Beberapa hari lalu ada kejadian yang mengesankan saat istri berbelanja di warung langganan kami. Dia melihat seorang ibu paruh baya tengah bingung memilih barang yang akan dibeli. Terakhir ia tampak menenteng sebungkus tahu kuning, masih dengan tatapan gamang.
“Bang, tahu ini berapa harganya? Boleh enggak beli separuh aja?” tanya ibu tersebut akhirnya.
“Sebungkus 8 ribu. Tapi maaf, Bu. Tahu itu enggak bisa diparuh.” Pemilik menjawab singkat.
Tinggal seribu rupiah
Si ibu lantas meletakkan kembali tahu yang diincarnya. Kali ini ia melihat selembar uang yang digenggamnya: 5.000 rupiah. Dia tidak membawa dompet seperti ibu-ibu lainnya. Sebelum mengincar tahu kuning, masih menurut penuturan istri saya, si ibu sebenarnya sudah menimang-nimang tempe berbungkus daun pisang seharga 3.000 rupiah.
Si ibu rupanya sedang beruntung. Ada ibu lain yang berminat membeli tahu kuning separuh saja. Itu artinya, si ibu paruh baya akan bisa nembawa pulang tahu incarannya hanya dengan membayar 4.000 rupiah. Setelah tahu dibagi dua, si ibu kemudian mengangsurkan uang 5.000 kepada penjual.
Sambil menanti kembalian 1.000 rupiah, si ibu terpaksa meletakkan kembali tempe incarannya sebelumnya. Untuk bisa membawa dua barang tersebut, si ibu harus membayar 8.000 rupiah sementara uangnya hanya tersisa 1.000 rupiah.
Istri saya tercekat memandang si ibu itu hingga ia hilang di ujung gang. Hatinya perih, matanya mendadak panas.
Roti dan jubah
“Mengapa Bunda tak bayarin aja tempe yang ibu pengin itu? Kayaknya ibu itu cuma punya duit 5 ribu. Boleh jadi itu jatah beli lauk untuk sehari karena anak-anaknya sedang menantinya di rumah sambil mengepung nasi yang baru saja matang.”
“Aku pikir juga gitu, Yah. Pengin tadi kubayarin aja, tapi entahlah. Takut dia tersinggung atau malah dinilai sok oleh para pembeli lain. Aku jelas larut dalam pemandangan tadi itu.”
“Nanti kalau pas belanja di situ dan ketemu ibu itu lagi, coba amati. Kalau dia belanja dengan uang 5 ribu lagi, patut diduga jatah belanja lauk memang segitu aja untuk sehari. Rasanya enggak salah kalau kita membantunya. Tambahin apa gitu…” ujar saya sok bijak.
Istri saya mengangguk mantap. Kami berpandangan seolah saling memahami bahwa kadang kami mengeluh padahal uang belanja harian berkali-kali lipat jatah belanja ibu tersebut. Kami tak jarang mengomentari kerasnya hidup padahal kami jelas jauh lebih nyaman dibanding orang lain yang tak kami ketahui di luar sana.
Seketika saya teringat pada larik-larik sajak karya pujangga Kahlil Gibran yang kesohor itu.
Tidak semua orang miskin tercela
Kekayaan dunia ini berada di dalam selembar roti dan jubah.
Penggalan puisi di atas menegaskan bahwa hidup sudah layak kita syukuri bila kita memiliki dua hal: roti dan jubah. Roti adalah idiom yang mewakili makanan (kebutuhan pangan), sedangkan jubah menyiratkan makna kenyamanan fisik atau kebutuhan papan alias tempat tinggal. Bila kita masih bisa makan setiap hari, dan bisa tidur dengan nyenyak dalam kehangatan, maka kita harus malu bila hidup masih dipenuhi keluhan. Begitu yang saya tangkap dalam potongan sajak Kahlil Gibran.
Perlunya perbandingan
Melihat kisah si ibu yang hanya mampu membeli separuh tahu, kami rasanya ditampar sekencang-kencangnya. Inilah hidup. Kadang untuk bisa menjalani hidup dengan penuh ketenangan dan rasa syukur, kita harus terlebih dahulu dihadapkan pada perbandingan. Sering kali kegembiraan baru lahir saat mengamati kondisi orang lain yang jauh lebih memprihatinkan.
Bahkan ada manusia modern yang jauh lebih beruntung (atau ekstrem?). Persediaan uang mereka bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan selama satu tahun, satu dekade, atau bahkan hingga tujuh turunan. Ada artis yang menyisihkan uang sebesar 2 juta rupiah hanya untuk makanan anjingnya. Ada orang yang sekali makan besarnya sama atau bahkan lebih besar daripada penghasilan orang lain selama sebulan. Belum lagi perawatan ini, itu, serta pengeluaran lain-lain yang jumlahnya berkali-kali lipat kebutuhan total keluarga lain.
Entahlah ini paradoks atau ironi. Ini bukan soal benar atau salah. Saya memang tengah membandingkan kondisi dengan si ibu yang saya ceritakan di awal. Perbandingan seperti ini ternyata sangat perlu. Semoga ibu itu muncul lagi di warung yang sama.
miris juga yah bang, kalo dibanding bandingkan memang kehidupan harus wajib diyukurin..
LikeLike
Benar sekali, Mas. Harus pandai mengambil pelajaran agar kita rajin bersyukur 😀 Terima kasih.
LikeLike
Aah…tiba2 merasa maluuu…
Terima kasih sdh diingatkan melalui tulisan ini, Mas …
LikeLike
Terutama mengingatkan diri sendiri, Mbak Mechta 😉
LikeLike
kadang tidak boleh membanding2kan saja ya
LikeLike
Jangan cuma membandingkan Mbak, namun perbandingannya haarus mengarah pada rasa syukur dan pembenahan diri 😀
LikeLike
yup pastinya
LikeLiked by 1 person