Modal 100K, Lihat Pembuatan Kain Sutra Yuk!

Di Indonesia selembar uang Rp100.000 saya yakin masih sangat berharga. Bagi kalangan atas, selembar merah ini mungkin ibarat pecahan seribu rupiah, yang bisa dibelanjakan begitu mudah dan enteng. Namun bagi kalangan tertentu, 100k perlu dikeruk dengan upaya keras dan masih banyak gunanya. Dulu sewaktu masih aktif menulis puisi di majalah, honor tertinggi adalah Rp100.000. Itu bisa dipakai untuk membeli sepasang sepatu baru dan masih sisa pula. Sekarang 100 ribu rupanya masih begitu bernilai.

Bagi blogger, 100k bukan angka biasa. Angka 1 ditemani lima angka 0 ini masih menjadi angka yang menggiurkan, apalagi bila dikumpulkan dari aktivitas menulis review atau job menulis. Maka tak heran bila BLOG JALAN JALAN menantang para blogger untuk berwisata dengan anggaran pol 100 ribu. Gagasan ini terbilang menarik karena selain bisa menggali aneka liburan ber-budget rendah yang kreatif, kontes ini juga mendorong kita agar menghargai nilai uang berapa pun nominalnya.

Nah, demi menjawab tantangannya, saya pun mengajak keluarga ke tempat yang sudah lama kami ingin kunjungi. Jujur saja, kami belum tahu berapa biaya yang harus kami keluarkan untuk menuntaskan wisata ini. Kami sudah coba tanya Eyang Google, namun hanya sedikit sekali informasi yang tersedia mengenai wahana edukasi ini. 

17 Agustus silam kami meluncur ke TKP, namun karena tak ada bekal informasi, kami harus menelan pil kekecewaan. Pasalnya, hari Minggu ternyata tutup dan tidak melayani tamu. Menurut petugas yang berjaga, kami sebaiknya datang Senin hingga Sabtu. Pil pahit lainnya adalah tersesat hingga ke Pura Jagatkartha. Kata seorang teman, patokannya adalah pura ini. Ternyata tempatnya tidak sejauh itu. Pura ini memang sangat menawan, terletak di lereng gunung dengan nuansa yang sejuk dan asri.

Maka 17 September kemarin kami berkunjung lagi ke Rumah Sutera. Seperti nama yang disandang, ini adalah tempat pembuatan benang dan kain sutra. Kami tertarik ke sana setelah membaca gambar-gambarnya pada sebuah kalender. Atas informasi (yang tidak terlalu akurat) dari seorang teman, kami pun sukses sampai di sana walaupun sebelumnya harus tersasar.

Letaknya di Jl. Raya Ciapus No.100, Bogor. Dari arah Empang, kita lurus hingga pertigaan lalu belok kiri ke arah Ciapus. Lalu ikuti jalan hingga menemukan Jl. Raya Ciapus. Karena kami bertolak dari Cilendek, maka kami harus melewati pertigaan Gunung Batu, lalu belok kanan, lurus lalu belok kiri hingga ke Jl. Raya Ciapus. Patokannya, Rumah Sutera berada di sebelah kanan jalan, persis di seberang Bakso Mas Pri.

gerbang

Kami berangkat kira-kira pukul 9.30 pagi dan tiba di sana pukul 10.00 karena sempat terjebak macet di Jl. Raya Ciapus lantaran sedang ada pembetonan jalan sehingga jalanan harus dibuka dan ditutup bergiliran.

AREA 1: Kebun Murbei

Tiba di sana, kami disambut seorang guide, yang langsung membawa kami tur mengelilingi area seluas 4 hektar tersebut. Selain petugas ini, ada pula Bu Neneng, petugas tetap pada bagian informasi yang bisa ditanya segala hal tentang pengelolaan sutra di tempat tersebut.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah kebun murbei. Jaraknya kira-kira 300 meter dari kantor depan/galeri. Kebun seluas 2 hektar ini ditanami murbei pada kedua sisi dengan satu jalan yang membelah di tengahnya. Sisi kiri tampak habis dipanen, sementara sisi kanan akan dipanen dalam waktu dekat. Daun murbei dipetik ketika berusia 2,5 – 3 bulan untuk disantap ulat sutra. Daun yang muda bisa langsung dimakan karena menyehatkan. Saya sempat memetik sepucuk daun dan mencobanya. Rasanya tidak terlalu kuat, tidak pahit, tidak manis juga.

lahan murbei
teh

Pada kemasan teh tertulis bahwa daun murbei berkhasiat bagi kesehatan, terutama untuk mencegah stroke dan kanker, juga menghambat sirkulasi glukosa dalam darah. Pengunjung yang ingin mencicipi teh murbei tak perlu khawatir karena bisa membeli teh celup atau tubruk di galeri.

Pohon murbei bisa dimanfaatkan hingga 25 tahun; setelah itu baru dicabut untuk diganti pohon yang baru. Menurut informasi guide, pasokan daun murbei untuk ulat mereka masih belum mencukupi. Awalnya mereka terbantu karena bisa membeli dari kebun milik IPB. Namun ketika kebun IPB tidak lagi difungsikan, maka mereka menanam murbei di area seluas 1 hektar di Ciawi dan 1 hektar di Cilendek. Sayang sekali waktu kami berkunjung pohonnya tidak sedang berbuah sehingga tidak bisa mencicipi. Rasanya asam dan bisa dibikin sirop segar. Seingat saya waktu kecil pernah menyantap buahnya.

AREA 2: Sungkem pada “Si Sensitif”  

Kami lalu dibawa ke tempat inti, yakni bertemu ulat sutra. Kami beruntung karena saat itu ulat sudah berusia 12 hari. Sekadar informasi, bila ulat di bawah usia 7 hari, siapa pun tak akan boleh masuk untuk melihatnya.

Himpunan ulat yang ada dalam boks itu berjumlah 25.000 ekor. Mereka membeli bibitnya dari Perhutani seharga 100.000 satu paket. Biasanya 20% dari jumlah itu mati dan bertahan sekitar 22.000 ekor. Mula-mula benih ulat ditetaskan di ruangan gelap, lalu dipindahkan ke boks hingga siap diberi makan.

telur

Ulat penghasil kain mahal ini ternyata sensitif. Selain mudah terganggu oleh bau menyengat (misalnya pafum), mereka tak tahan pada suara bising atau cahaya yang berkilat. Saya jadi merasa bersalah gara-gara mengambil foto mereka dengan bantuan flash, apalagi waktu itu saya enggak pakai topi, xixixixi …. Bila sudah stres, mereka enggan menghasilkan kokon. Jika itu terjadi, maka individu yang stres harus segera dipisah dan dibuang sebelum memprovokasi teman-temannya untuk ikutan mogok membuat kokon. Bahaya kan?

ulat sutra

Perlu sahabat ketahui bahwa menyentuh ulat sutra tak akan membuat gatal. Justru kulit merekalah yang sensitif. Menurut petugas, sebelum berkontak dengan mereka, petugas harus mencuci tangan dengan bersih dan menjaga higienitas tubuh. Kokon siap dipanen bila mencapai usia 25-30 hari. Biasanya besarnya mencapai jari manis orang dewasa.

Sebelum pindah ke tempat pemintalan, petugas mempertunjukkan kokon yang sudah jadi dalam jalinan kawat berongga. Ulat biasanya akan menempati ruang masing-masing sampai menjadi kokon. Kokon yang robek atau rusak tidak akan bisa diolah menjadi benang. Kokon “cacat” seperti ini lalu dibikin sebagai gantungan kunci atau aksesori hiasan.

kokon siap

AREA 3: Merebus dan Memintal

Setelah kokon dipanen, tiba saatnya mereka dipintal menjadi benang. Agar kokon yang bulat lonjong itu berubah menjadi sulur-sulur panjang, mereka harus  direbus. Ketika kokon direbus, ujung benang akan muncul dengan sendirinya. Dengan direbus, kokon akan menunjukkan helai-helai putih panjang untuk mempermudah proses pemintalan.

rebus kok

Panjang benang satu kokon, bila diurai, akan mencapai 1,2 km. Satu helai benang sutra yang bagus biasanya dipilin dari 10-15 buah kokon. Menurut informasi yang saya dengar, 10 kg kokon akan menghasilkan 1 kg benang sutra. Nah, 1 kg benang itu akan disulap menjadi … 10 meter kain! Sungguh ini merupakan kemewahan berbalut ketekunan. Ada proses (sangat) panjang sebelum kain sutra menempel di badan sebagai komoditas yang bergengsi. Pantaslah bila harganya mahal.

pintal

Saat kami berkunjung, kebetulan tidak ada proses pemintalan karena kokon belum siap dipintal. Selain itu, tahap akhir yakni penenunan benang menjadi kain juga tak bisa kami saksikan lantaran penenun tengah pulang kampung. Memang saat itu tidak ada proses produksi yang berlangsung disebabkan panen kokon yang hanya bisa dilakukan dua kali sebulan.

Sekadar tips, bila Anda hendak berkunjung, sebaiknya menghubungi Rumah Sutera terlebih dahulu untuk mengetahui saat yang pas berkunjung agar bisa menyaksikan semua proses secara utuh.

AREA 4: Galeri  

Perhentian terakhir sebelum pulang adalah galeri. Galeri yang merangkap ruang informasi ini memajang aneka produk sutra. Ada jilbab siap pakai yang paling murah Rp60.000, lalu ada kain-kain sutra yang cantik paling murah Rp100.000, juga ada bros, pin, gantungan kunci, dan tentu saja teh daun murbei yang saya sebut di awal. Pengunjung wanita, terutama para ibu, sangat tidak disarankan berkunjung bersama suami karena berpotensi terjadi percekcokan, haha. Habis, kainnya meuni bagus-bagus kitu. Saya yang cowok aja suka banget lihatnya. Untunglah istri saya tidak berminat memiliki selembar kain pun setelah saya kasih tatapan nanar pengertian.

kain sutra
kerajinan sutra

Lebih Asyik Bersama Rombongan

Saya menyarankan agar pengunjung datang bersama rombongan. Mengapa? Selain lebih asyik karena banyak teman selama bertamasya, pihak pengelola juga akan menyiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik. Karena tempo hari kami datang tanpa pemberitahuan, maka acara tur pun kurang gereget walaupun tetap menarik karena ini pengalaman baru. Bukan merasa tidak dilayani dengan baik, hanya saja mereka memang lebih sigap bila menerima tamu yang sudah memesan waktu.

aula
kolam dan main
rehat

Menurut Bu Neneng, pengunjung sebaiknya melakukan pemesanan 2 minggu atau sebulan sebelum hari-H agar bisa mendapatkan acara yang efektif. Ada dua paket yang ditawarkan:

Paket Sutera Alam 1

  • Rp70.000/orang dewasa atau Rp55.000/anak-anak (maksimal SD). Harga termasuk welcome drink, snack, dan makan siang
  • Minimal 30 peserta

Paket Sutera Alam 2

  • Rp40.000/orang dewasa atau Rp30.000/anak-anak (maksimal TK). Harga termasuk welcome drink dan snack
  • Minimal 30 peserta

Bagaimana bila peserta kurang dari 30 orang? Setiap pengunjung akan dikenakan biaya @Rp25.000. Makanya disarankan untuk datang bersama rombongan karena jelas lebih asyik dan meriah. Tapi jangan berisik ya, entar ulat-ulatnya mogok bikin kokon kan susah.

Nah, untuk kasus kami kemarin, kami menghabiskan biaya-biaya sebagai berikut. Di tempat itu kami membeli 1 teh murbei celup Rp15.000, 1 pin Rumah Sutera Rp8.000, 2 gantungan kunci kokon @Rp5.000, dan tips untuk guide Rp15.000. Menjelang zuhur kami merapat ke pasar. Karena kami masih kenyang dan perut masih belum beres, kami pun memesan semangkok es kelapa muda Rp10.000 dan es campur Rp15.000, plus satu sisir pisang ambon Rp15.000. Ditambah bensin Rp10.000 total jenderal Rp98.000. Asyik kan?

Wisata 100k? Ke Rumah Sutera Alam aja!

RUMAH SUTERA ALAM

Jl. Ciapus Raya 100 Km 8 Bogor

(0251) 8388281 dengan Ibu Neneng

tag

29 Comments

  1. ealaaah seumur hidup di bogor saya baru tahu ada rumah sutera di ciapus sana mas, mumer dan wisata edukatif pula ya, tapi tempatnya pasti jauh ya kalo dari bojong? belum berani motoran ke daerah yg tinggi euy, boleh nih jadi tempat alternatif untuk jalan2 biar ga ngemol atau nyawah mulu hehe

    Like

    1. Saya juga baru tahu kok, Mbak. Dari Bojong mah sama aja kayaka saya dari Cilendek, Mbak. Ga jauh kok. Berangkatnya pagi aja. Daerahnya ga tinggi kok, belum sampai ke area gunung. Atau lebih asyik datang rame-rame aja ma rombongan. Ga capek dan lebih semangat, hehe. Nyawah mah asyik banyak manfaat, kalo ngemol mah ngabisin doku, haha 😉

      Like

      1. Engga mas, ngemolnya kan cuma nyuci mata aja hehe. Hoo deket berarti ya. Kayany klo perorangan emang kurang enak ya. Klo banyakan jd kaya study tour

        Like

  2. Udah lama pengen kesitu. Dekat dg rumah mertua. Krn dekat, jd ditunda melulu.
    Wah kalo nanti kesana, sy mau siapin jurus kedip2 biar ga dapet tatapan nanar, hehe.
    Oia biar ga kena macet krn jalan yg dicor, ada jln alternatif. Stl pancasan belok kiri, ikuti jalan sampai melewati Jungle Fest (naik terus, jng turun ke arah Jungle), dari situ belok kiri, ikuti jalan sampai ketemu terminal mini temp angkot cibeureum ngetem, belok kanan, ikuti jalan. Nanti keluar pas pertigaan kebon jati. Jalannya kecil n belok2 sih.
    Semoga sukses buat GAnya ya Mas 🙂

    Like

    1. Eh, baru sempat balas komentar tahun lalu nih, ahaha. Terima kasih atas info rute alternatifnya, Mbak. Walaupun saya agak keder juga kalau ngikutin hehe, suka nyasar sih 😉
      Ayo Mbak ajak Aa dari pesantren langsung ke sini….

      Like

Tinggalkan jejak