Rupa-rupa Pelanggan

Memiliki banyak pelanggan tentu idaman setiap penjual barang atau penyedia jasa. Apalagi bila pelanggan tersebut kemudian berkembang menjadi klien loyal dan menarik calon pelanggan lain untuk menggunakan produk atau jasa yang kita sediakan.

Saya punya cerita unik seputar pelanggan. Mungkin bukan unik, hanya memang berbeda dari pelanggan lainnya. Pelanggan ini beberapa kali menggunakan jasa cetak saya. Tidak sering, itu pun volume cetaknya tidak pernah dalam jumlah besar. Namun ada kebiasaannya yang lama-lama sedikit menjengkelkan.

Saya tidak pernah mempermasalahkan volume atau frekuensi cetakan. Setiap pelanggan tentu tak selalu punya order cetak dan tidak pula harus mencetak dalam jumlah banyak. Yang menjadi persoalan adalah pelanggan ini tak sabar betul menanti jawaban saya. Baru sekian detik melayangkan pertanyaan tentang ongkos cetak buku, BBM saya sudah diberondong dengan Ping! berkali-kali. Padahal saat itu saya pas lagi di jalan atau tengah melakukan pekerjaan lain.

Nah, begitu saya jawab, ada soal lain lain, yakni kecenderungannya untuk menawar harga setiap kali saya mengajukan angka tertentu. Tidak haram bagi calon pembeli untuk melakukan penawaran bila dirasa harga terlalu tinggi. Sah-sah saja calon pembeli menggoyang harga agar sesuai kemampuan kantong dan bisa memetik untung bila ia menjadi perantara. Namun bila harga yang saya berikan sudah cukup pantas dan lebih murah dibanding tepat lain, tak perlulah (mengotot) menawar lagi, hehe 😉

Masalahnya adalah nilai yang ia sebutkan kerap tidak masuk akal. Misalnya saat ia berniat mencetak 6 eksemplar buku. Misalkan saya mengajukan angka Rp53.000/eks dengan asumsi ongkos cetak Rp50.500, maka saya untung 2.500. Harga ini sudah paling murah dibanding tempat cetak lain. Buktinya dia tidak mau mencoba tempat lainnya dan tetap datang lagi ke saya. Lalu dia pun menawar di bawah Rp50.000. Tak mungkin bukan lantaran saya malah merugi dan tak dapat untung sama sekali?

Beberapa hari lalu saya ancam dia untuk mencari percetakan lain bila memang tak cocok dengan harga saya. Dia bergeming dan tetap mengemis untuk dibantu. Ya memang kami juga membantu proses pengiriman, dan itu gratis alias cuma-cuma. Tak ada biaya pengemasan atau biaya lain. Berkali-kali saya persilakan agar ia melakukan survei untuk membandingkan harga cetak. Namun ia tetap saja datang dan bersikeras menggunakan jasa cetak saya.

Inilah pelanggan, rupa-rupa warnanya. Hehe, Sobat ada cerita seputar konsumen atau klien?

Advertisement

17 Comments

  1. He he,,banyak cerita nya bang,,orang emang beda2,,he he ada jg yg banyak maunya, ada yg ngikut aja,,he he

    Like

  2. wah saya beberapa hari yang lalu menemui juga pelanggan yang begitu mas, kebetulan saya jualan hijab nah nawarnya tuh ampun-ampunan banget deh.. saya sabar-sabarin diri membalas sms tawar menawarnya sampai akhirnya dia bilang nggaj jadi kalau nggak boleh dengan harga yang dia minta..
    saya ya nggak papa mending batal daripada saya rugi.. hehe

    Like

  3. Saya juga pernah mengalami seperti sampeyan mas, memang repot menghadapi orang-orang seperti ini.
    Tapi kembali lagi ke diri kita sebagai penjual. Harga itu tidak ada murah atau mahal, yang ada adalah setuju atau tidak setuju membayar. Maka harga yang tertera bukan semata-mata harga melainkan ada “nilai” yang kita jual juga. Seperti pelayanan, keramahan, kecepatan, wifi gratis, kenyamanan. Secara tidak langsung bisa bilang “saya nggak jual murah lho, kalau mau cari harga murah disono tempatnya.

    Like

    1. Sepakat dengan Anda, Mas. Kita jual produk atau jasa bukan hanya menawarkan harga yang murah. Namun ada values dan nilai lain yang kita bawa. Kalau tak cocok, silakan cari yang lain. Saya pun bilang begitu, hehe….

      Like

  4. Maafkan saya, jika kemarin pas nyetak bukunya Bookaholic Fund cukup merepotkan Mas Rudi. Moga usahanya makinj lancar, ya. 🙂

    Like

  5. Jadi inget kalo nemenin ibuk di kampung, kalo ke pasar lamaaaa bgt nawarnya, selisih 500 perak aja masih ditawar hahaa… Kalo tipe pelanggan sama semua, mungkin dunia malah ga asyik ya mas hehee… Aku setuju bahwa harga yg ditawarkan itu bukan hanya “harga” barang/jasa namun ada value lainnya, misalnya tempat yg nyaman, wifi gratis, atau yg lainnya…..

    Like

    1. Kalau menawar di pasar justru wajib hukumnya bagi para ibu, Mas, hehe. Maklumlah bagi ibu 500 rupiah pun sangat berarti. Selisih itu bisa dipergunakan untuk membeli cabe atau toge segenggam. Tapi kalau cetak kan bahan produksinya memang sudah mahal (terutama kertas), jadi agak berat untuk menurunkan harga. Value memang harus diutamakan ya!

      Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s