karyanya pernah kami pentaskan semasa saya kuliah dulu.

“If you have no wounds, how can you know you’re alive?”

Intinya, terluka itu biasa sebab kita masih hidup. Akan selalu ada masalah dan stres yang menyertainya. Masalahnya adalah apakah kita menderita atau tidak karena luka itu, sepenuhnya menjadi pilihan kita. Terbebani atau tidak, kita bebas menentukan.

Salah satu caranya dengan mengikuti pelatihan atau workshop bergizi oleh Dandiah Care. Cek saja akun IG buat jadwal dan tema pelatihan, siapa tahu cocok dengan teman-teman. Dandiah Care punya tim narasumber yang beragam dan kompeten dengan jam terbang tinggi.

Sungguh beruntung bisa bergabung bersama peserta lain yang ingin sembuh dengan menempuh perjalanan (journey), dari zona rapuh menuju zona cahaya. Pribadi yang tangguh, resilien, dan sebisa mungkin memberi manfaat bagi orang lain.

Sebenarnya banyak yang pengin saya tulis, tapi silakan ikut sendiri saja yaa karena workshop anger management dan membasuh luka pengasuhan dari pagi sampai sore ini benaran worth-it. Saya yang sekarang mengajar di bimbel, editor lepas, juga bloger sangat terbantu untuk bisa lebih produktif. Buat anak, orangtua, bos, mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja, semuanya bisa.

Mengakhiri tulisan ini, ada frasa menarik yang sempat saya baca sebagai judul di website Universitas Deakin Australia. “There’s no health without mental health,” yang jelas menyiratkan bahwa kesehatan mental itu prioritas yang sangat memengaruhi kesehatan badan secara keseluruhan.

Jangan tunggu sakit, segeralah cari bantuan selagi masih sehat. Biar enggak suka ngegas dalam menghadapi masalah dan bisa menjalani hidup dengan lebih ikhlas.



2 Comments

  1. “There’s no health without mental health.”
    Tentu bener banget frasa tersebut, yang namanya sehat ya harus sehat lahir batin, jiwa raga, fisik mental.
    Masalahnya sakit batin ini kadang tak begitu tampak, bahkan seringkali tak kita sadari keberadaannya. Kita merasa baik-baik saja, tapi ternyata dari kacamata psikolog ada yang salah. Kadang kalau lagi marah-marah baru bisa ketahuan ujungnya dari mana. Masalahnya berawal dari apa/mana. Emang kalau ada keruwetan batin tuh ada baiknya ke psikolog, ya. Tapi oh tapi.. biasanya berbayar. Hehehe.

    Workshopnya Dandiah ini kayaknya bagus banget ya kalau baca dari tulisan mas Rudi ini. Bisa se-LELUASA ituuu.. dari plonga-plongo mikir buat apaaa kantung kresek jadi plongggg pas pulang ke rumah. Hihihi.

    Like

    1. Betul, Mbak. Kalau enggak ditelisik sebabnya, bisa jadi trauma yang membahayakan. Idealnya sih diterapi oleh pakar seperti psikolog, biar ga sampai ke psikiater. Intinya disadari dulu Mbak, kalau tahu tekniknya bisa self healing. Kemarin diajarin hehe makanya ikut 🙂

      Like

Tinggalkan jejak