Proklanasi, Cara Kami Mengenang Proklamasi

IMG_20160817_074329_HDR-01.jpeg

Rabu, 17 Agustus 2016, menjadi momen istimewa bagi siapa pun yang mengaku cinta Indonesia. Tidak terkecuali kami, keluarga besar Bernas Bogor yang pagi itu akan ngider berbagi nasi di titik-titik yang sudah kami sepakati. Kami memang tidak ikut upcara bendera, tapi itu tentu tidak lantas mengurangi kecintaan pada tanah air. Pada kadar tertentu, kami justru tengah berusaha membumikan nilai kemerdekaan yang tertuang dalam naskah Proklamasi.

Mengenang Proklamasi

Ya, inilah cara kami mengenang Proklamasi. Kami tidak merayakan, tetapi mengenangnya. Setiap kata dan kalimat dalam naskah penting itu kami renungkan dalam-dalam dan berusaha menerjemahkannya menjadi kenyataan. Tentu saja sesuai kemampuan kami yang terbatas. Mari simak bunyi naskah Proklamasi berikut ini.

P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.

Pagi itu kami berusaha mengejawantahkan makna kemerdekaan untuk warga sekitar sebagai sesama bangsa Indonesia. Yaitu kemerdekaan dari rasa lapar atau mengganjal perut mereka untuk sementara waktu. Pernyataan ini mungkin terdengar kelewat bombastis mengingat kami hanya mengangkut 130 amunisi (nasi bungkus) dengan lauk seadanya dan cukup untuk memenuhi kebutuhan sarapan saja. Namun seperti yang pernah saya tulis di sini dan di sini, sebungkus nasi ternyata sangat penting bagi kehidupan seseorang bahkan dalam menjaga stabilitas sosial.

Jadiuntuk mewujudkan kemerdekaan dari rasa lapar itu, kami pun memindahkan seratus sekian amunisi yang ada dalam kekuasaan kami. Nasi bungkus itu memang bukan berasal dari satu orang saja, melainkan hasil kolaborasi banyak orang, baik para pejuang nasi sendiri maupun para donatur yang baik hati. Begitu dana terkumpul, kami pun segera mengeksekusi dengan waktu yang sesingkat-singkatnya untuk bisa dibagi kepada mereka yang kami anggap layak menerima.

Cara Sederhana di Puluhan Kota

IMG-20160815-WA0004

Dari Kota Hujan inilah kami ikut menyemarakkan ulang tahun Indonesia dengan cara yang sederhana. Acara ini dihelat serentak di berbagai kota seperti terlihat dalam gambar di atas. Ada kota yang menggelar Bernas di malam hari tanggal 16 atau tanggal 17 pagi. Nah, ini kali pertama saya bergabung dengan Bernas Bogor di waktu pagi. Biasanya kami ngider setiap Jumat malam dua kali dalam sebulan.

Kesempatan ini juga menjadi semacam reuni setelah saya beberapa kali absen karena kesibukan dan gangguan kesehatan–terlebih bagi Bumi yang baru saja pulih dari sakit yang lumayan. Baik Rumi maupun Bumi sangat girang bergabung dalam Bernas untuk kali kedua meskipun mereka akhirnya tertahan di depan Mesjid Raya (Mesra) lantaran belum sarapan pagi sehingga tak bisa ikut berkeliling.

Saat tiba di depan Mesra, saya cukup risau lantaran tak melihat seorang pun sobat muda pejuang nasi. Pagi itu Mesra memang dipenuhi jemaah calon haji beserta rombongan pengantar. Jalanan sesak oleh bus dan mobil pribadi. Saya khawatir teman-teman Bernas telah bergerak membagikan nasi sementara saya membawa cukup banyak amunisi (kebanyakan dari titipan donasi) yang tak mungkin saya bagikan sendiri.

Rupanya mereka beringsut ke samping Halte Bus TransPakuan yang berada tepat di depan Hotel Amaris. Komposisi sudah lengkap sesuai daftar hadir di grup WA. Sudah ada Kak Yuni, Jeni, Sandi, Intan, Ken, Rania, Ichwan. Tingggal Indah yang masih berburu amunisi. Tak berapa lama, Indah pun muncul bersama tamu istimewa. Luar biasa, Bernas pagi itu turut dihadiri mamah Indah yang membuat saya jadi lebih muda, haha. Oh ya, satu lagi, Ican, jadilah 10 orang sehingga total 11 personel termasuk saya.

Menyisir Surken dan Merdeka

IMG-20160817-WA0026.jpg
Srikandi Bernas Bogor

Kami segera berbagi amunisi dan membagi kelompok yang akan menyisir dua wilayah berbeda. Sebagian meluncur ke Suryakencana (Surken) sedangkan sisanya menyusuri Jembatan Merah hingga Jl. Merdeka, tak jauh dari Stasiun Bogor. Sempat ada miskomunikasi di mana amunisi terbawa cukup banyak di mobil yang harusnya berputar ke Surken. Akhirnya jalanan Surken tidak tuntas kami jelajahi. Walhasil, seluruh tim bergerak ke lokasi kedua dengan melewati Paledang.

Cukup banyak penerima nasi di jalanan ini. Tukang becak dan pemulung mendominasi. Satu per satu nasi bungkus berpindah tangan kepada mereka. Tangan-tangan renta menerimanya dengan senyum apa adanya. Sebagian langsung disantap, ada pula yang disimpan untuk makan siang. Bagi pemulung yang punya keluarga, kami lebihkan sesuai jumlah anggotanya.

IMG-20160817-WA0028
Kak Yuni lagi jualan, eh, mengangsurkan nasi kepada seorang pengayuh becak di Paledang

Merdeka dari Rasa Lapar

Saya dan Sandi memacu kendaraan hingga sampai di pertigaan Rutan Paledang. Di bawah jembatan penyeberangan, tepatnya di emperan pos jaga polisi, terlihat seorang anak tertidur pulas. Bahkan saat Sandi membangunkan dia, tak tampak dia terganggu oleh kehadiran kami. Setelah membuka mata dan menerima nasi, anak ini segera memejamkan mata kembali. Mungkin semalam begadang. Atau seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, dia memang sudah terbiasa tidur untuk melupakan rasa lapar yang mendera.

Saya abadikan foto anak ini bersama Sandi dan saya pasang sebagai pembuka tulisan ini. Betapa miris, anak sekecil itu harus bergelut dalam kerasnya hidup di jalan. Tidak menentu dan penuh perjuangan. Andaikan dia terjaga, saya hendak mengobrol tentang siapa dia dan kenapa bisa tertidur pulas di situ tanpa perbekalan apa pun. Merah putih harus terus berkibar dengan catatan semua orang Indonesia, terutama anak-anak, harus terbebas dari rasa lapar. Bukankah ironis bila di mana-mana ada pesta dan perayaan enuh makanan sementara di sudut-sudut kota lain ada orang yang menggelepar karena lapar?

Pilihan kami untuk bersatu di Jembatan Merah – Merdeka rupanya sangat produktif. Terbukti 130 bungkus amunisi ludes di area ini. Hingga area PGB (Pusat Grosir Bogor) masih kami temui tukang becak dan pemulung. Karena kapasitasnya yang lapang, mobil yang dikendarai Ken bersama Intan membawa sisa amunisi untuk dibagikan di Jl. Merdeka. Mobil diparkir di depan Toko Buku 88 lalu mereka berjalan kaki menyambangi orang-orang di emperan toko pagi itu.

Habis Ngider, Terbitlah Laper 

IMG-20160817-WA0010
Sarapan akhirnya datang.

Sesekali kami yang menunggu di atas motor turut memindahkan amunisi kepada pemulung yang lewat atau tukang becak yang meluncur ke arah stasiun. Amunisi di motor semakin menipis, hanya satu-dua yang tersisa. Hingga semua amunisi tuntas, maka kami bergabung lagi di depan Toko 88 (jadi iklan nih, haha…). Tim sepakat untuk sarapan bersama di Gang Selot yang terkenal dengan aneka jajanan enak itu. Lokasinya tak jauh dari SMP 1 Bogor.

Karena saya harus menjemput anak-anak yang sedang makan di depan Mesra, saya pamit untuk absen. Sesampai di Mesra, ternyata istri belum makan. Jadilah kami meluncur ke lokasi kuliner tadi untuk bergabung dengan para pejuang yang sudah standby di sana. Baru kali pertama menyambangi daerah Selot dan memang sangat ramai oleh anak-anak sekolah. Kedai makanan berderet di sepanjang gang itu, menawarkan aneka makanan maupun camilan. Karena sedang puasa, saya cuma bisa membayangkan kelezatan mi hijau yang pagi itu disantap Rumi. Hiks 😦

IMG-20160817-WA0032
Murah tapi sehat, bikin ngiler ga?

Setelah tandas, satu per satu mohon diri. Kami sekeluarga pulang belakangan karena datangnya telat. Anak-anak begitu gembira menikmati pengalaman hari itu meskipun tak ikut ngider seperti Bernas malam-malam yang pernah mereka ikuti. Matahari semakin tinggi dan kami segera beranjak pulang. Hari itu sangat memuaskan, so fulfilling, so full of meaning. Begitu menggembirakan.

Tamparan Bagi Kami Berdua    

Namun esok paginya, saat Kanop mengirim kabar duka berikut ini, saya dan istri tak sanggup menahan air mata. Para pejuang nasi Kudus mendapati seorang kakek tua yang sakit dan tergolek tak berdaya di emperan sebuah pertokoan. Tak punya rumah. Tidur di atas ubin dengan alas sederhana, mungkin merana. Rekan Bernas Kudus langsung mengontak SR atau Sedekah Rombongan yang kemudian mengangkut si kakek ke rumah sakit terdekat.

IMG-20160818-WA0000.jpg

Kejadian itu berlangsung tanggal 16 Agustus malam. Esok harinya, si kakek dikabarkan telah meninggal dunia. Innalillaahi wainna ilai raajiuun. Saya sangat memuji tindakan rekan bernas terutama tim SR yang begitu sigap membantu walaupun Allah menakdirkan hal lain. Semoga orang-orang baik seperti mereka diperbanyak jumlahnya di negeri ini dan dimudahkan hidupnya oleh Tuhan.

IMG-20160818-WA0001.jpg

Pecahlah tangis kami saat mendengar kejadian ini. Betapa kami kerap mengeluh karena belum berhasil mencapai hal ini dan itu. Belum punya barang ini dan itu. Padahal setiap hujan tak pernah kehujanan, pun tak pernah kepanasan. Bisa makan setiap hari, mandi dengan air bersih, punya akses pada fasilitas kesehatan dan pendidikan, banyak teman, dan berbagai nikmat lain yang kami lupakan. Betapa kerdilnya hati kami yang terus dan terus menginginkan kenikmatan padahal ada yang jauh lebih menderita dan butuh uluran tangan?

Tapi ya begitulah. Penyesalan hanya datang saat ada kejadian. Nanti bila tiada lagi pemandangan seperti ini, akan kembalilah kami kepada ego dan semangat impulsif untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri–sebanyak-banyaknya. Semoga tidak, semoga tidak.

Dari Kota-kota untuk Nusantara

Selain apresiasi tinggi kepada SR, penghargaan juga layak kami sampaikan kepada rekan-rekan Bernas kota lain yang bergerak membagikan nasi tanggal 17 Agustus kemarin. Pagi atau malam, semangatnya tak pernah padam. Berdasarkan data yang masuk, berikut adalah jumlah amunisi yang telah dibagikan di seluruh Nusantara.

  1. Magelang 193
  2. Surabaya 171
  3. Kudus 160
  4. Bengkulu 56
  5. Makassar 150
  6. Batam 50
  7. Lampung dan Pringsewu 171
  8. Singkawang 17
  9. Jakarta 160
  10. Bekasi 139
  11. Pontianak 119
  12. Semarang 95
  13. Solo 56
  14. Salatiga 100
  15. Mojokerto 71
  16. Jombang 60
  17. Cikarang 205
  18. Bandung 180
  19. Jogja 106
  20. Tulungagung 168
  21. Tasikmalaya 25
  22. Depok 50
  23. Bogor 130

Total 2.632 bungkus telah didistribusikan di kota-kota yang berpartisipasi. Terima kasih kepada para pejuang nasi wabilkhusus kepada para donatur yang bersedia menitipkan dana kepada kami. Himpunan foto berikut akan memperjelas aktivitas Agustusan beberapa hari lalu. Inilah Proklanasi, cara kami mengingat kembali apa yang ditegaskan dalam naskah Proklamasi. Dirgahayu RI ke-71!

21 Comments

  1. Mas Rudi aktif di Bernas rupanya ya? Aih, jadi malu saya. Dulu pernah aktif di SR tapi malah cabut. Sama Mas Roby koordinator Semarang itu cuma kontak-kontakan lewat instan message tanya kemungkinan bawa pasien ke RS di Semarang, belum pernah ketemu langsung.

    Satu hal yang tidak tertandingi dari aktif di kegiatan-kegiatan sosial seperti itu adalah kebahagiaan tiada tara melihat senyum orang-orang yang kita bantu.Salah seorang pasien yang pernah saya urus sampe sekarang ngaku sedulur, padahal saya sudah gak aktif di SR lagi.

    Duh, jadi pengen aktif lagi nih 😀

    Liked by 1 person

    1. Iya, Mas. Sejauh ini Bernas menjadi wadah yang bisa saya ikuti sesuai irama kerja dan kondisi saya. Saya paling tua, haha. Tapi salut sama semangat anak-anak muda ini. Mereka berani berbuat yang antimainstream. Masa depan Indonesia ada di tangan mereka, jadi saya ingin turut menjadi bagian. Walaupun perannya kecil tapi diusahakan kontinu.

      SR memang dahsyat. Gerakan berbasis kerelaan dan dorongan untuk meringankan beban orang lain. Saya sempat mengikuti bagaimana Mas Saptuari membebaskan para pedagang dari jeratan riba rentenir di pasar tradisional. Sungguh senang saat tahu Bernas bisa bersinergi dengan komunitas lain seperti SR. Kalau saling mengisi dan menolong gini kan kekuatan jadi solid dan dampaknya lebih powerful.

      Like

Tinggalkan jejak