Semakin bertambah usia, Rumi semakin kerap mengajukan pertanyaan. Mulai dari pertanyaan mudah seputar kehidupan sehari-hari hingga soal-soal sains berdasarkan buku yang ia baca. Untuk yang kedua, yang sering justru saya merasa seperti dites ketimbang dimintai jawaban serius.
Kita sebut saja ada anak yang bertanya pada bapaknya. Si anak bernama Rumi, bapaknya bernama Rudi. Pertanyaan pertama meluncur selepas kami berenang bersama di kolam dekat rumah. Saat makan siang ia meminta sop ayam kesukaannya sebagai menu. Setelah menyantap hidangan, Rumi berujar, “Ayah, apa orang yang merokok bakal masuk neraka ya?”
Masuk neraka?
Pertanyaan itu kira-kira dipicu oleh pemandangan aneh di kedai tersebut di mana terdapat dua wanita berjilbab tengah merokok, satu elektrik satu konvensional. Ini pertanyaan keseharian, tidak muluk-muluk namun butuh kehati-hatian menjawab terutama bagi pikirannya yang masih cenderung hitam-putih. Dikotomi nilai, baik-buruk. Surga-neraka.
“Ya belum tentu.” Jawab saya akhirnya. “Baik yang merokok ataupun tidak merokok bisa masuk neraka kalau perbuatannya merugikan orang lain dan Allah ga ridha sama orang itu.” Saya mengaitkan dengan Bunda yang alergi asap yang segera sesak napas saat berada di dekat orang merokok. Dalam kasus demikian, bila orang sekitar terganggu dan tidak rela, boleh jadi kelak itu jadi penyebab ia masuk neraka. Pun bagi orang yang tak merokok, kalau dia konsisten berbuat hal yang menzalimi orang lain, boleh jadi itu akan menyeretnya ke neraka.
“Intinya–kita harus jaga diri untuk enggak menyakiti atau merugikan orang lain, Mas.” Jawab saya mengakhiri percakapan karena hari mendung akan segera turun hujan. Bergegas pulang agar bisa merebahkan badan selepas capek berenang.
Orang kaya
“Ayah, orang kaya itu apa sih?” tanya Rumi suatu malam di hari yang lain. Konon, jawaban yang kali pertama didengar anak atas pertanyaan yang dia ajukan sendiri secara impulsif akan terekam kuat dalam memorinya.
Maka menjawab pertanyaan sesingkat itu harusnya tidak perlu membuat saya berkerut kepala. Ingin menjawab dengan penuh gaya, “Nak, a rich person is not the one who has the most but who needs the least.” Begitu bunyi kalimat bijak di layar monitor presentasi beberapa tahun silam.
Tapi jawaban semacam itu terlalu rumit, apalagi disampaikan dalam bahasa asing. “Orang kaya itu orang yang suka berbagi, entah punya sedikit atau banyak. Orang yang pelit atau enggan berbagi berarti dia orang miskin.” Dengan kata lain, orang kaya adalah mereka yang masih mau berbagi saat dirinya sendiri masih butuh atau kesulitan–sesederhana apa pun bentuk pilihannya berbuat.
Rumi mengangguk sambil tersenyum. “O, gitu. Berarti Rumi orang kaya dong!” Saya tersenyum balik. Kata-katanya itu menjadi sinyal positif karena selama ini ia rajin berbagi–bahkan dua kali ikut Berbagi Nasi Bogor. Malam merambat saat suara Bumi lamat-lamat terdengar minta wingko….
First like 4 u , bagus artikelnya mas👍
LikeLike
Terima Mr. Dhe.
LikeLike
ini harus jadi prinsip ya “a rich person is not the one who has the most but who needs the least.”
LikeLike
Yang bisa mengendalikan keinginannya, tidak diperbudak oleh nafsu menguasai, yes!
LikeLike
Jawaban yg mantap 🙂
Pertanyaan anak2 memang seperti menguji kita ya…. kalau salah jawab, itu yg akan terekam anak.
LikeLike
Begitulah, Mbak. Kadang anak belajar lebih banyak daripada yang kita duga. Kudu waspada.
LikeLike
Anak kecil belajar pakai otak kanan. Gak pake hitung-hitungan otak kiri seperti orang dewasa.
Semoga Rumi mencerahkan seperti Jalaludin Rumi.
LikeLike
Benar, Mas. Perlu banyak digembleng. Semoga kami bisa mengarahkan. Terima kasih.
LikeLike
Menginspirasi sekali untuk menyiapkan jawaban yg bijak untuk anak kelak 😄
LikeLike
Terima kasih sudah menyempatkan menulis komentar, Mbak Mita. Salam kenal 🙂
LikeLike