Ketika Jawaban Anak Disalahkan; Sekilas tentang Organic Teaching

organic

Setiap kali diminta menandatangani kertas ujian si sulung, saya selalu tergoda untuk menyelisik jawaban yang ia berikan. Tak terkecuali hasil ujian semesternya beberapa waktu lalu. Pada salah satu soal tematik, saya sempat mengernyitkan dahi lantaran sang guru mencoret jawabannya yang menurut saya masih bisa diperdebatkan.

Terhadap pertanyaan tentang bagaimana sikapnya seandainya dia kalah dalam sebuah permainan, ia menanggapi, “Biasa.” Jawaban itu disalahkan oleh sang guru yang meninggalkan rasa penasaran bagi saya dan istri. Kami seketika mempertanyakan pesan yang pernah kami suntikkan kepada si sulung bahwa saat dilanda kekalahan ia tak perlu galau dan sebaliknya merasa biasa saja sebab kalah menang itu biasa.

LOMPATAN SEMANTIK

Bagi kalangan bloger yang sering terlibat dalam kompetisi menulis, kekalahan bukan lagi sesuatu yang perlu direspons secara berlebihan. Betapapun menyakitkan, kekalahan menjadi menu lumrah di akhir lomba kendati menang tentu saja jauh lebih menyenangkan. Seorang momblogger asal Makasar, Mbak Niar, bahkan menganggap kekalahan dalam kontes blog sebagai bantalan untuk menyambut kemenangan kelak.

Jika dirumuskan dalam bahasa yang lebih rapi, kekalahan adalah bagian—bukan lawan—dari kemenangan. Dengan demikian, saat dilanda kekalahan, dalam kompetisi apa pun, tidak selayaknya kita dongkol atau memusuhi para pemenang. Woles saja, kata anak zaman now.

Kasus jawaban disalahkan guru rupanya dialami juga oleh anak seorang momblogger yang menceritakannya kepada saya lewat komentar di akun Facebook. Ketika diminta menjelaskan sebuah posisi duduk anomali (kifosis, lordosis, dsb.), anak  tersebut menulis, “posisi yang berbahaya” alih-alih “posisi yang salah” sebagaimana dikehendaki sang guru. Walhasil, jawaban itu pun dicoret. Namun sang ibu santai saja menanggapinya.

Menurut pendapat saya, salah dan berbahaya masih berada dalam jangkauan frekuensi yang sama. Keduanya memiliki relasi makna yang saling membangun. Hal-hal yang salah memang berbahaya. Hal-hal berbahaya biasanya terjadi akibat perilaku yang salah. Dalam konteks jawaban anak ini, ia telah melakukan lompatan semantik dengan melampaui makna kata yang standar diberikan pada kunci jawaban. Kata berbahaya yang ia tuliskan boleh jadi merupakan sebentuk kreativitas yang ia salin dari simpulan memorinya terhadap posisi duduk yang ‘salah’.

LUAPAN kreatif

Dua fenomena cara menyajikan jawaban terhadap soal di atas mengingatkan saya pada Sylvia Ashton-Warner, seorang pendidik dan penulis asal Selandia Baru. Dalam tulisan berjudul Organic Teaching, Sylvia memperkenalkan istilah creative vent yang saya padankan dengan luapan kreativitas. Sering kali siswa tidak mendapatkan saluran untuk meluapkan dorongan kreativitas mereka—seperti terlihat pada dua contoh tadi.

Anak-anak tak jarang cenderung dibentuk pada pola pikir yang seragam tanpa diberi peluang untuk mempresentasikan getaran kreatif mereka. Hampir sulit menemukan orisinalitas dalam diri mereka. Sylvia sempat bertanya kepada temannya seorang profesor di sebuah universitas tentang bagaimana tipe mahasiswa yang hadir dalam kelasnya. “Mereka sama persis,” ujar si profesor. “Mereka seperti sampel yang dikirim dari pabrik. Tak ada yang berani berpikir dengan cara sendiri,” jawab profesor lebih lanjut.

Bahkan ketika sang dosen menantang mereka dengan pernyataan yang salah untuk memancing munculnya perbedaan pendapat, cara itu pun tak berhasil. Menurut Sylvia, di kelas anak-anak guru masih bisa menemukan identitas. Rantai masalah terputus antara level pendidikan anak dan level perguruan tinggi. Padahal tujuan pendidikan di kelas anak-anak adalah untuk memupuk ide-ide organik, merawat sumber-sumber daya personal, melatih mata batin, dan mengembangkan kepribadian masing-masing.

Pendidik atau orangtua semestinya memfasilitasi anak agar muncul luapan kreativitas demi terpeliharanya orisinalitas mereka dan terbiasa berpikir out of the box suatu hari nanti. Tentu saja tetap dibatasi oleh nilai-nilai kebaikan yang diyakini secara universal. Jangan salahkan generasi zaman now enggan mengungkapkan pandangan yang autentik dan visioner jika sejak kecil mereka dikekang lantaran tak seirama dengan jawaban yang dikehendaki oleh otoritas pendidikan.

Jangan harapkan muncul generasi yang kreatif bila letupan kreativitas mereka terbiasa dibuntu dan ekspresi original mereka dimentahkan bahkan sebelum didengarkan atau diuji.

12 Comments

  1. Sepakat! Seharusnya anak-anak tidak diperkenalkan dengan kata salah. Apapun yang mereka berikan sebagai jawaban merupakan bentuk kreativitas mereka atas apa yang mereka serap dari sekitarnya. Sistem pendidikan dasar kita saat ini, termasuk para guru di dalamnya, nggak mendukung tumbuhnya anak-anak kreatif. Semuanya harus seragam sesuai yang dikehendaki guru, atas nama kurikulum. Kita orang tuanya yang kudu pinter-pinter mengimbangi.

    Like

    1. Begitulah, guru-guru yang terbuka pikirannya sangat dibutuhkan untuk mengembangkan potensi anak kita, Mas. Anak-anak kreatif jarang mendapat tempat untuk berekspresi demi mengerahkan potensi mereka.

      Like

  2. Jd memang orangtua kudu ngimbangin. Apa yg nggak diberikan di sekolah, orangtua bs memberikannya di rumah. Bener2 nggak boleh dah ya menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah.
    Makasih sharenya ya Pak. Bekal buat aku nih.

    Like

    1. Sebisa mungkin orangtua tetap turut memantau apa saja yang diberikan sekolah dan kalau bisa menambal bagian yang kurang, Mbak. Entah lewat les atau suntikan pribadi untuk si anak dalam keluarga.

      Like

  3. Masalah ini terus saya diskusikan dengan suami. Terlebih anak saya masih kelas 1 SD, menurut saya daya imajinasi anak kerap memengaruhi jawaban-jawaban anak usia sekian. Saya pun suka nggondok kalau jawabannya disalahkan. Akhirnya kami putuskan tidak menjadikan nilai dari hasil ujian sebagai patokan. Tapi bagaimana dia menguasai dan menyelesaikan suatu masalah sebagai proses berkembang.

    Like

  4. Anak saya juga pernah jawabannya disalahkan saat UAS salah satu matpel. Saya tanyakan langsung ke walasnya. Menurut walasnya jawaban anak saya benar tapi kalau UTS atau UAS kan mengacu kepada pusat jadi semua jawaban harus sesuai text book. Guru gak bisa berbuat banyak. Kalau ulangan harian, pasti jawaban anak saya akan dianggap betul.
    Setelah itu saya kasih tau ke anak apa adanya seperti penjelasan walas. Sekalian saya jelaskan lagi kalau gak ada yang benar dan salah. Walas melakukan itu karena mematuhi aturan. Jadi kita pun ikut fleksibel aja

    Like

  5. Jawaban ulangan anak saya disalahkan gurunya padahal sudah sy koreksi juga bersama para ahli matematika. Tp si guru tetep kekeh dgn jawaban dia. Dan saat mengajar dikelas pun sering sekali salah dan lagi2 anak saya yg sering protes. Sy selalu mengajarkan anak saya untuk berbicara dgn sopan ke gurunya. Tp si guru tidak pernah mengucapkan kata ” maaf” ke anak saya. Sehingga anak saya pun bercerita, bahwa ” sy sudah sopan bertanya, tp si guru tampak pilih kasih dengan murid yang les ditempatnya.” Anak saya adalah tipe anak yg cerdas, jika guru tersebut salah dalam mengajar, maka dia akan langsung berbicara ditempat tp dengan bahasa yang sopan. Sebagai orangtua, saya tidak menuntut nilai anak selali bagus, to metode dan cara penyampaian materi lah yg saya dan anak saya butuhkan. Karena metode dan penyampaian mateei akan jadi pembelajaran si anak cara mengatasi masalah di kehidupannya kelak.

    Like

    1. Mantap, Bu. Semoga ananda dimudahkan dalam studinya ya. Jarang ortu seperti Anda yang tidak menuntut nilai selalu bagus, yang penting anak melalui proses belajar yang benar dan punya sikap dalam meluruskan kesalahan.

      Like

Tinggalkan jejak