Sempit versus Lapang

Saat kehidupan terasa sempit, segala hal begitu sulit, kita mudah tergoda untuk mengutuk nasib dan mengiri atas kenyamanan orang lain. Betapa mudah kita mengeluh dan berandai-andai tentang kehidupan yang lebih baik.

“Andaikan aku lebih kaya, lebih ganteng, cantik, lebih pintar, dan sebagainya.” “Andai saja aku lebih beruntung, bla bla bla…”

Serangkaian pengandaian itu justru memperburuk suasana jiwa dan membutakan hati dari banyak rahmat dan kenikmatan yang sudah kita dapatkan. Walhasil, jangankan untuk berbagi, sekadar bergembira atas kondisi diri pun berat.

Namun ketika hidup terasa mudah, segalanya berjalan lancar dan sesuai harapan, kita lupa. Lupa siapa yang memberi kemudahan, terlena oleh silau kemudahan dan limpahan pemberian-Nya. Alih-alih berbagi dan bersyukur, kita malah sibuk dan lalai mengagumi keberhasilan pribadi tanpa menyadari siapa saja yang telah membantu kesuksesan kita, terlebih lagi oleh Dzat Yang Maha Kuasa.

Bagi orang serakah, alam semesta dalam genggamannya pun akan terus dipandang bagai setitik biji sawi. Masih kurang, ingin tambah, lagi, dan lagi. Berbeda bagi orang yang pandai bersyukur, apa saja yang ia peroleh selalu membuncahkan senyuman di bibirnya. Hatinya bertasbih dan memuji Tuhan atas berkah dan anugerah sekecil apa pun. Ia tak enggan mengulurkan tangan walau ia sendiri dalam kesempitan.

Bagi kelompok kedua, kurang atau lebih adalah manusiawi, dua-duanya ujian dari Tuhan. Kaya dan miskin, sempit dan lapang kadang lebih banyak dirumuskan oleh perspektif dan persepsi individu ketimbang kondisi sebenarnya.

7 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s