Memasuki tahun ketiga SMA, pukulan berat mendera hidupku. Ayahku pamit untuk selamanya. Operasi ringan yang semestinya biasa saja ternyata mengantarkannya kepada Sang Pencipta. Kala itu, aku memang tak tahu banyak tentang apa yang ia derita. Sempat kudengar bahwa selain operasi ringan itu beliau juga menderita komplikasi penyakit akibat kebiasaannya merokok yang bisa dikategorikan cukup berat.
Apa pun penyebabnya, kepergian ayahku menyisakan kepedihan yang tiada terperi. Langit seolah runtuh menghantamku; dan bumi menelanku dalam gelap rongga misteri yang mahadalam. Hanya sunyi dan kekosongan yang kurasakan. Semua harapan pun pupus dan musnah tak bersisa selain kerlip kecil lilin doa. Jujur saja, aku dikuasai perasaan tak bahagia pada tingkat yang sangat berbahaya. Sempat terpikir untuk menggugat Tuhan atas nasib yang menderaku.
Pada saat itulah kuputuskan untuk bertanya kepada seorang guru yang kuanggap mampu menjawab kegelisahanku. Dengan nada remaja yang limbung, aku bertanya singkat kepada Bu Irma guruku, “What makes people happy?” Dan dengan panjang lebar ia menjelaskan apa yang kuinginkan. Betul-betul jawaban yang kukehendaki. Intinya, dia mengingatkan bahwa kebahagiaan seseorang bisa diraih tatkala apa yang ia butuhkan terpenuhi. Misalnya, seorang guru akan bahagia bila muridnya rajin dan pandai serta mampu meneladani sifat-sifat positif sang guru. Orang tua akan gembira jika anak-anaknya penurut dan menjadi pribadi yang membanggakan mereka. Seorang penulis akan merasa senang ketika ia mampu menghasilkan karya yang bermutu dan mampu menginspirasi banyak pembaca. Dan daftar ini bisa sangat panjang bila diteruskan.
Tapi ada satu hal lain yang masih kuat membekas dalam ingatanku: bahwa kebahagiaan paling prima justru diperoleh dari kegiatan membantu atau meringankan beban orang lain. Menolong orang lain dalam kesulitan mereka adalah sebuah kualitas yang mampu mengantarkan kita kepada perasaan bahagia yang tidak bisa diukur. Karena dia mengajar bahasa Inggris, ada satu frasa yang menancap kuat di benakku hingga kini: bahwa orang yang membantu orang lain akan merasakan sesuatu yang unik. “A unique feeling which is more than happiness,” begitu tulis guruku itu dalam sepucuk surat. Sesuatu yang entah apa namanya, tapi jauh lebih dahsyat daripada kebahagiaan. “It’s beyond happiness!”–lanjutnya. Wow, aku sungguh tersihir oleh pendapatnya itu! Kalimat-kalimat itu betul-betul merangsang syaraf otak remajaku. Aku takjub.
Maka aku pun memutuskan untuk tidak membiarkan diri dilanda kegalauan. Saat masih kelas 3 aku menerima tawaran mengajar bahasa Inggris untuk seorang anak SD. Juga menerjemahkan teks ringan dari tempat yanag sama, yakni sebuah rental komputer. Aku mulai bangkit. Aku memang menyukai bahasa Inggris dan dunia mengajar, entah karena mengasyikkan atau karena terinspirasi oleh Bu Irma. Yang jelas, dialah yang mendukungku untuk mengikuti lomba pidato bahasa Inggris di kota Malang saat sekolah tak begitu memberi dukungan. Aku susun naskahnya dan beliau membantuku merapikannya. Walaupun hanya menjadi juara favorit, aku sangat bahagia bisa tampil di Universitas Negeri Malang yang terkenal itu.
Kegembiraanku meluap-luap saat aku diterima di Universitas Diponegoro jurusan Sastra Inggris. Bu Irma tak henti memberi dukungan, baik materiil maupun moril. Saat perpisahan, aku mendapat hadiah buku grammar yang langka. Buku yang sangat berguna saat aku menempuh kuliah. Buku itu ia dapat ketika mendapat beasiswa di Australia. Saat tahun pertama dalam perkuliahan, Bu Irma memberiku kepercayaan untuk menerjemahkan skripsi seseorang. Dan tentu saja aku memperoleh imbalan yang sangat besar untuk menunjang kuliahku. Inilah yang kusebut bantuan materiil.
Menjelang kelulusan menjadi sarjana, aku sempat meragukan kemampuanku dalam bahasa Inggris. Aku mengutarakan niatku untuk mengambil kursus guna memperbaiki keterampilanku berbahasa. Namun Bu Irma justru menguatkan dan meyakinkanku bahwa sudah saatnya aku mengajar, bukan lagi belajar formal di lembaga tertentu. Maka aku pun mendaftar di salah satu lembaga kursus dan akhirnya mengajar bahasa Inggris sejak 2004 hingga 2006. Sebuah pilihan yang memberiku banyak berkah. Selain mendapat gaji sebelum lulus, kemampuanku berbahasa Inggris juga terus terasah. Terima kasih Bu, atas pertimbangan Ibu kala itu.
Tahun 2006 aku pindah ke Bogor untuk bekerja sebagai editor bahasa Inggris pada sebuah penerbit buku sekolah. Aku sangat menyukai pekerjaan ini. Namun jauh di lubuk hatiku masih tersimpan kerinduan mengajar. Sempat kudengar waktu itu bahwa Bu Irma telah berhenti mengajar di SMA dan mengajar anak-anak di rumah. Tak lama setelah itu aku dapat kabar bahwa dia diterima sebagai dosen di Universitas Islam Darul Ulum (Unisda) Lamongan. Karena semangatnya mengajar tak pernah padam, maka aku pun tergerak melakukan hal yang sama. Aku lalu mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak kampung di sekitar rumahku secara cuma-cuma–dibantu oleh istriku. Kami menggratiskan mereka belajar karena rata-rata orang tua mereka berpenghasilan pas-pasan, bahkan rendah. Ada yang bekerja sebagai pegawai pabrik, tukang ojek, dan buruh tani. Dari 30 murid hingga cuma 5 murid yang bertahan selama kurang lebih 3 tahun (2008-2011) karena aku harus pindah ke tempat lain.
Mengajar di sebuah perumahan yang menyatu dengan kampung sungguh berjuta rasanya. Mulai dari murid yang tak punya motivasi, murid yang sangat bersemangat dan pandai, hingga orang tua yang tidak mampu memotivasi anaknya. Rupa-rupa pengalaman yang kuhadapi selama kurang lebih 3 tahun mengajar di kampung itu. Karena gratis, maka orang tua tak jarang memberi hadiah kepada kami berupa hal-hal yang unik. Suatu kali ada murid yang datang membawa rengginang mentah dan jagung siap bakar. Kali lain ada yang berkunjung dengan menenteng bungkusan berisi bawang merah dan satu sisir pisang. Ada pula yang mengirimi kami makanan matang, entah itu pisang goreng, cireng atau makanan lain. Bahkan ada yang membelikanku sepotong baju.
Selama berkutat dalam dunia pendidikan, aku bisa belajar banyak tentang mengajar. Salah satunya adalah rumusan PUMP sebagai panduanku pribadi, yang merupakan singkatan dari:
PLAN & PROJECT. Aku menyusun rancangan pembelajaran. Bentuknya berupa teaching outline yang diperinci lagi ke dalam lesson plan. Walaupun bentuk riilnya tidak serapi dan sebombastis namanya, namun aku mencoba menuliskan tema dan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh murid-muridku. Dan yang lebih penting lagi adalah rencana pembelajaran–semacam RPP–yang memanduku secara teknis dan sistematis saat proses belajar-mengajar berlangsung. Dengan demikian, aku tidak akan kehabisan bahan di tengah proses mengajar. Tapi itu tentu saja tidak menjamin bahwa aku tidak akan terengah-engah dan kewalahan oleh serbuan pertanyaan atau rasa penasaran anak-anak di kelas. Dengan perencanaan (planning) yang baik, guru akan mampu memproyeksikan (projecting) seperti apakah kemampuan siswa setelah mengikuti pelajaran tertentu.
UNIFY & UNIQUE. Kondisi siswa yang beragam, baik dari latar belakang kemampuan dan psikologis, menuntutku untuk bisa sebisa mungkin menyatukan (unify) mereka dalam suasana belajar yang nyaman dan kondusif. Suasana rumah kami yang apa adanya justru membantu mereka merasa rileks dan tidak tertekan. Walaupun santai, namun kami sepakat untuk membuat aturan bahwa tidak seorang pun boleh makan atau minum selama proses belajar di kelas (ruang tamu). Dan untuk bisa mencapai tujuan penyatuan itu aku memerlukan pendekatan yang unik (unique). Aku coba menganalisis kemampuan masing-masing anak melalui tes-tes kecil atau dengan berbincang secara langsung dengan mereka saat ada jeda di luar kelas. Hal ini penting untuk menyelami pikiran dan perasaan mereka agar aku bisa menentukan pola motivasi yang tepat.
MODEL. Dalam interaksi belajar-mengajar, figur pertama yang dilihat oleh siswa adalah guru mereka. Mereka akan cenderung meniru perilaku atau attitude sang guru dalam beberapa hal–paling tidak yang mereka jumpai saat berada di kelas. Murid akan terdorong untuk berkata santun bila guru berusaha untuk menjaga ucapan di depan mereka. Murid akan termotivasi untuk gemar membaca dan menambah ilmu tatkala mereka kerap melihat sang guru rajin membaca buku atau mengakses sumber ilmu yang lain. Aku berusaha mencontohkan hal-hal semacam itu di depan mereka, baik saat berada di kelas maupun ketika mereka tengah berkunjung ke rumah di luar kelas. Dalam hal inilah aku memandang perlunya teladan (modeling) dari sang guru.
PROVIDE. Selain sebagai sumber ilmu, seorang guru adalah juga sumber inspirasi bagi siswanya. Agar siswa bisa menyerap dan tetap bersemangat terhadap apa yang ditawarkan oleh sang guru, maka mereka harus mendapat aliran manfaat dari sang guru. Guru harus bersedia menciptakan kemudahan dan menampilkan keramahan demi kelancaran pembelajaran anak didiknya. Semangat providing tentu saja bukan hanya bersifat materiil semata, melainkan juga mencakup kesudian guru untuk menyediakan dirinya untuk mendengarkan keluhan/kecemasan muridnya dan bila mungkin menawarkan solusi yang menenangkan si murid. Dalam konteks ini, guru berperan layaknya psikolog dan sekaligus orang tua bagi anak didik.
Belakangan kuketahui bahwa Bu Irma ternyata mengajar di dua universitas swasta yang berbeda. Dia juga telah merampungkan pendidikan pascasarjana di Universitas Islam Malang dalam bidang sekolah berbasis internasional. Aku sangat kagum dengan semangat belajarnya. Dan dia memang selalu mampu membangkitkan semangat anak didiknya. Ia guru/dosen yang ramah dan selalu helpful bagi murid atau mahasiswanya. Maka tak heran bila di akun Facebook-nya banyak sekali mahasiswa yang menjadi friend beliau dan sangat aktif mengomentari kegiatannya. Tak jarang pula mereka mengungkapkan kekaguman yang sama serta terinspirasi oleh sosoknya.

Status-status di akun Facebook-nya selalu mencerahkan. Terutama petikan atau kutipan mengenai dunia pengajaran. Di sela-sela padatnya jadwal mengajar, Bu Irma kini tengah menempuh S-3 dan sebentar lagi akan meraih gelar doktor dari Universitas Negeri Malang (UM) di usianya yang belum genap 40 tahun. Aku sangat merasa iri melihat kehausannya akan ilmu dan dunia pendidikan. Belum lagi keaktifannya dalam berbagai forum. Maka dengan semangat menambah ilmu, aku pun mengambil kursus bahasa Mandarin di penghujung tahun 2007. Aku sendiri masih tetap ingin melanjutkan pendidikanku dengan belajar di jenjang formal yang lebih tinggi–terlebih dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kompetensiku sebagai guru.
Sementara itu, aku tak berhenti membaca dan menambah ilmu dengan mengikuti berbagai pelatihan dan seminar, baik offline maupun online mengenai pendidikan, terutama pengajaran bahasa Inggris. Kini aku mengisi waktu dengan bekerja sebagai penerjemah (pekerjaan pertama yang dipercayakan padaku oleh Bu Irma) dan editor lepas. Adapun untuk meniru semangatnya meraih “something unique which is more than happiness“, maka aku menyisihkan waktu untuk turut serta dalam kegiatan amal salah satu lembaga anak yatim atau sekolah yang membutuhkan.



Tidak ada kalimat yang bisa mewakili kebahagiaan saat melihat orang lain (apalagi anak-anak) yang tertawa renyah dan gembira setelah menerima bantuan sekecil apa pun dari kita. Dan itu jelas kubuktikan sendiri. Pelajaran berharga itu kudapatkan dari manusia pembelajar yang selalu haus ilmu. Ya, sosok pembelajar itu adalah guruku! Ibu Irmayani yang mengajarkan aku untuk berbagi dan terus menimba ilmu. Dengan berbagi banyak hal sudah kudapat, baik berupa rezeki yang tak henti mengalir maupun kebahagiaan yang tak terlukiskan. Indonesia akan mampu berkibar dengan kehadiran guru-guru yang menginspirasi. Salah satunya adalah Bu Irma guruku yang menjadi pahlawanku.
TERIMA KASIH, IBU.
Rumusannya bagus tu,
Yang lebih diingat lagi bahwa garis yang membatasi tingkah laku siswa dengan tingkah laku guru dapat berubah-ubah karena banyak faktor.
Menurut saya prinsip dasar seorang guru semua sama ; memberi fakta, menasihati, dan memberikan informasi. Sukses ya … “A unique feeling which is more than happiness” …
LikeLike
Terima kasih, Mas Misbach. Sangat setuju bahwa pembatas antara guru dan murid tidak stagnan atau mandek. Prinsip dasar yang Mas sebutkan juga benar adanya. Dan perlu ditambah satu lagi: kepedualian dan cinta kasih. Itu menurut saya 🙂 Terima kasih atas kunjungan Anda Mas. Salam kenal 🙂
LikeLike
saya sendiri sehari2 berada di lingkungan pendidikan …
teman2 disekolah tempat saya bekerja, mereka dulu adalah guru2 saya juga …
yang saya sayangkan, masih ada beberapa yg cara mengajarnya sampai saat ini koq masih monoton …
LikeLike
Yang dibutuhkan adalah kesudian untuk tidak berhenti belajar Mas. Sebab, mengutip Rhenald Kasali, manusia yang berhenti belajar tidak akan berkembang dan mungkin bisa dikatakan ‘mati’. Otak harus bekerja dan pikiran harus dibiarkan terbuka untuk menerima dan mengadopsi hal-hal progresif yang positif. Ibarat seorang penerjun yang WAJIB membuka parasutnya agar dia selamat sampai daratan. Bila ngotot tidak mau membuka parasut (sama dengan tidak membuka pikiran), maka petakalah yang akan ia jumpai. Salam kreatif 🙂
LikeLike
thanks masbro,
salam hangat dari kota pendidikan …
sepertinya saya harus sering2 berkunjung kesini …
LikeLike
semoga sukses mas dalam lombanya dan juga dalam kehidupan nyata
sosok guru adalah sosok yang membuat kita berarti sampai saat ini, tanpa guru kita tidak akan tahu apa apa dan tidak bisa apa apa
LikeLike
Betul Mas Imam, guru sangat berjasa dalam hidup kita. Terima kasih 🙂
LikeLike
Wah ini diikutin lomba…
feelling saya bakal dapat sesuatu.
maaf agak OOT
Media Robbani Mengucapkan Selamat Tahun Baru 1434 H
semoga kebahagiaan dan keberkahan selalu bersama Ayahnya Rumi dan keluarga
LikeLike
Iya Mas, sebagai ungkapan terima kasih kepada sang guru. Amiin. Terima kasih.
Sama-sama Mas, semoga tahun baru yang kita jelasng esok membawa perubahan positif dan keberkahan untuk kita semua. salam utk Devon dan Mama/bundanya ya…:)
LikeLike
Ikut doakan untuk almarhum ayah 🙂
LikeLike
Terima kasih. 🙂
LikeLike
Speechless… it’s beyond my thought about us, about our friendship. all of us are learners!
LikeLike
Thank you for your insightful letter, mom. I am very much indebted to you. I am so delighted to know (and prove) that helping people is a real value money can’t buy. It’s totally beyond happiness. Thanks a million and keep inspiring! Good luck with your study and future career! I’ll keep learning. 🙂
LikeLike
Keren banget postnya
;engkap dan detail
Yang foto mengajar Toefl itu lho
haduh,,,saya pengin banget ikutan 🙂
LikeLike
Terima kasih atas kunjungan sahabat. Banyak kok pelatihan TOEFL di berbagai tempat. SEmoga di waktu lain bisa terpenuhi. Salam kenal 🙂
LikeLike
Salut banget sama orang-orang yang punya passion dalam mengajar, terutama bahasa Inggris. Saya sih agak gampang menyerah…. 😦
LikeLike
Masih belajar dan berusaha tidak berhenti, Kaka…:D
LikeLike
Andaikan aku punya guru sekeren itu… dan andaikan banyak pengajar seperti beliau sekolah pasti akan terasa menyenangkan ya.
Goodluck ngontesnya 🙂
LikeLike
Eh ini buat kontes tapi dah lewat lama bingits, ahaha. Cuma ada kaitan aja ama status di FB tadi 😀
LikeLike