Saat mendengar kata patriot, aku langsung teringat pada film apik yang dibintangi Mel Gibson belasan tahun silam. Namun aku tak hendak mengupas patriotisme Benjamin dalam membela dan mempertahankan tanah leluhurnya. Selain karena aku tak lagi menyimpan memori yang lengkap tentang film tersebut, patriotisme dalam film ini–sebagaimana makna dalam kamus kita–hanya mengacu pada semangat membara dalam berkorban dan mencintai tanah air. Sementara aku memiliki bahan tersendiri yang bisa aku tuturkan sebagai kisah yang patriotik.
Inilah cerita tentang seorang guru, patriotku. Sebut saja Pak Garin.
Aku mengenalnya suatu hari saat aku hendak mewakili sekolah dalam pemilihan siswa teladan tingkat kecamatan. Setiap peserta yang maju harus menampilkan keterampilan ekstra selain kemampuan dalam bidang studi. Aku memilih untuk menyajikan lukisan sederhana yang bisa aku serap dengan cepat dari beliau. Beliau sangat ramah walaupun aku tak pernah diajar dalam kelasnya. Beliau mengampu pelajaran seni, terutama seni musik. Di luar kelas, Pak Garin dipercaya memegang ekstra kurikuler teater dan sastra.
Aku kandas dalam seleksi siswa teladan. Namun hubunganku dengan beliau terjalin baik kemudian, bahkan hingga saat ini. Aku lantas bergabung dalam tim teater sekolah dan beberapa kali ikut tampil dan membawa pulang penghargaan. Sungguh senang, terutama karena aku akhirnya lebih mengenal Pak Garin dan kerap berkunjung ke rumahnya. Ketika aku menginap di rumahnya, aku membaca buku-buku sastra dan tentu saja sering bercakap mengenai dunia seni, dari musik hingga seni peran. Sejak saat itu aku keranjingan menulis puisi dan melahap buku-buku sastra. Tentu saja buku-buku yang disediakan oleh perpustakaan sekolah kami yang tidak terlalu lengkap.
Lalu ujian itu pun datang. Ayahku, yang merupakan tulang punggung keluarga satu-satunya, dipanggil oleh Allah untuk selamanya. Aku terpukul; ini tekanan yang berat, apalagi bagiku yang hampir melaju ke bangku kuliah. Bayangan untuk melanjutkan kuliah pupus sudah. Namun kuntum impian itu segar kembali ketika kudengar ucapan beliau suatu pagi.
“Jika Nanda mau, anggaplah Bapak sebagai bapak Nanda sendiri.”
Aku kontan menangis sejadi-jadinya sambil memeluk erat Pak Garin. Malam sebelumnya aku menginap di rumahnya. Pagi itu aku rencananya berpamitan setamat SMA. Aku akan bergerak ke Semarang dengan restunya. Ucapan beliau sungguh menenteramkan. Karena tidak saja bantuan moril yang beliau berikan selama kuliah, melainkan juga bantuan materiil saat aku terjepit dalam kondisi butuh ‘bantuan’. Aku bangga karena tak semua murid mendapat perlakuan semacam itu. Beliau kebetulan tidak dikaruniai keturunan hingga puluhan tahun usia pernikahannya.
Namun itu tak menghentikan langkahnya untuk menebar sifat dermawan dan pengasih kepada orang lain, terutama kepada murid-murid yang ia ajar, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Aku menjadi saksi betapa beliau berhati malaikat dengan banyak membantu seorang kakak kelas saat ia bimbang hendak memilih jurusan kuliah hingga kini ia sukses sebagai pemred di sebuah harian di Surabaya. Dan tak terhitung lagi nilai rupiah yang beliau gelontorkan untuk kami para siswa saat berlatih teater, musik, atau kegiatan lain. Selain itu, di sekolah beliau dikenal dekat dengan banyak siswa karena sifatnya yang ngemong dan hampir selalu mampu meneduhkan hati kami dengan segala nasihat yang bijaksana.
Semangatnya untuk berbagi apa saja tak mungkin kulupakan untuk diteladani. Ini pelajaran berharga yang terus hidup dalam sanubari.
Setiap kali kami menginap di rumah beliau, kami kerap mengobrolkan banyak hal. Mulai dari politik, tokoh, seni, berita dari koran, dan tentu saja seputar musik yang amat beliau kuasai. Beliau piawai memainkan beberapa alat musik, antara lain piano, gitar, angklung, ukulele, biola, recorder, seruling, dan entah apa lagi. Semuanya beliau kuasai dengan ciamik. Kagum aku pada kemampuannya–kendati tak satu pun yang menitis, ahaha. 🙂
Kita simpan materi ini untuk dibahas di kesempatan lain. Yang kukagumi adalah ketekunannya dalam melaksanakan shalat malam atau tahajud. Seingatku, setiap kali kami menginap di rumah beliau, Pak Garin tak pernah absen bertahajud. Biasanya pada pukul 3 pagi kami mendengar kecipak air di kamar mandi, lalu terdengar gerakan shalat atau irama doa di lantai 2. Beliau baru rampung pada saat azan Subuh berkumandang. Sementara kami, atau aku, tetap melanjutkan dengkuran. 😉 Atau kalaupun kami ikut, tahajud kami bisa dihitung dengan lima jari saja. Sungguh terlaluu!!
Pada saat kegiatan OSIS atau pelatihan kepemimpinan, atau pramuka, beliau kerap menjadi mentor untuk menyampaikan hal-hal penting tentang pembangunan karakter. Pukul 3 pagi beliau tetap tak absen mengerjakan shalat malam. Jam berapa pun beliau berangkat tidur, tahajud selalu on. Paling tidak itu yang bisa kami abadikan dalam memori.
Pantas saja beliau senantiasa tenang dan santai dalam menghadapi aneka persoalan hidup, baik di dalam maupun luar sekolah. Perlu kuinformasikan bahwa selain mengajar di sekolah kami, beliau sebenarnya bertugas di dinas pendidikan setempat. Jadi status beliau adalah guru tidak tetap atau GTT. Beliau begitu mencintai dunia mengajar. Dan rasanya kami belum pernah melihat Pak Garin bersedih atau bermuka masam. Tak pernah pula kami dengar atau dapati beliau kekurangan materi atau kebutuhan bendawi. Barangkali berkat konsistensinya dalam bertahajud dan semangatnya untuk berbagi dengan orang lain sehingga hidupnya damai dan terasa menyejukkan.
Pelajaran tentang tahajud ini kuakui masih berat kuikuti dan laksanakan dengan kontinu.
Otakku yang masih muda telah belajar tentang arti kesetiaan, dan cinta. Ada kisah menarik yang masih kuingat hingga kini. Kala itu aku lupa entah semester berapa aku berkunjung ke rumahnya dan mengobrol santai tentang banyak hal. Lalu beliau bercerita tentang seorang wanita. Wanita tersebut adalah seorang janda dengan beberapa anak. Anak-anaknya begitu dekat dengan beliau. Sebagaimana kusinggung di atas, Pak Garin memang belum dikaruniai keturunan, dan beliau sungguh mencintai anak-anak. Banyak sekali anak dari berbagai usia yang belajar musik maupun seni lukis di sanggarnya. Semuanya terlihat gembira dan menyayangi beliau. Pun juga sebaliknya.
Suatu ketika beliau meminta izin pada istrinya agar diperbolehkan menikahi janda tersebut lantaran anak-anak sudah begitu dekat dan bisa menerima kondisi beliau. Beliau sungguh mendambakan anak. Sang istri menolak permintaan itu. Beliau pun mundur dan tak melanjutkan niatnya untuk menyunting si janda. Bagiku ini pelajaran berharga tentang arti cinta dan kesetiaan yang hidup dalam dunia sepasang suami istri. Aku mengenal baik beliau maupun istrinya sebagai pasangan yang saling menyayangi dan sebagai pribadi yang tidak segan berbagi. Namun berbagi suami? Nanti dulu.
Suatu malam, saat kami bercakap ngalor-ngidul di depan ruang guru, sambil mendengarkan petikan gitar dan nyanyian (sumbang) teman-teman, beliau berpesan, “Berjuanglah dengan gembira. Karena kalaupun kita kalah, kita masih memiliki kegembiraan.” Kalimat pendek itu memesona pikiran mudaku. Aku mencatatnya dalam buku telepon mungil yang hingga kini masih kusimpan (kecuali sampulnya yang sudah dedel-duwel dirusak oleh Bumi :D)
Berjuang adalah kata kerja yang kita emban setiap hari. Perjuangan adalah kata benda yang tak mungkin kita lepaskan dari kehidupan kita. Untuk meraih dan mencapai apa pun, kita harus berjuang terlebih dahulu. Murid atau mahasiswa harus tekun belajar agar lulus. Karyawan harus rajin dan tulus bekerja agar tujuan perusahaan atau cita-cita pribadi tercapai. Pengusaha wajib bekerja giat dan menggagas ide kreatif agar usahanya maju dan berkembang. Bahkan blogger mesti mau bersemedi belajar dan menggali banyak hal demi menelurkan tulisan yang bermanfaat atau agar memenangkan sebuah kompetisi menulis.
Perjuangaan tersemat di dada kita semua. Maka mari berjuang dengan gembira. Gembira artinya penuh semangat tanpa takut jika kita kalah. Sebab kalah dan menang itu niscaya. Berjuang dengan gembira berarti melakukan apa saja dengan pikiran positif agar menciptakan pengaruh/dampak yang positif pula. Berjuang dengan gembira artinya bekerja menurut kemampuan kita tanpa takut dicela atau direndahkan orang lain hanya karena berbeda padahal itu benar adanya. Berjuang dengan gembira maksudnya menempuh jalur yang pantas (bukan jalur pintas) dengan hati yang kuat berpijak pada kebenaran. Berjuang dengan gembira berarti mengerjakan hal-hal sekecil apa pun dengan penuh optimisme asalkan hal itu bermanfaat.
Jika kita berjuang dengan kegembiraan, maka hanya Tuhan saja yang kita pedulikan. Sebab kegembiraan ada dalam hati kita. Orang lain hanya menebak dan bisa asal menghakimi saja.
Inilah lima pelajaran dari patriotku, seorang guru yang sederhana dan bijaksana. Nah, siapa patriot Sahabat?
Yuk tuliskan kisah tentang patriot kita dan sebarkan lewat Syukuran di Bulan Maret: Sang Patriot di Kehidupan Kami.
Luar biasa ya Pak Garin, Mas, sampe speechless aku.
LikeLike
Kalau muridnya gimana, Mak? 😉
LikeLike
gak bisa komen apa2 aku mas..gurumu hebat lah…
LikeLike
Bu Cheile juga pasti bisa menjadi seperti itu kok. Terbukti kan disayangi ma murid-murid?
LikeLike
Diberkati lah Pak Garin yg meninggalkan begitu banyak kebaikan pada Mas Rudy. Patriot dengan gayanya sendiri
LikeLike
Seoga saya bisa menirunya ya Uni 🙂
LikeLike
Duh, siapa ya patriot saya, kalau Ayah sudah pasti jadi patriot untuk anak-anaknya ya.
Semoga Pak Garin diberkati 🙂
LikeLike
Ayah tentu tak diragukan lagi sebagai patriot kita ya Mbak. Aaamiin, semoga kebaikannya mengantarnya pada keberkahan.
LikeLike
Moga anake iso niru tauladan bapake yo sam
matur nuwun sudah turut menyemarakkan Tasyakuran Sang Patriot
LikeLike
Aaamin, matur nuwun doanya Kang.
LikeLike
tahajud, duh saya masih suka bolong-bolong pak
LikeLike
Bolong-bolong masih mending Mbak, kalau saya lebih parah lagi 😀
LikeLike
Maturnuwun Mas, terima kasih telah menyemarakkan acara Syukuran di Bulan Maret. Terima kasih juga atas kisah ini 🙂
LikeLike
Sami-sami, Mas. Semoga kita semua bisa menjadi patriot dengan peran sekecil apa pun yang bisa kita berikan kepada manusia sekitar. Aaamiin 🙂
LikeLike
Berjuang dengan gembira itu terkadang tak banyak orang mampu melakukannya ya mas… juga pelajaran lainnya.. butuh jiwa patriot yang tentu sebenarnya bisa dibentuk, asal sungguh-sungguh.
Terimakasih
LikeLike
Betul sekali. Kadang kita berjuang dengan terpaksa, hehe. Salam dari Kota Hujan, Mbak. 🙂
LikeLike
Yuri GaGarin atau Garin Nugroho ya
Salam hangat dari Surabaya
LikeLike
Hehe, mirip-mirip ya Dhe. Salam dingin dari Bogor 😉
LikeLike
Aku gak bisa ngomong apa-apa soal pak garin…
luar biasa sekali. hehe
Salam Kenal Ya mas.
LikeLike
Joss banget ya beliau? Salam kenal balik 😉
LikeLike
Great article.
LikeLike
Thanks 🙂
LikeLike
luar biasa pak garin. tauladan yang baik patut di contoh.
LikeLike
Setuju, Sob.
LikeLike
Tulisan yg manis. Atau apa ya saya menyebutnya. Pokoknya menarik untuk terus menelusuri sosok pak Garin itu.
Saya agak lama berhenti di poin Tahajud… saya koq terharu membaca beliau begitu konsisten menjalankannya setiap jam 3…
Salam,
LikeLike
Salut juga saya sama beliau dan berusaha (walau sangat berat) mengikutinya soal kebiasaan jam 3 itu Kang 🙂
LikeLike