Mungkin tak pernah terbayangkan bahwa rempah mungil seperti pala akan menimbulkan kecamuk dalam sejarah dunia. Tak ada pula yang menyangka jika harum pala rupanya mengubah alur sejarah dan turut mencatat pergolakan sengit antara dua negara besar di Eropa. Adalah Belanda dan Inggris yang sama-sama mengincar komoditas berharga itu yang nilainya melebihi emas pada abad ke-17. Selain sebagai bumbu dan pengawet makanan, pala juga dianggap buah ajaib sebab mampu menyembuhkan banyak penyakit. Tak heran jika tim medis memburunya.
Run di Indonesia ditukar Manhattan di Amerika
Boleh dibilang Inggris memang terlambat dalam perebutan rempah dibandingkan tiga negara di Eropa, yakni Spanyol, Portugis, dan tentu saja Belanda. Maka East India Company kemudian mengirim Nathaniel Courthope untuk merebut Pulau Run di Kepulauan Banda, Maluku yaang telah dikuasai Belanda dan memonopoli perdagangan pala. Nathaniel, si pedagang rempah itu, dinilai berjasa mempersatukan warga Inggris yang tertindas oleh Belanda di sana. Sebagaimana dituturkan Giles Milton dalam bukunya berjudul Nathaniel’s Nutmeg: Or, The True and Incredible Adventures of the Spice Trader Who Changed the Course of History, Nathaniel memilih bungkam dan berujung pada kematiannya daripada membocorkan konspirasi untuk menghancurkan Belanda.

Belanda dan Inggris boleh jadi sekutu saat melawan Spanyol dan Portugis, tapi urusan pala mereka tak mau berkompromi. Maka pecahlah peperangan antara keduanya selama puluhan tahun hingga tahun 1667 ketika keduanya menyepakati Traktat Breda. Dalam perjanjian tersebut, Inggris diminta menyerahkan Pulau Run kepada Belanda dan New Amsterdam (kini Manhanttan, Amerika Serikat) yang merupakan koloni Belanda akan diberikan kepada Inggris.
Sudah 3,5 abad berlalu, dan kita tahu betapa menakjubkannya kemajuan kota Manhattan sebagai metropolitan yang pesat di New York, sementara Kepulauan Banda–dengan kekayaan rempah yang eksotis–jauh tertinggal seolah harum pala tidak lagi digdaya. Secuplik sejarah itu membuktikan betapa kekayaan kuliner Nusantara sungguh tak bisa dipandang sebelah mata. Belum lagi potensi lokal daerah-daerah lain yang sangat unik.
Pertahankan khazanah lokal
Itu pula yang menjadi perhatian William Wongso, seorang chef dan pakar kuliner yang sudah tak asing di Indonesia bahkan dunia. Dalam online talkshow melalui Zoom bertajuk Makanan Ramah Iklim dan Peluncuran eBook Memilih Makanan Ramah Iklim +39 Resep Gorontalo, legenda kuliner ini mengajak agar penamaan masakan Gorontalo yang sangat unik tetap dipertahankan. Nama menu bisa dibubuhi penjelasan khusus sebagai kuliner daerah untuk mempermudah pemahaman pencinta kuliner asing. Dengan pengalaman 20 tahun dalam gastronomi, Om Will telah berkiprah mempromosikan makanan Indonesia ke seluruh dunia, dan ia meyakini bahwa budayalah yang membuat kuliner Indonesia terkenal di dunia, bukan sekadar rasa. Tanpa budaya, tak mungkin ada rasa-rasa unik pada kuliner daerah.

Optimisme dan kebanggan Om Will terhadap cita rasa kuliner Nusantara ia buktikan dengan merilis buku berjudul Flavours of Indonesia yang kemudian diganjar penghargaan bergengsi internasional “Best Cookbook of the Year” pada ajang kompetisi ke-22 Gourmand World Cookbook Awards, yang dihelat di Yantai, China Juni 2017 silam. Kendati demikian, Om Will enggan mengakui bahwa kemenangan itu adalah berkat kemahirannya, melainkan sebab misteri dan storytelling masakan Indonesia yang belum banyak diketahui ketimbang masakan Barat yang sudah dikenal dunia.
“Malah ada tulisan di New York menyatakan bahwa hegemoni cita rasa Barat sudah pudar dan bahkan modar,” ujar Om Will setengah berkelakar, untuk menegaskan betapa masakan Asia atau Amerika Latin kian mendominasi lanskap kuliner dunia. Ini karena kekayaan rasa dan bahan yang masih bisa digali dan perlu dipertahankan.
Sebagai contoh, dalam webinar sore itu Om Will menampilkan beberapa masakan olahannya yang sungguh menggugah selera. Bukan hanya terlihat lezat, tapi bahan-bahannya sebisa mungkin diambil dari potensi kuliner Indonesia yang dikemas dengan plating memikat ala cuisine modern. Jadi esensi dan cita rasanya masih autentik dan tradisional. Yang paling menarik adalah menu yang diberi nama Ratna Mutu Manikam yang meliputi sate lilit dan cumi lokal yang seolah mencerminkan permata kuliner Nusantara.
Om Will mengingatkan bahwa kita tak boleh ragu berinovasi dalam kuliner di Tanah Air karena bahannya sangat beragam dan kaya. Kenikir, misalnya, yang ia sulap menjadi sup untuk dihidangkan di jamuan bergengsi, memiliki aroma yang harum sehingga bisa dikreasikan menjadi masakan yang variatif. “Bahkan ibu-ibu mungkin tak perlu lagi memakai parfum jika kerap mengudap kenikir,” ujarnya lagi sambil tersenyum.
Indonesia memang harus kreatif dalam berkreasi seputar dessert karena kita tak punya budaya menyajikan hidangan penutup seperti Barat. Yang ada adalah budaya mengemil seperti gorengan dan beraneka jenis kue. Namun dia menghibur bahwa urusan plating jangan dipersoalkan jika tak punya background masak-memasak. “Kalau masakan rumahan ya enggak usah repot-repot begitu,” tuturnya santai.

Jika di awal tulisan saya menyebutkan pala yang menjadi rebutan bangsa Eropa, Om Will menuturkan kita masih punya banyak kekayaan kuliner seperti perpaduan unik kecombrang, andaliman, dan cabai. Andaliman yang dikenal sebagai merica batak punya ciri khas pedas menyengat dan memang lumrah menjadi rempah dalam kuliner Batak. Jangan sampai khazanah berharga tersebut terlupakan dan mungkin dikuasai bangsa lain lantaran tidak kita lestarikan lewat resep masakan.
Rawon espresso dan kepiting laba-laba
Sebuah langkah cerdas pernah Om Will terapkan saat dia diundang untuk untuk presentasi makanan di depan asosiasi gastronomi di Paris. Inovasinya jatuh pada rawon espresso, yakni sup berwarna gelap tapi tanpa daging. Para ahli kuliner yang dijamu sempat terheran sebab mengira itu kopi sebagai dessert. Uniknya, rawon tersebut tetap punya cita rasa daging padahal diolah tanpa daging; itu semua berkat hadirnya kluwek yang autentik. Hadirin pun takjub dengan sensasi rasa setelah mereka mencobanya.
Pengalaman lain dituturkan Om Will saat diminta oleh Presiden untuk menjamu 25 konglomerat asal Korea dengan makanan yang tematik. Akhirnya dia mengangkat tagline yang berbunyi Embracing Korea with Indonesian Diversity, yakni menggunakan bahan asli Korea dengan sentuhan masak ala Indonesia. Om Will pun menyajikan lapisan selada bangka, kimchi, asinan Jakarta, dan kepiting laba-laba khas Korea. Walhasil, para tamu itu pun terkesan dengan presentasi yang memadukan kuliner Korea dan Indonesia secara cantik.
Tentang rendang dan pelajaran dari Jepang
Dengan begitu kayanya kuliner Nusantara, seperti kluwek, andaliman, dan pala, Om Will mendorong agar kita tidak berkecil hati. Ia justru mengkhawatirkan generasi muda Indonesia yang mengultuskan masakan Barat yang dari penampilan bagus tapi kurang dari segi rasa. Padahal orang-orang Barat sendiri mengakui bahwa masakan mereka sudah mentok rasanya.
“Rasa (masakan) Perancis itu mau ke mana?” ujar Om William yang meneguhkan kekayaan kuliner Asia, terutama Indonesia.
Tak heran jika dia mengapresiasi hadirnya Olamita Resto yang dikelola oleh Ihsan Averroes Wumu karena ia mengangkat satu kuliner daerah khusus dengan mendatangkan bahan baku dari Gorontalo dan Maluku. Lebih lanjut Om Will mengingatkan pengalamannya saat mendampingi Gordon Ramsey beberapa waktu lalu. Dalam ekspedisi kuliner itu, National Geographic rela menggelontorkan biaya di atas setengah juta dolar hanya untuk episode Sumbar saja yang tayang selama 45 menit dengan memboyong kru lengkap dan alat-alat seberat satu ton. Itu demi mengulik rahasia rendang di tanah Minang langsung dengan totalitas, bukan lewat googling misalnya.






Masakan Barat nyaris sulit dieskplorasi kecuali lewat sentuhan budaya-budaya lain, misalnya dengan ditambahkan yuzu, jeruk khas Jepang. Dalam hal ini Jepang layak kita tiru sebab mereka tidak melulu mengenalkan makanan Jepang, tetapi bahan yang bisa diadopsi dalam kuliner Barat–dalam hal ini jeruk yuzu. Demi mewujudkan misi ini, para petani jeruk pun diajak keliling dunia dan masuk ke restoran-restoran mahal agar yuzu bisa diakomodasi dalam resep Barat. Bukankah potensi Indonesia jauh lebih besar dari segi rempah dan bumbu?
Namun Om Will juga mengajak kita untuk melirik makanan yang plant-based atau berbasis tanaman. Tidak harus jadi vegetarian, tetapi setidaknya menambah konsumsi protein nabati yang bermanfaat bagi tubuh dan lebih ramah iklim. Di Italia terdapat gerakan cido della terra atau food of the earth yakni restoran-restoran yang didorong untuk turut mempromosikan gaya hidup berkelanjutan lewat pengalaman kuliner yang mengesankan, tapi juga mendukung petani lokal dengan metode produksi yang bersih sehingga mampu menjaga kelestarian alam.
Mengenal Omar Niode Foundation
Webinar bergizi sore itu dihelat oleh Omar Niode Foundation yang merupakan organisasi nirlaba kecil dengan komitmen untuk terus berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, citra budaya, dan kuliner Nusantara, khususnya Gorontalo, baik di Indonesia maupun mancanegara. Terzian Ayuba Niode yang berbicara mewakili Omar Niode Foundation menuturkan bahwa sejauh ini mereka telah menerbitkan 15 buku, antara lain Trailing the Taste of Gorontalo yang berhasil menggondol Gourmand World Cookbook Award, Best of the Best 1995-2020 untuk kategori Food Heritage dan menjadi kontributor Bab Indonesia pada buku At the Table. Food and Family around the World, yang juga diganjar Gourmand Award.
Omar Niode Foundation, yang berkantor di Jakarta, dibentuk secara resmi tahun 2009 sebagai penghargaan atas pemuda berbakat bernama Omar Taraki Niode. Omar lahir di Washington D.C pada 1 April 1984 dan gemar bermain olahraga dari rock climbing, mendaki, berenang, squash, dan golf. Omar Niode termasuk pembelajar yang cepat dan bisa bermain piano klasik maupun musik jazz. Selain itu, ia adalah seorang traveler yang telah mengunjungi banyak negara, termasuk Australia, Jepang, Rusia, dan banyak negara Eropa.

Tentang impiannya, Omar pernah berujar, “Aku ingin bekerja di bidang food safety; kalau aku bisa membuat orang-orang makan dengan aman, itu sudah membuatku puas dan bahagia.” Tahun 2008 dia pernah mengambil kursus intensif mengenai Penguasaan Teknik Kuliner di Culinary Center of Monterey, California–tempat di mana ia belajar kecakapan tinggi dan berlatih secara langsung mengenai dasar-dasar memasak sebagai pedoman riset dan pengembangan. Malangnya, Omar Taraki Niode meninggal karena sakit pada usia 24 tahun tepat tanggal 10 Februari 2009.
Buku digital Memilih Makanan Ramah Iklim + 39 Resep Gorontalo yang sore itu diluncurkan secara virtual menjadi judul ke-16 dalam koleksi mereka. E-book ini mencoba mengenalkan konsep makanan yang ramah bumi dari berbagai aspek dan peranannya dalam menyikapi krisis lingkungan yang kini makin mengkhawatirkan. Buku ini juga menampilkan resep-resep makanan ramah bumi yang dapat dicoba, khususnya makanan tradisional Gorontalo.

Dalam sambutannya, Terzian menegaskan bahwa terjadinya pandemi Covid-19 semakin membuktikan adanya kebutuhan mendesak untuk mengubah sistem pangan dunia karena pandemi saat ini terjadi akibat menularnya penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis). “Idealnya dengan cara mengurangi konsumsi daging serta makanan yang diproses, untuk kemudian mengarah ke makanan yang lebih berbasis nabati,” ujar Terzian.
Makanan menentukan masa depan
Pernyataan Terzi diamini oleh Amanda Katili Niode yang menuturkan bahwa pangan turut menjadi penyebab terjadinya krisis iklim. Akan tetapi, pangan juga menjadi solusi krisis iklim tersebut. Inilah sebabnya pangan ibarat dua sisi mata uang. Cara kita memproduksi makanan dan cara mengonsumsi pangan berpengaruh pada krisis iklim. Dari hulu ke hilir, mulai dari produksi sampai konsumsi, makanan menentukan masa depan manusia.
Sistem pangan yang tidak benar setidaknya dapat memicu terjadinya tiga macam krisis yang berbahaya. Pertama, krisis iklim yang menjadi perbincangan utama sebab manusia kerap berlebihan dalam mengadakan makanan. Aktivitas produksi dan industri menyebabkan sinar matahari tak bisa kembali ke luar angkasa yang membuat bumi semakin panas dan iklim mengalami anomali. Kedua, krisis pandemi sebagaimana saat ini kita alami akibat penggundulan hutan lalu menyebarlah virus-virus yang semula aman berada di inang di hutan. Ketiga, krisis kelaparan yang sungguh ironis yakni akibat ketimpangan penyebaran pangan dan konsumsi yang tidak bertanggung jawab.

Amanda menambahkan bahwa 30% makanan sisa terbuang dari produksi makanan yang ada. Ini sungguh angka yang menyedihkan. Bahkan Om William Wongso menyajikan data yang cukup mencengangkan: setidaknya makanan yang terbuang sia-sia (food waste) di Indonesia mencapai 400 kg per orang setiap tahun, sementara Tiongkok mencatatkan angka yang lebih rendah yakni 45 kg per orang.

Krisis iklim juga disebabkan penggunaan plastik secara berlebihan, terutama saat belanja. Amanda mengapresiasi Pemda Bali yang konsisten membatasi penggunaan plastik sekali pakai. Ia menyebutkan sepenggal pengalamannya yang mengesankan saat berbelanja di sebuah gerai di Bali di mana pramusaji di toko tersebut turut mengedukasi konsumen tentang pentingnya mengurangi penggunaan plastik. Jika setiap toko aktif mengampanyekan gerakan ini, bisa dibayangkan betapa besar imbasnya terhadap lingkungan kita.
Oleh karena itulah, selain mengurangi pemakaian plastik, kita harus bijak soal pangan. Kita mesti optimistis, sebagaimana ujar Amanda, bahwa makanan juga menjadi solusi atas krisis iklim dan keseimbangan alam sebab makanan sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita. “Kalau bicara soal makanan, semua senang kan?” tanya Amanda retoris. Betapa tidak, makanan memang mencakup banyak lini kehidupan; bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga mencerminkan budaya, komunitas, identitas, dan bahkan bahasa pemersatu manusia sebagaimana dalam konteks gastrodiplomacy yang dipraktikkan Om William Wongso.

Kekayaan kuliner Indonesia tak terduga
Berbicara soal makanan, tak mungkin kita meremehkan khazanah kuliner kita sendiri. Nicky Ria Azizman yang mendapat giliran berbicara berikutnya memperkuat pesan betapa potensi kuliner Nusantara sangat kaya dan menunggu untuk dikulik lebih jauh. Sebagai ketua Sobat Budaya, Nicky bersama timnya melakukan pemetaan kuliner untuk mengetahui ketersediaan pangan di Indonesia. Salah satunya menampilkan bahan makanan dan rempah yang lumrah digunakan pada masyarakat kita. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini, semakin besar tulisan yang terbaca berarti semakin banyak orang yang menggunakan bahan itu.

Dari gambar di atas, jelas bahwa bawang merah, bawang putih, jahe, dan cabai rawit mendominasi kuliner Nusantara. Adapun titik-titik kecil di sekeliling itu menunjukkan bahan-bahan lain yang belum terdeteksi. Bisa dibayangkan betapa kayanya sumber pangan lokal kita. Yang paling menarik adalah situs budaya-indonesia.org yang merekam 60.000 data budaya yang dimulai sejak tahun 2007. Situs ini bukan hanya mendata kuliner saja, termasuk resep makanan khas daerah, melainkan khazanah budaya yang luas cakupannya.

Nicky mencontohkan, teknik menyeduh dan menyajikan kopi ternyata sama beragamnya dengan jenis biji kopi (Arabika, Robusta, Liberika, dll.) yang selama ini kita kenal. Namun pemetaan 30.000 kuliner tradisional Nusantara yang terhimpun ternyata belum mencerminkan kekayaan kuliner Indonesia sesungguhnya. Masih banyak yang bisa digali dan ditemukan, tepat seperti pernyataan Om Will bahwa Indonesia tengah menjadi gudang perburuan misteri kuliner dunia. Begitu kaya, begitu tak terduga!
Resep masakan Gorontalo

Mengikuti webinar selama 2 jam itu, saya tak bisa tidak tergoda oleh pesona kuliner Gorontalo yang didominasi ikan-ikanan. Zahra Khan, ahli pangan sekaligus penyusun resep e-book makanan Gorontalo yang sore itu diluncurkan, mengakui bahwa makanan di daerahnya kebanyakan direbus, biasanya berbahan baku ikan, dan tak banyak pilihan sayur seperti di Jawa. Paling hanya jantung pisang dan bunga pepaya. Saking doyan orang Gorontalo sama ikan, ada kelakar bahwa mereka belum disebut makan kalau belum makan ikan.
Ada ikan bernama nike, misalnya, yang sangat populer dan digandrungi penduduk lokal walau ikan itu hanya muncul setiap awal bulan. “Mungkin menunggu gaji ya munculnya tiap awal bukan?” ujar Noni Zahra yang sore itu didapuk sebagai pemandu acara (host) dalam nada gurauan.
Tentang kepedulian pada krisis iklim, warga setempat punya tradisi unik, yaitu Pasar Seni Warga di mana mereka bertransaksi menggunakan keping tempurung alih-alih mata uang rupiah. Serasa alami dan mudah didapatkan. Mereka juga berusaha mengurangi plastik kemasan dengan cara membekali diri dengan wadah khusus dari rumah. Ini praktik peduli lingkungan dengan cara yang praktis dan mudah. Dengan akumulasi kesadaran warga, dampaknya tentu sangat luar biasa.

Kepedulian pada khazanah kuliner lokal Nusantara ditunjukkan oleh Ihsan Averroes yang diapresiasi oleh Om William Wongso. Ihsan yang membuka gerai makanan khusus Gorontalo di bilangan Tebet, Jakarta Selatan mengakui bahwa restonya dibuka agar memudahkan orang menemukan kuliner khas daerahnya. Dengan mendatangkan bahan ikan dari Gorontalo dan Maluku, tak heran jika restonya ramai dikunjungi penikmat kuliner, terutama berbahan ikan. Selama pandemi Ihsan menuturkan bahwa terjadi peningkatan penjualan dari 30% ke 60-70% yakni pesanan secara daring (online).
Bijak pilih makanan sekarang
Dari webinar yang bergizi, saya membangun kesadaran diri. Bertekad mengurangi konsumsi daging ayam atau sapi dan memperbanyak sayur yang sebisa mungkin didapatkan secara organik. Harap maklum usia mendekati 40 tahun juga semakin tak ramah pada pencernaan. Mengurangi penggunaan plastik sudah lama kami lakukan di rumah dan menggantinya dengan kemasan bambu atau yang bisa dipakai berkali-kali. Plant-based lebih menyenangkan, baik bahan makanan ataupun kemasan makanan yang alami.
Seperti Bu Amanda yang mengingatkan akan food waste, kami sekeluarga akan menghabiskan makanan yang kami ambil dan membagikan makanan yang berlebihan, tentu tanpa menunggu tersisa. Bu Amanda sempat mengingatkan agar generasi muda masa kini di daerah mau berjejaring dalam mengangkat kuliner berbasis pangan lokal yang tetap ramah Iklim. Tepat seperti usul Om William Wongso yang mengajak agar kita tidak berkecil hati dalam mempromosikan kuliner Nusantara, terutama lewat media sosial.
Kita bisa mulai menjaga bumi dan keberlangsungan hidup manusia dengan cara memilih makanan yang ramah iklim, yang diracik lewat teknik memasak yang bersih, rendah emisi, dan tetap mengadopsi unsur-unsur pangan lokal yang seolah tak pernah habis untuk dikulik lagi dan lagi. Salah satunya seperti gohu putungo alias jantung pisang khas Gorontal berikut ini. Resep ini termasuk dalam deretan resep pilihan khas Gorontalo dari e-book yang diluncurkan oleh Omar Niode Foundation hari Minggu tanggal 14 Februari 2021 lalu.
Di Lamongan sendiri, tempat saya tinggal, mbote (yang termasuk umbi-umbian talas) jumlahnya cukup berlimpah, tapi masih minim pemanfaatan. Jika Gorontalo punya ilabulo berbahan utama sagu, saya yakin talas mbote bisa diberdayakan sebagai makanan alternatif yang bisa mendukung ketahanan pangan seperti anjuran Presiden. Selain keripik, mbote bisa diolah sebagai pengganti nasi. Dengan dukungan pemda setempat, seperti Lumajang yang omsetnya mencapai miliaran rupiah, talas mbote bisa mendorong ekonomi lokal dan meningkatkan kesejahteraan warga asli. Pendapatan meningkat, potensi kuliner lokal pun terawat!

Ya ampuun, lengkappp kapp kappp buanget Mas
Memang super duper membanggakan ya kuliner nusantara ituuu
Aku juga makin cintaaaa Indonesiaaa!
LikeLike
Membanggakan dan rata-rata enak ya, Mbak, makanya sayang kalau enggak kita lestarikan. Tentunya dimasak dengan cara yang ramah iklim. Yuk ngerawon dulu. 😀
LikeLike
Ulasannya lengkap sekali, Mas. Saya seperti berada di lorong panjang tentang sejarah kuliner. Dan pala itu salah satu bumbu andalan keluarga saya, Mas. Seringnya masuk ke sayur sop, semur, termasyk rawon hehehe.
Tapi saya setuju untuk mulai mengurangi daging dan lebih banyak mengkomsumsi sayur-sayuran. Makanya saya suka camilan sayuran. kayak Bakwan sayur, risol isi kentang wortel, pastel sayuran, termasuk asinan buah dan sayur hahaha.
LikeLike
Nah, kan terbukti sendiri dalam keluarga Mas Bams karena pala itu harum banget. Saya ingat pas masih tinggal di Bogor pala ini dibikin manisan dengan taburan gula yang sepet tapi segar banget rasanya. Istri juga kalau masak sopo sering dikasih pala, Mas, bikin segar beda sih memang. Ayo mulai sekarang beralih ke makanan yang berbasis tanaman, Mas. Ya ramah untuk badan, juga ramah lingkungan.
LikeLike
Artikelnya lengkapkapkap banget. Sampai bolak-balik scroll, soalnya narsumnya banyak. Ini yg mana, itu yg mana…hehe… Bener banget kata Oom Will, masakah Perancis yg katanya houte cuisine. Hidangan raja-raja, udah mulai bosen. Gitu-gitu aja rasanya…wkwk…Kuliner Nusantara saking buanyaknya smp bingung, yg mewakili Indonesia yg mana ya? Tiap daerah mempunyai kekhasan…
Btw…aku belum pernah tahu kuliner Gorontalo kayak apa. Sulawesi, seringnya SulSel yah…Konro, Coto Makassar dll…
LikeLike
Betul, Mbak Hani. Di Jawa saja kita bakalan sulit menguasai resep atau mencicipi seluruh resep yang ada, dari Banten, Jakarta, Jabar, Jateng, sampai Jatim. Belum bergerak ke Bali, Lombok, wah pokoknya kaya banget kuliner kita ini. Sayang kalau tidak dilestarikan lewat konsumsi dan dokumentasi resep seperti langkah Omar Niode Foundation ini. Masakan Gorontalo saya juga belum pernah coba, tapi seperti terlihat di foto-foto resto Olamita, menunya kebanyakan berbahan baku ikan dan uenaaak nian kelihatannya, hehe.
LikeLike
Baru dengar aku istilah makanan ramah iklim. Beruntung sekali terlahir jadi orang Indonesia yang punya beragam varian makanan aneka rupa. Dari Sabang sampai Merauke, makanannya penuh dengan kekhasannya masing-masing. Dan pastinya menyehatkan karena kaya rempah.
Ngomongin masakan, aku jadi ingat dengan dietku yang selalu ntar sok ntar sok, wkwk. Dan baca artikel ini membuatku teringatkan untuk memilih jenis makanan dengan lebih bijak.
LikeLike
Begitulah, Kak. Kekayaan kuliner Nusantara ini nyaris tak terbatas, menunggu dikulik lebih jauh. Jangan ragu berinovasi, untuk mengonsumsi dan mengenalkannya kepada dunia. Tapi ingat tetap memperhatikan cara memasak yang ramah iklim, yang minim energi berbasis fosil dan rendah emisi karbonnya agar masa depan anaka cucu kita terjaga. Diet boleh kok, asal tidak berlebihan.
LikeLike
Tulisan panjaaang dan lengkap yang bikin makin bangga dengan kuliner Indonesia. Sempat mengerutkan kening pas baca “rawon espresso”. Tapi untung ingat itu tak bagus buat kecantikan kulit. Hehe…. Kirain dicampur kopi. Astagaa…gimana rasanya! Ternyata karena warna hitam pekatnya ya :))
LikeLiked by 1 person
Iya, Mbak. Karena kluwek yang warna dan rasanya sangat khas. Terbukti rempah Nusantara tiada tandingannya. Yuk lestarikan, sambil mengadopsi pola produksi-konsumsi yang ramah iklim?
LikeLike
memang klo bicara kuliner nusantara itu nggak ada matinya ya mas…
banyak dan tentu juga enak banget
penting juga ya kita sekarang beralih ke makanan yg ramah iklim
Ini bisa jadi langkah kecil yg berdampak pada usaha pelestarian lingkungan
LikeLiked by 1 person
Iya, Mbak. Kekayaan kuliner Indonesia jangan sampai tersia-siakan begitu saja. Sebisa mungkin kita masak sebagai resep keseharian agar tak melulu tergiur menu asing yang sebentulnya mulai membosankan. Tentu dengan catatan mengadopsi pola ramah lingkungan dan krisis iklim yang semakin tak terhindarkan,
LikeLike
bukan mbote, tetapi mbonte
talas mbonte. tumbuh subur di tanah Lumajang
biasanya dijadikan kripik mbonte
biasanya ada waktu lebaran di rumah2 lumajang
LikeLike
Mungkin beda penamaan dikit ya, Kak, di Lamongan kami menyebutnya mbote tanpa n di tengah. Apa pun itu, ya potensi ekonomi dan gizinya sebetulanya tak kalah dibanding karbohidrat pokok seperti beras yang selama ini kita konsumsi.
LikeLike
Mas Rudi kalau nulis itu memang super lengkap. Keren banget. Ini masalah cita rasa makanan juga runtut sekali sampai di awal ditulis perjuangan perebutan komoditi rempah-rempah.
Belum lagi tentang Om Will yang memang sudah malang melintang dunia perkulineran. Aku setuju banget, masakan barat rasanya ya gitu-gitu doang, karena yang jadi andalan mereka hanya susu, keju, mayo, gitu.
Beda ama kita yang rempah-rempahnya seabreg jadi bisa menghasilkan makanan yang unik dan lezat.
LikeLike
Iya, Mbak Eri. Kuliner Asia, terutama Indonesia, sangat kaya rempah. Kayak India juga kan punya banyak pilihan kuliner lezat yang diperkenalkan ke banyak negara. Kalau Om Will saja percaya diri dengan komoditas dan kekayaan kuliner lokal, maka kita pun mesti bangga dan merawatnya lewat resep turun-temurun. Yuk yuk!
LikeLike
kuliner Indonesia memang sangat kaya baik dari bahan maupun rempah. Harus dikenalkan keselueruh negeri akan bisa diversifikasi makanan. Tidak menikmati menu menu yang itu saja. Jadi ngga harus makan daging setiap hari kan hehehe
LikeLike
Iya, Mas. Rempah dan bumbu kita ini nyaris sulit ditandingi lantaran kaya jenis dan citarasanya. Jadi banyak peluang buat memvariasi resep atau menu untuk disajikan. Minimal jadi punya pilihan makanan, enggak melulu daging yang kurang ramah iklim produksinya.
LikeLike
Gak usah2 jauh2, kami dari komunitas di malang pernah berkolaborasi dengan dinas pariwisata menulis buku 100 kuliner legendaris di malang. Di malang aja lho ya.. Trnyata satu kota aja begitu kaya. Aku gak bisa bayangin klo se Indonesia berkolaborasi mendukung kuliner nusantara sampai bisa ke luar negeri. Pasti akan jadi project yg sangat luar biasa.
Ohy, aku dah pernah nyicipin kuliner eropa, Jerman, turki, korea, jepang, dll nyatanya lidahku gak bisa move on dari sego pecel dan lodeh tewel. Indonesia tasty mah de best
LikeLike
Itu baru di Malang ya Mbak, belum di provinsi Jawa Timur. Terus di Pulau Jawa, wuih kebayang banyaknya varian rempah dan menu yang bisa dihasilkan. Dengan kekayaan begitu, kita mesti bangga dan terus merawat kuliner lokal agar lestari, tentunya dengan memperhatikan anjuran ahli seputar cara masak yang ramah iklim.
Jadi kangennasi pecel, lodeh tewel dan nasi jagung plus sambal terasi + ikan asin hehe….
LikeLike
Warisan budaya, khususnya makanan nusantara ini begitu melimpah ya. Pas lomba masak, rata2 pesertanya emang kesulitan kalau memasak masakan nusantara karena bumbunya emang paling ribet dan banyak banget. Beda dengan makanan luar yang terkesan sedikit bahannya. Keren banget nih webinarnya kak. Lengkap banget pembahasannya.
LikeLike
Terima kasih sudah mampir ke sini dan berkenan membaca hasil webinar yang saya ikuti, Kak. Terbukti ya kekayaan kuliner Indonesia memang tiada tara. Kaya jenis, juga kaya rasa. Saya mah bisanya masak nasi goreng pakai kemiri, hehe….
LikeLike
Jadi tambah bangga dengan kuliner Indonesia,, ternyata sangat menarik setiap filosofi dari aneka kuliner yang ada
LikeLike
Harus bangga, Kak, karena potensi kuliner kita sangat kaya. Yuk lestarikan dengan memasaknya lewat cara-cara yang ramah iklim.
LikeLike
Inovasi kuliner memang baik dilakukan ya, agar makin banyak variatif tanpa menghilangkan cita rasa ke khas-an nya. Hal tersebut suka daku lihat sih misalnya opor ayam, yang rasanya sudah sangat kita kenal tapi cara memasak nya yang kreatif memberikan warna baru
LikeLike
Betul, Kak. Karena bahan dan budaya kuliner kita sangat banyak, jadi mesti dirawat dengan memadupadankan dalam berbagai variasi menu. Biar ga bosan dan isa dipertahankan.
LikeLike
Kuliner nusantara emang identik dengan Om William Wongso ya mas. Eh saya malah baru tau istilah andaliman atau merica batak. Rasanya seperti apa ya? Khas pasti ya
Kalau jantung pisang kayaknya tidak hanya terkenal di Gorontalo ya. Saya lahir di desa. Dulu pas saya kecil beberapa kali nenek memasak jantung pisang ini. Rasanya enak juga
LikeLike
Enggak heran Om William ditunjuk Disney buat mendampingi Ramsey pas mengulik rahasia rendang. Saya sendiri belum pernah lihat andaliman secara langsung, tapi sempat disebutkan dan bikin penasaran. Kalau jantung pisang ya memang
LikeLike
Menarik banget ulasannya, Mas. Kuliner Indonesia memang kaya & menakjubkan. Dan betul memang urusan makanan ini gak sesimpel keliatannya, namun berhubungan dengan berbagai aspek, termasuk lingkungan. Jadi pengen baca buku2 kuliner yg disebutkan di sini…
LikeLike
Ya, Teh. Beruntung banget bisa ikut acara bersama Omar Niode Foudation. Jadi makin tahu betapa kaya kuliner dan pangan lokal kita. Betul banget, Teh, makanan sangat berhubungan dengan lingkungan sebab cara kita makan atau bikin makanan akan mempengaruhi kondisi alam sekitar. Yuk lebih condong ke makanan yang ramah iklim!
LikeLike
Dari para vegetarian, aku banyak belajar makanan plant based yang tetap enak untuk dikonsumsi sehari2
LikeLike
Betul, Kak, walaupun tak harus jadi vegetarian kok untuk bisa makan yang peduli lingkungan. Semangat!
LikeLike
Baru tau nih aku tentang makanan ramah iklim. Ternyata banyak hal ya yang bisa kita lakukan untuk pelestarian lingkungan, salah satunya dengan memilih makanan ramah iklim ini yaaa.. Sekarang kayanya tiap mau masak atau makan, bakal mikirin tentang ini juga niiih. Makasi infonya yaaa
LikeLike
Iya, Kak, saya pun baru sadar ternyata aktivitas produksi dan konsumsi makanan kita sangat berpengaruh pada kondisi iklim Bumi. Cara memasak dan bahan yang kita pilih kudu selektif agar tidak membahayakan lingkungan dan merugikan kita sendiri nanti. Yuk kita mulai dengan mengonsumsi bahan pangan atau komoditas kuliner lokal yang sangat banyak sembari tetap menjaga kelestarian lingkungan.
LikeLike
Luar biasa ulasan tentang makanan Indonesia. Memang ulasan yang detail ini membuat saya agak pusing, hehehe. Tapi begitu lihat contoh-contoh makanannnya langsung selera makan jadi naik nih.
LikeLike
Yang penting perbanyak makan sayur, kurangi daging, dan konsumsi makanan lokal \mas biar membantu ekonomi setempat dan tetap menjaga agar iklim tak alami krisis makin parah.
LikeLike
Sayangnya saya ga ikutan webinar zoom-nya
Bakalan makin nambah wawasan dari mereka
Makanan Indonesia memang selalu menarik untuk ditinjau lebih dalam
LikeLike
Sangat menarik, Kak. Saya pun bersyukur bisa meramaikan acara ini dan mengenal program Omar Niode Foundation. Apalagi seputar makanan tradisional, wah kayak aga ada habisnya kan dikulik buat kemakmuran indonesia.
LikeLike
PR buatky sekeluarga dalam memilih makanan yang lebih ramah lingkungan. Soalnya masih demen goreng-goregan nih wkwkw. Duh, rasanya ketampar banget untuk selalu jaga bumi dengan lakukan makan makanan dari alam
LikeLike
Seru juga ya belajar sejarah rempah di muka bumi. Apalagi kalau ada tang namanya Rawon.
Ah, my best makanan banget tuh. Apalagi makannya pake tempe goreng dan es teh. Subhanallah. Sedap😇
LikeLike
Iya, Kak. Mulai sekarang kita bisa peduli pada kuliner yang ramah iklim. Mengurangi plastik dan konsumsi daging bisa menjadi langkah aktifnya, yuk!
LikeLike
Itu mengapa banyak makanan Indonesia yang didaulat jadi makanan terenak sedunia ya krena memang kaya rasa pakai rempah rempah dan segala bumbunya dibandingkan makanan yang hanya berasa cheese dan pedes pedes dikit aja.
LikeLike
Betul, Kak. Enggak cuma rendang tapi masih banyak yang bisa kita andalkan karena ragam kuliner sangat kaya, baik bahan maupun cara penyajian. Didukung pola hidup yang ramah iklim, insyaallah bumi tetap lestari.
LikeLike
Kuliner nusantara adalah sesuatu yang paling aku banggakan sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Aku juga sekarang menjadi lebih punya kesadaran. Aku sering nonton film dokumenter tentang betapa ngerinya mengkonsumsi bahan pangan hewani dan ternyata menurut banyak data salah satu penyumbang besar masalah iklim :’. Semoga banyak yang lebih bisa sadar ke depannya.
LikeLike
Ayo, Kak, bantu lestarikan dengan cara terus memasak bahan kuliner daerah dengan tetap memperhatikan pola konsumsi yang ramah iklim. Banyak yang bisa digali dan dieksplorasi agar citarasa kuliner Nusantara tidak hilang.
LikeLike
Lengkap banget kak ulasan tentang kuliner nusantara. Rendang sepertinya memang sudah terkenal di mana-mana termasuk di kancah internasional ya. Makanya tim NatGeo berani datang untuk mengulik habis tentang masakan rendang langsung dari asalnya. Kuliner Indonesia ternyata lebih banyak dari sekedar nasi goreng dan rendang ya. Tiap daerah beda-beda kuliner khasnya. Dan yang pasti semua bisa diadu rasanya.
LikeLiked by 1 person
Iya, Kak. Kuliner lokal kita ga kalah dibanding kuliner mancanegara jadi harus kita rawat dengan memasak resepnya. Jangan sampai lama-lama diakui orang lain, kan berabe.
LikeLike