Menafsirkan Masa Lalu

Judul Buku: (Bukan) Salah Waktu
Penulis: Nastiti Denny
Penyunting: Fitria Sis Nariswari
Perancang Sampul: Citra Yoona
Penerbit: Pustaka Populer Bentang
Cetakan: Pertama, Desember 2013
Tebal Buku: viii + 248 halaman
ISBN: 978-602-7888-94-4

bsw
Berhenti dari pekerjaan mapan ternyata menjadi keputusan yang ambivalens bagi Sekar. Di satu sisi, ia menyambutnya dengan penuh semangat karena ia bakal memanjakan Prabu suaminya. Namun di sisi lain, ia justru menuju pintu masa lalu yang menguak misteri Prabu dan dirinya.

Saat ia mulai lihai memasak dan mumpuni mengatur rumah, hidupnya terusik oleh Laras, wanita yang diduga mengisi hati Prabu. Sambil menyimpan rahasia dari Prabu, muncullah Bram—lelaki yang entah membawa embun penyejuk atau obor perusak rumah tangganya. Pencarian sosok Laras hingga ke Bogor semakin meremukkan hati Sekar, apalagi ketika muncul anak bernama Wira.

Rumah tangga urban
(Bukan) Salah Waktu karya Nastiti Denny memotret masyarakat urban dengan problem khas rumah tangga modern: hubungan domestik antara istri dan suami di mana Sekar memiliki posisi penting dalam pekerjaannya sebelum akhirnya mengundurkan diri. Sekar menyadari bahwa keterlibatan sosial (dengan bekerja) memang menjanjikan peluang besar mobilitas sosial, yakni meraih status strategis, namun sebagai wanita karier, ia dituntut menyeimbangkan tugas kantor dan tanggung jawab rumah tangga tradisional.

Kesadaran itu mendorongnya untuk menyalakan suluh komunikasi yang meredup meski itu berarti mendamaikan masa lalunya yang tumbuh dalam keluarga broken home dan tabir rahasia Prabu yang menyiksa. Baik Prabu maupun Sekar berada dalam lingkaran teka-teki, melangkah ibarat pendulum misteri, tarik-ulur antara cinta dan benci, saling gelisah antara bergantung dan mandiri.

Menafsirkan masa lalu
Nastiti tidak menempatkan Sekar dan Prabu dalam dikotomi hitam-putih, benar-salah, atau tercela-terpuji. Keduanya berangkat dari masa silam yang berbeda, lalu bersatu dalam ikatan kerinduan tanpa rekayasa. Selalu ada penjelasan bagi peristiwa lampau yang menyakitkan. Mereka tidak berusaha membenarkan kesalahan, tidak pula mengabaikan kebaikan pasangan.

Sekar paham bahwa cara pandang kita terhadap masa lalulah yang menentukan kedamaian masa kini dan memproyeksikan masa depan. Seperti kalimat yang diucapkan Sekar pada hal.143:

“Sekar nggak marah sama Mama. …nggak benci Mama. Sekar hanya belum mengerti bagaimana mengatasi rasa takut yang sering datang …. Maafkan, Sekar, Ma.”

Ucapan ini sangat kuat dan menjiwai seluruh ide cerita novel. Semula Sekar memang gagap menghadapi realitas, namun ia kemudian menemukan pencerahan setelah menelisik masa lalunya. Kita bebas menafsirkan masa silam sebagai perintang atau penopang setiap langkah. Dan salah satu cara menafsirkan masa lalu adalah dengan memaafkan, yang ditegaskan penulis pada hal.244.

Rapi dan memikat
Alur maju-mundur dalam novel ini membuat kisah berjalan dinamis dan menarik. Hanya saja saya agak terganggu dengan penulisan flashback dalam huruf miring. Tulisan miring berlembar-lembar sungguh tak nyaman di mata. Syukurlah, pada hampir setiap akhir bab, penulis menyisipkan keping cerita yang membuat ingin terus membaca. Catatan kedua adalah Laras yang tak digarap dengan porsi memadai, padahal saya penasaran dengan karakternya.

Novel ini mengingatkan pada karya Nh Dini. Nastiti menuturkan kisah tokoh-tokohnya dengan narasi yang tenang, mendetail, dan kalimat yang rapi tapi tidak kehilangan tenaga. Interaksi Sekar dengan Mbok Ijah pada bab enam begitu hidup dan mengesankan. Juga percekcokan Bram dan Prabu yang seru di bab sepuluh. Sejujurnya saya belum rela mengakhiri novel ini karena masih menantikan gejolak lain dalam hidup Sekar.

Jam berwarna pink pada sampul sangat kohesif dengan cerita, namun blurb kurang evocative. Selebihnya, it’s an excellent debut!

41 Comments

    1. Blurb di cover belakang, Mbak Tanti. Menurut saya akan lebih membangkitkan emosi bila nama Sekar disebut di sana dengan secuplik fragmen yang membawa pembaca larut. IMHO loh 😉

      Like

  1. Memaafkan masa lalu itu nggak gampang (bagi saya sih). Butuh kebesaran hati menerima kenyataan bahwa itu sudah terjadi dan nggak bisa diubah meski ditangisisampai guling-guling. Tapi ya itu, butuh energi yang besar untuk bisa memafkan masa lalu..

    Like

    1. Sangat sepakat dengan pendapat Anda, Mbak. Saya pun mengalami hal yaang sama, tidak mudah menerima kenyataan masa lalu yang biasanya pahit atau menyakitkan. Mungkin dengan membaca buku ini kita dapat sedikit suntikan energi untuk memaafkan, Mbak. 😀

      Like

    1. Memang sengaja saya bikin biar penasaran, Mbak. Yuk beli dan baca bukunya Mbak. Asyik banget buat menghibur dan berdamai dengan masa lalu. Buat belajar nulis fiksi juga oke 😉

      Like

  2. Seperti biasa, keren sekali kalo ngreview nih bapaknya Bumi 😀
    Yg bikin aku gemes itu tokoh Bram, eeee siapa itu tiba2 mecungul sana mecungul sini heheeee…. Semoga Nastiti makin banyak melahirkan buku2 baru lagi ya Mas Rudi.

    Like

    1. Betul, Mbak. Bram emang rada-rada. Pake berani naksir Sekar lagi, haha. Adegan Prabu yang tempel-tempel note itu asyik banget ya. Romantis. Moga aja novel debut ini disambung karya-karya berikutnya Mbak. Penerus NH Dini nih 😉

      Like

        1. Betul, Mbak. Berbakat dia. Asal terus menulis, saya yakin bakal semakin bagus kemampuannya menggubah karya fiksi. Lah kalau mau nitip trus gimana, wong bukunya ada di sini je. salam aja Mbak semoga terus berkarya dan mewarnai dunia fiksi Indonesia….

          Like

  3. terkadang kita terjebak dalam masa lalu yang kita gali sendiri, seperti mencari tahu siapa laras..mengusik kehidupan masa kini prabu dan sekar , buku yang menarik dan review yang luarbiasa…
    keep happy blogging always…salam dari Makassar 🙂

    Like

    1. Betul banget, Mas. Masa lalu penting sesekali kita lihat sebagai bahan pembeajaran, agar langkah kita makin mantab, bukan untuk menghambat laju kemajuan kita. Ayo sikat bukunya, Mas Hari. Terima kasih atas kunjungan, anda 😉 Salam persohiblogan!

      Like

    1. Hayuk buruan, Rin. Little Stories dah bekal bagus tuh buat bikin yang lebih panjang. Pasti bisalah, kan udah terbiasa nulis fiksi. Semangat dan optimis, pasti jadi! Makasih ya ^-^

      Like

Leave a reply to belalang cerewet Cancel reply