Kélékku Gatel

KÉLÉK ITU ketiak dalam bahasa Jawa. Bisa-bisanya kélék saya mendadak gatal suatu hari. Tepatnya sebelum shalat tahiyyatul masjid menjelang Magrib pada hari ke-24 Ramadan tahun 1444 Hijriah. Karena gatal, maka saya garuk. Tentu saja cepat agar tidak terlihat aneh kalau harus digaruk berulang-ulang. Gatal hilang, ketiak aman. Saya lalu takbir sampai salam.

Peristiwa gatalnya ketiak alias kélék saya memang bukan perkara besar, tapi perlu saya tuliskan sebagai sebuah peringatan. Bahwa kenikmatan tidak harus lahir dari limpahan cuan, entah dari THR maupun hadiah kemenangan. Terlalu berharap pada sesuatu toh cuma bikin hati ngilu, apalagi hal-hal materiil yang layak kita miliki atas sesuatu yang kita rasa kuasai.

Sandal hilang di masjid itu mendingan.

Yang jelas selepas Magrib suasana hati automeriah. Dari kapan hari pengin makan sayur asem, ternyata malam itu menu berbuka di Masjid Al-Mustajabah berupa ikan bandeng yang dikelo asem. Tambah segar dengan irisan kenthi atau krai dan kacang panjang. Satu bakwan jagung menemani sebagai penggurih.

Ketiak gatal sudah kelar, saya makan dengan lahap sambil menatap latar. Latar maksudnya halaman parkir masjid yang berlokasi tetap di jalan besar. Jalan raya Lamongan kota dan Sugio, juga alternatif jalan menuju rumah adik tempat ibu berada.

Makan sendiri sungguh enggak ada ekstasi. Tanpa duo Xi yang kemarin ada buka bersama di sekolah MI. Saya menyeruput kopi untuk menghilangkan rasa enek dan pusing kepala yang sudah semingguan menggelayuti.

Memang di luar perkiraan bisa sakit saat Ramadan. Dua hari terpaksa bolong puasa. Hari Kamis entah tanggal berapa kepala seperti ditusuk-tusuk sampai nyeri enggak terkira. Jam 4 sore batal puasa demi minum Paracetamol agar sakit reda. Ternyata sakit tetap menggejala. Terpaksa ketemu dokter esok harinya.

Jumat sore akhirnya periksa. Tapi dalam kondisi puasa karena sayang kalau lanjut bolong padahal kuat. Dokter bilang saya gapapa, lalu diresepkan obat sebagai penawarnya. Habis minum ibuprofen sakit sedikit reda, tapi nyeri cekot-cekot masih kerasa. Sabtu akhirnya bolong lagi puasa karena badan enggak keruan rasanya.

Mulut pengin makan macam-macam, terutama yang pedas-pedas. Tapi pas makan, sensasi ga sesuai ekspektasi. Entah hambar entah pahit entah kenapa. Badan lemas dan capek semua, ini semua sangat mungkin karena timbunan dosa. Aduh, aku udah berjanji untuk enggak ngomong yang esensial atau ndakik-ndakik.

Kata-kata adalah anak kandung pengucapnya, begitu pernah kudengar dari seorang pakar. Kalau bentuknya pendapat lisan, ya itu tanggung jawab pembacotnya, yaitu saya. Kalau bentuknya tulisan, ya teks itu tetap dalam ranah yang tak bisa dilepaskan dari saya. Inilah yang bikin saya ketar-ketir belakangan ini.

Waswas mau nulis yang inspiratif atau pengalaman sebagai bahan saling mengingatkan tentang hal-hal yang terlewat. Padahal sumpah, enggak ada niat petentang-petenteng dengan kalimat bijak atau paragraf yang sok mulia. Itu murni mbrudul buat pengingat dan materi untuk dicatat di blog ini.

Namun di luar rencana, kadangkala pesan atau substansi kalimat seolah berbalik kepada diri sendiri sebagai penulisnya. Nulis soal sabar, ndilalah habis itu terbentang ujian yang menuntut kesabaran. Menggoreskan catatan bahwa ujian sebenarnya adalah kenikmatan, lalu terbukalah episode hidup yang menguji saya dengan fragmen demi fragmen yang tidak terperi.

“Aku kan ga pernah nyakitin orang, kenapa mesti sakit gini?” kataku nyaris dengan linangan air mata seperti orang blo’on padahal aku memang pekok. Aku ingat belum lama minjemin uang ke teman bloger single mom yang harus cepat-cepat bayar kontrakan. Ingat gini biar keliatan sok baikan.

“Enggak gitu konsepnya. Kamu orang beragama dan tahu betul gimana sakit sebagai ujian,” kata wanita yang sudah kunikahi 15 tahun. Aku benci mendengar komennya karena itu benar dan berarti aku salah. Lebih baik aku bloon daripada harus salah di depan wanita.

Habis ngikat sepatu olahraga, aku berangkat ke alun-alun kota untuk cari udara. Bingung mau ngapain, mau curhat takut dianggap sambat. Malas bercakap dan ingin sengaja mengalienasi diri. Pikiran berkecamuk, isinya mungkin gejolak kemarahan yang mungkin muntap kalau mengobrol dengan orang.

Sendiri kadang lebih enak, walau ga selalu lebih baik. Menyepi tanpa kata-kata selain merenung ketiak yang mendadak gatal.

Advertisement

1 Comment

  1. Kalau kata pakar “kata-kata adalah anak kandung pengucapnya”, nah Al-Qur’an juga mengingatkannya di QS. Al-Ankabut ayat 2 ya, Mas 🙂

    Btw semoga sakitnya sudah benar-benar pergi dan sehat selalu, Mas Rudi. Dan semoga Idulfitri-nya membahagiakan. Aamiin.

    Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s