Petrichor di Kotaku

MINGGU MALAM KAMI duduk manis di depan sebuah ruko. Ruko ini entah kenapa tak pernah buka, jelas bukan urusan kami. Yang penting bagi kami adalah sekian tusuk sate, yang dikipas secara manual hingga matang sempurna. Anak-anak paling suka, kalau saya menanti sambal kacang saja.

Gelap oh begitu gelap, seperti selimut raksasa yang melingkupi kota. Lampu-lampu kendaraan, kerlap-kerlip membelah jalanan, tak bisa mengungguli kegelapan. Tiba-tiba air tumpah perlahan dari langit. Aspal jadi basah, debu trotoar menguap karena hentakan seketika.

“Petrichor!” seru wanita di sana begitu bau tanah meruap, bikin gembira. Aku mengangguk, bukan pada tukang sate, tapi pada wanita yang kucintai. Anak-anak sibuk bercerita. Kami baru saja berkunjung ke rumah guru si sulung dan pulang betapa beruntung.

Tiga buah nanas khas Blitar diserahkan kepada kami untuk dinikmati di rumah. Terserah mau ajak tukang sate atau tetangga. Ibu guru itu baru saja rehat dari Gunung Kelud biar hati tidak dirundung kemelut. Suaminya kukenal karena ia guruku menulis puisi. Dulu aku belajar berpuisi darinya, kini anakku jadi murid istrinya. Oh sedap sate menembus hidung yang lapar!

Biarlah tukang sate salah menanggapi pesananku, asal yang dipanggang tetaplah daging ayam yang sudah matang. Hanya separuh yang dipanggang, aku tak marah sebab itu kurang kerjaan. Maksud hati bisa berhemat, ternyata mataku dan mata istriku menatap spanduk Mi Aceh.

Aku bukan cenayang tapi aku tahu apa yang kami bayangkan. Aku menyeberang jalan, tapi hujan tipis masih menyerang. Kedai sepi, hanya pasutri dan anaknya, tak ada pelanggan. Di kedai itu mereka tersenyum dan saling bercakap dalam bahasa nenek moyang. Tak perlu kuceritakan kedai jus buah di sebelahnya karena harum seafood lantas menyergap otot-otot rasa.

Uang kuberikan, mi Aceh kebawa pulang. Anak-anak melonjak, sate salah hitung siap dicanjak. Buah nanas bergoyang-goyang, putik hijaunya harum semerbak. Petrichor akhirnya tiba di kotaku, tak pernah terduga. Air yang kusebut hujan berlanjut hingga tengah malam setelah sempat terhenti walau sejenak.

*canjak (Jawa): makan bersama

8 Comments

  1. minggu malam lalu, aku dibonceng motor olehnya. santai saja tanpa tergesa. bahkan kami berharap agar jarak antara jetayu dan stasiun diperlama

    Like

    1. Iya, baru buka kayaknya. Cuma ya kalau dari segi rasa masih kalah dibanding yang pernah kami santap di Bogor. Tapi entahlah gimana aslinya mi Aceh di tempat aslinya ya.

      Like

Tinggalkan jejak