Dua hari lalu Facebook mengingatkan saya tentang memori dua tahun silam. Siang itu istri menunjukkan kepadaku sebuah video dramatis tentang sejumlah anak di Afrika yang tengah berebut makanan. Aku tak ingat betul video mana yang kusaksikan kala itu.
Yang jelas, saat dilanda kelaparan, jangan bilang soal ketertiban, apalagi bila rasa lapar sudah cukup lama mendera. Teringat pada kisah Cak Nun yang diserbu anak-anak jalanan yang lapar sesaat dia tengah membagikan honor baca puisi di TIM kalau tak salah. Mereka tak lagi sabar, bahkan pada kadar tertentu ‘tak percaya’ pada sekeliling akibat janji keadaan.
Sulit dipercaya bahwa di zaman modern yang berlimpah makanan berkat kecanggihan teknologi dan rekayasa genetika, ternyata di belahan dunia lain kelaparan masih menyerang sejadi-jadinya. Masih sangat sering saya lihat video atau foto busung lapar di sejumlah negara korban konflik berkepanjangan. Sayangnya saya cukup menikmati tayangan itu sebagai tontonan belaka dan pura-pura terharu.
Merdekakah kita?
Memori pun tersentak sejenak pada bencana kelaparan di Ethiopia pada tahun 80-an. Kala itu digambarkan betapa orang harus berebut makanan bersama lalat-lalat sementara pada saat yang sama burung nazar sedang menanti bangkai mereka untuk disantap. Semacam tak jelas siapa predator dan siapa mangsa dalam rantai makanan yang alami.
Justru karena keberlimpahan makanan
Dalam sebuah buku yang belum lama saya baca, waktu itu, disebutkan sindiran mengenai bencana atau wabah bagi manusia. Jika dahulu penyakit/kematian menyerang manusia karena kekurangan pangan, maka pada abad modern kini penyakit dan wabah datang lantaran manusia terlalu banyak makan. Lihatlah betapa banyak gejala medis yang diakibatkan overdosis makanan tertentu.
Bahkan bila dikaitkan dengan abad digital, barangkali tubuh kita semakin ringkih akibat berlimpahnya sampah dari jagad maya. Setiap hari serangan hoaks merajalela. Setiap jam ratusan kabar palsu dan caci maki menyerbu. Setiap saat kita seolah tak bisa terbebas dari kepungan prasangka dan egoisme. Kita makin kewalahan didera ambiguitas antara personalitas dan individualitas.
Entahlah apakah ada relevansi antara kelaparan sebagai narasi besar kemanusiaan dengan kemerdekaan yang bulan ini kita rayakan. Ada yang bergerak lewat BERBAGINASI sebuah organisasi tanpa bentuk yang terus berdetak dengan atau tanpa publikasi. Selain itu, masih banyak gerakan sporadis yang sifatnya ad hoc atau yang kontinu dan menyasar diringankannya beban manusia seputar urusan perut.
Yang tak kalah penting, video kelaparan harusnya mengajarkan kita soal rasa syukur, tentang kesanggupan untuk memaknai kemerdekaan sebagai kesudian membantu sesama dan menahan diri dari pemborosan serta ketamakan. Pelajaran penting untuk menerima dan berbahagia dengan apa yang kita punya.
Dirgahayu Republik Indonesia!