Memutus Rantai Apati Pemuda, Kunci Bangun Nusantara Berdaya

Kabar yang dimuat di sebuah portal berita daring pagi itu membuat saya terpukul. Setidaknya 46 desa di 6 kecamatan di Lamongan terendam banjir pada awal Januari. Sepekan sebelumnya banjir baru melanda 5 kecamatan yang mencakup 1.000 rumah penduduk. Tak heran jika warga dan aliansi mahasiswa kemudian menuntut pertanggungjawaban pemerintah setempat yang mereka nilai tak serius menangani banjir yang menjadi musibah tahunan.

Belum sempat menghela napas, saya menangkap sepenggal video menyedihkan di linimasa Instagram. Sebuah lembaga nirlaba tempat saya sesekali berdonasi menampilkan bencana kekeringan di NTT, tepatnya di Oe Ekam, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Warga harus berjalan naik turun bukit berkilo-kilo meter untuk bisa mendapatkan air bersih. Di tempat lain kelangkaan air juga terjadi, bukan hanya karena kondisi lahan yang tandus seperti bukit kapur tetapi juga akibat sungai-sungai yang sudah tercemar.

Kontradiksi di depan mata

Belum lagi bencana banjir yang menimpa nyaris seluruh kota/kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan beberapa hari belakangan. Sungguh ini pemandangan yang kontradiktif; polarisasi kondisi yang sulit dipercaya tapi sayangnya betul-betul terjadi sebagai realitas yang valid. Di satu wilayah air tergenang begitu berlimpah sampai menjadi musibah sementara di wilayah lain air begitu langka dan menjadi sumber petaka tersendiri.

Masih di Instagram, lebih tepatnya di fitur Explore, dua hal bertentangan terpampang di depan mata. Satu foto menunjukkan seorang kaya raya yang tengah menuruni anak tangga sebuah pesawat jet pribadi. Tepat di sebelah kirinya terlihat foto mengenaskan: seorang lelaki kurus akibat busung lapar tertidur di tengah jalan yang gersang. Bukanlah ini dua gambar yang membelalakkan mata bahwa paradoks kesejahteraan ekonomi sosial sudah menjadi kenyataan yang tak bisa terelakkan?

Alam balik melawan

Lewat banjir dan kekeringan pada saat yang sama, juga lewat foto kelaparan dan keberlimpahan harta yang begitu dramatis, alam seperti ingin menjewer kita sejadi-jadinya. Alam hendak menampar kesadaran kita yang selama ini lunglai oleh keserakahan dalam berbagai bentuk eksploitasi atas nama pemenuhan kebutuhan yang ironinya justru menghancurkan kita sendiri secara perlahan.

Sejak lama pesan-pesan subliminal tentang keseimbangan lingkungan dan keserakahan manusia telah dikemas lewat karya kreatif seperti puisi, esai, musik, dan bahkan film. Para ilmuwan tak pernah lelah mengingatkan kita tentang potensi bencana akibat eksploitasi alam tak terkendali dan terutama perusakan hutan yang semakin lama bukan lagi anomali.

Sayangnya kita selama ini memilih abai dan sengaja memilih tidak mendengarkan pesan-pesan itu. Maka jangan salahkan alam jika ia kini melawan balik. Lewat coronavirus, lewat banjir besar, longsor, dan kelangkaan air bersih yang kini semuanya kita hadapi. Bukan lagi menjadi peringatan dalam produk budaya atau buku-buku ilmiah, melainkan sebagai ancaman di depan mata.

Selama ini kita menganggap diri sebagai pengelola alam yang bebas menguasai kekayaan bumi semau kita. Kita tak segan menguras khazanah hayati tanpa memedulikan ahli waris yakni anak cucu kita. Dalam konteks penyakit, bagaimana kalau kita sebenarnya telah menjadi virus terhadap planet bumi sehingga bumi mengadakan perlawanan dengan caranya sendiri yang mungkin tak sanggup kita atasi? Jangan-jangan pemanasan global boleh jadi adalah sinyal rasa sakit akibat virus bernama manusia bagi bumi?

Pemimpin adil, itu kuncinya

Kesadaran itu harus hidup sebagai semangat untuk memperbaiki diri. Menjadi spirit yang menghidupkan setiap gerakan yang memulihkan alam agar sehat seperti sedia kala. Harus kita pahami bahwa kita bukanlah pemilik bumi ini. Alih-alih perasaan memiliki dengan kecenderungan penguasaan tanpa kendali, lebih bijak berpikir bahwa kita hanyalah pengelola dan pengatur sementara. Pada kata mengelola dan mengatur terkandung amanah sebagai pemimpin yang punya batasan dan kriteria.

“Jadi pemimpin harus adil. Adil dalam pengertian ia tidak hanya memikirkan kepentingan saat ini, tapi buat generasi mendatang.” Begitu ujar Edo Rakhman dari aliansi Golongan Hutan pada webinar hari Jumat 8 Januari silam. Ucapan Edo sangat relevan dengan kondisi kekinian ketika banyak hutan dibabat habis demi memuluskan kepentingan politik tanpa mengindahkan dampak yang kompleks terhadap kesehatan dan ketiadaan warisan untuk generasi mendatang.

Pada online gathering bertajuk “I Love Indonesa” bersama 30 bloger siang itu Edo menegaskan perlunya pemimpin yang punya komitmen kuat untuk melibatkan partisipasi anak muda dalam pengambilan kebijakan, pengelolaan sumber daya alam, termasuk upaya-upaya penyelamatan lingkungan. Edo menyajikan tiga studi untuk mendukung pendapatnya.

Survei pertama bertajuk Jajak Pendapat Harapan dan Persepsi Anak Muda Terhadap Pilkada yang diadakan oleh Golongan Hutan dan change.org. Responden yang terlibat dalam jajak pendapat itu ternyata didominasi oleh anak muda, yakni sebesar 82% yang berusia 17-30 tahun.

Dalam konteks Pilkada 9 Desember lalu, berdasarkan Data KPU, pemilih muda pada rentang usia itu jumlahnya ternyata mencapai 60 juta orang atau sekitar 31 persen dari total pemilih. Dari sini jelas bahwa suara para pemilih muda ini tidak bisa dikesampingkan. Lebih lanjut Edo menuturkan bahwa perhatian anak muda terhadap isu-isu strategis seperti kesejahteraan ekonomi, infrastruktur, penegakan hukum, dan pendidikan ternyata cukup besar.

Begitu besarnya angka pemilih dari kawula muda jelas berpotensi menentukan pemimpin dan arah pembangunan bangsa di masa mendatang. Dengan berpijak pada survei dari Indonesia Cerah, Edo mengingatkan bahwa sudah saatnya suara anak-anak muda diperhatikan sebagai komponen penting dalam pembangunan.

Apalagi hasil survei yang digelar oleh Walhi menyatakan bahwa kawula muda masa kini rupanya sudah akrab dengan kejahatan korporasi dan punya concerns terhadap ekosida. Ekosida adalah kejahatan lingkungan yang berpotensi menimbulkan genosida. Selama ini istilah ekosida masih belum dipahami oleh publik. Padahal ekosida berdampak parah pada kehidupan manusia sehingga termasuk pelanggaran HAM yang serius.

Maka tak ada alasan bagi pemimpin saat ini untuk menganggap bahwa pemuda apatis terhadap isu-isu penting yang berkaitan dengan masa depan bangsanya. Mereka harus didengarkan dan diakomodasi idenya jika pemimpin memang mengaku adil. Hasil survei mencerminkan semangat positif bahwa anak-anak muda terbiasa menerapkan sikap hidup peduli lingkungan dan bahkan sebagian besar pernah terlibat sebagai relawan dalam bencana ekologis seperti kebanjiran, kebakaran utan, dan tanah longsor. Mereka bahkan siap memboikot perusahaan yang terlibat dalam perusakan hutan.

Anak muda dan pengaruh medsos

Sebagai anak muda yang menikmati keindahan Indonesia yang kaya, Anindya Kusuma Putri, putri Indonesia 2015 yang juga aktivis lingkungan, menceritakan pengalaman uniknya mendaki Gunung Rinjani secara langsung. Ia menyayangkan saat menemukan pengalaman menyedihkan bahwa masih ada orang membuang sampah sembarangan.

Anin mengaku puas mendaki gunung dan mengeksplorasi alam Indonesia yang indah secara langsung dengan satu tujuan: agar ia bisa menjumpai problem lingkungan lewat pengalaman sendiri sehingga ia kemudian bisa menyuarakannya lewat jaringan pertemanan atau lingkup influence yang ia miliki. Dengan berkunjung ke destinasi alam, ia bisa merasakan kesejukan air di gunung sebelum dikemas dan memetik manfaat dari team work saat berkemah bersama.

Peran anak muda yang aktif dan nyata berikutnya ditunjukkan oleh Syaharani, mahasiswi sekaligus koordinator komunitas Jeda Untuk Iklim. Ia mengajak generasi muda dan siapa pun juga untuk ikut peduli terhadap perubahan iklim mengingat dampak dari krisis iklim sudah kita rasakan sendiri. Terbukti dari cuaca ekstrem yang gampang berubah, termasuk curah hujan tinggi yang berdampak pada banjir di banyak daerah.

Krisis iklim sendiri merupakan berubahnya iklim secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global untuk jangka waktu yang lama. Jika dibiarkan tanpa aksi nyata dari kita, kehidupan di bumi bisa terancam sebab manusia sangat bergantung pada alam.

Syaharani mengingatkan bahwa tindakan kita yang tidak ramah iklim bukan hanya meningkatkan intensitas terjadinya bencana alam dan perubahan cuaca yang ekstrem, tetapi juga memicu konflik sosial berkepanjangan serta memancing munculnya wabah penyakit sebagaimana yang kita hadapi saat ini. Bagaimana logika eskalasi konflik sosial akibat perubahan iklim?

Sebagaimana ditulis di BBC, Kamis (1/8/2013), peneliti asal University of California, Berkeley bernama Marshall Burke mengatakan bahwa faktor ekonomi biasanya menjadi pemicu konflik horisontal. Perubahan iklim tak ayal lagi berdampak pada kondisi perekonomian di seluruh dunia, terutama bagi masyarakat yang mengandalkan pertanian.

Menurut penelitian, kondisi ekonomi ternyata turut mendorong seseorang untuk ikut atau tidak ikut terlibat dalam sebuah pemberontakan. Pemenuhan kebutuhan ekonomi akibat perubahan iklim terhadap sumber pendapatan tak bisa dianggap remeh. Selain itu, faktor fisiologi bisa juga menjadi penyebab. Sejumlah studi menunjukkan bahwa bila udara panas maka orang bisa bertindak lebih agresif.

Satu hal yang jelas: dunia semakin panas dengan sumber daya yang semakin terbatas. Akan terjadi ketimpangan dan kerumpangan jika aksi-aksi nyata penyelamatan lingkungan tak segera dilakukan. Ketidakseimbangan alam akan memicu ketidakseimbangan faktor ekonomi dan produksi yang dapat memicu gesekan antarkelas. Saatnya para pemimpin sepakat untuk duduk dan mendengarkan suara anak-anak muda.

Namun, tanpa menunggu jadi pemimpin pun kita bisa mengambil peran aktif untuk menyelamatkan lingkungan, menyelamatkan Indonesia. Kalau kita cinta Indonesia, mulailah dari langkah kecil sekarang juga dengan berlaku adil pada alam, dengan bersikap peduli pada keberlangsungan hutan sebab itu menentukan masa depan kita sendiri.

Bukan lagi saatnya mengaitkan sikap apati dengan pemuda karena mereka sudah bangkit dan sadar terhadap andilnya yang produktif terhadap kemajuan bangsa. Kini saatnya bergandengan tangan dan berkolaborasi untuk merawat Nusantara agar bertahan sebagai tempat kita hidup dan memaknai cinta. Cinta dalam pengertian seluas-luasnya, salah satunya pertemuan menyenangkan lewat online gathering bersama Golongan Hutan sepekan lalu.

 

12 Comments

  1. Ternyata anak muda sekarang makin melek seputar isu strategis seperti lingkungan dan penegakan hukum ya. Bener banget mereka harus dilibatkan dalam penentuan kebijakan karena mereka yang akan mewarisi negeri ini nantinya, terutama dalam hal pengelolaan hutan. Ngeri banget lihat bencana banjir di Kalsel belakangan ini.

    Like

    1. Betul banget, Kak. Mereka sampai bersedia memboikot produk merek yang ikut membalak atau menyebabkan perusakan hutan. Itu bukti kesadaran pemuda makin tinggi. Apati tak pantas lagi disematkan kepada mereka.

      Like

  2. Webinar-nya bergizi banget ya, makin sadar nih sama manfaat hutan dan lingkungan terhadap masa depan umat manusia. Tua muda harus kerja sama, bahkan sejak belia anak-anak harus dikenalkan pada keragaman hayati Nusantara yang kaya. Siapa bilang pemuda apatis ya, lanjutkan kepeduliannya!

    Liked by 1 person

  3. Selalu suka dengan upaya penyelamatan lingkungan. Kami di NBC pun menerapkan standar eco-friendly misalnya saat mengemas daging kurban tanpa plastik sama sekali. Kita harus sadar bahwa keberlangsungan alam, terutama hutan, turut menentukan masa depan. Setuju banget dengan melibatkan peran anak muda. Semoga hutan Indonesia bisa lestari dan makin banyak acara bagus seperti webinar ini.

    Liked by 1 person

    1. Betul, KakMin. Semua orang bisa kok turut andil dalam msisi penyelamatan alam, tanpa harus jadi aktivis. Seperti NBC yang udah menerapkan kurban eco-friendly. Good job, semoga menginspirasi komunitas lainnya!

      Like

  4. Memang sangat krusial anak-anak muda dilibatkan dalam pengambilan kebijakan penting karena suara mereka main kritis dan terutama dalam pelestarian lingkungan mereka mulai punya kesadaran. Jangan disepelekan.

    Liked by 1 person

Tinggalkan jejak