THE POWER OF POWERLESSNESS

medtips.inBeberapa hari yang telah lewat, tepat saat azan Maghrib berkumandang kompor di rumah kami tiba-tiba padam seketika. Dugaan kami tidak meleset: gas elpiji dalam tabung sudah tandas; pantas air yang sedianya untuk memandikan Rumi anak kami tak kunjung mendidih. Maka kami segera menghubungi warung depan rumah untuk membeli tabung gas yang penuh dan siap pakai. Kami hanya bisa gigit jari ketika ternyata tak ada tabung yang terisi. Namun syukurlah air dalam teko sudah cukup panas untuk mandi hangat meskipun tak sampai bergejolak pada titik 100°C.

Setelah bergantian shalat Maghrib, saya segera menuju kamar mandi untuk memandikan Rumi sementara istri saya kembali ke warung depan untuk memesan mi rebus siap santap. Kami didera rasa lapar setelah seharian beraktivitas di luar. Perlu diketahui bahwa rumah kami terletak di kampung yang meskipun tak terlalu jauh dari jalan besar, namun cukup membuat malas untuk keluar rumah karena kondisi jalan yang belum sepenuhnya nyaman. Terlebih jika tak ada kendaraan pribadi. Memang ada akses ojek namun mereka tak bisa diandalkan setiap saat.

Singkat kata, Rumi sudah segar dan yang kami tunggu pun tiba. Sebuah ketukan dan salam menghampiri pintu rumah. Saat dibuka, Pak Haji pemilik warung berdiri dengan dua mangkuk mi instan rebus di tangannya. Asap berkepul tanda kudapan ini masih panas. Harum bumbu plus irisan sawi hijau menambah kenikmatan saat menyantapnya. Alhamdulillah, perut akhirnya terisi dan kemudian saya bisa menulis coretan ini. Baiklah, soal mandi Rumi beres sudah. Perut kosong lewat sebagai sejarah. Tapi jujur saja masih ada yang mengusik pikiran kami. Esok harinya kami berencana memasak spaghetti yang akan dibagikan ke beberapa orang di kantor istri sebagai syukuran hari ulang tahunnya. Semua bahan dan bumbu sudah siap dalam kulkas. Setiap langkah dan proses pembuatan jelas telah kami kuasai dengan mantab sebab kami sudah sering meramu hidangan ini. Jika tak ada gas untuk memasak, mana mungkin menu itu bisa dihidangkan? Kami tak tahu jawabannya. Dan kami juga tak tertarik untuk menjawab pertanyaan itu. Meski tentu saja kami bisa meluncur ke minimarket terdekat untuk membeli tabung yang penuh.

Yang menarik adalah justru selorohan istri saya, “Baru aja semalam ga ada gas, kita sudah kelimpungan kayak cacing tersiram air cabe.” Saya jadi tercenung dan berpikir, benar juga katanya. Kami memang jadi tak bisa bikin telur ceplok atau ngangetin pepes tahu kemangi yang pasti sedap untuk hidangan makan malam. Kami juga tak mungkin menyeduh teh tubruk untuk menghangatkan badan agar lebih rileks pada malam yang dinginnya begitu menusuk.

4 Comments

  1. asalamualaikum..knockk knockk… kulonuwonn…
    Mampir ahhh…..
    Hayooo dong, dilanjutken critanya… ehhehee,.. yang rajin yaa apdet tulisannya, sering2 ikutan kontes ajahhh, biar rame blognya…

    Like

  2. Alaikumussalam, Monggo pinarak, Terima kasih suhu Anies 😛 udah mau mapir ke blog pemula. Ya semoga ga sok sibuk lagi ya..ayo kita serbu semua kontes yg ada, xixix..Trims ya pelajaran soal nge-link, hehe

    Like

Tinggalkan jejak