Mendorong Peran Agama dan Sinergi Keluarga, Kunci Ketahanan Pangan dan Kelestarian Lingkungan

mitigasi lingkungan

Suatu siang admin sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti bertanya kepada member yang seluruhnya adalah bloger. Pertanyaan ringan, “Selamat siang. Bagaimana cuaca hari ini di kota masing-masing?” yang segera direspons dengan jawaban, “Panas membara,” atau “Puanaaas,” dan “Panas pol.” Ada juga yang menjawab, “Terik banget.” Walau ada yang memberikan jawaban ‘dingiin’, tapi secara umum jawaban yang mendominasi adalah keluhan seputar panas yang tak terhindarkan.

Gelombang panas atau heatwave yang melanda sebagian besar negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, memang membuat cuaca terasa panas nan ekstrem yang kita rasakan sejak bulan lalu. Kepala BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Dwikorita Karnawati dalam siaran pers tertulis di situs resmi BMKG menuturkan,

“Para pakar iklim menyimpulkan, tren pemanasan global dan perubahan iklim yang terus terjadi hingga saat ini berkontribusi menjadikan gelombang panas semakin berpeluang terjadi lebih sering.”

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG

Banyak keluhan, minim tindakan

Dari pernyataan itu, kita bisa memetik satu kata kunci penting yakni perubahan iklim sebagai penyebab merebaknya cuaca panas yang menerpa Bumi belakangan ini. Saya spontan teringat pada kalimat pendek sebuah grafiti di salah satu dinding yang berbunyi sebagai berikut. Grafiti ini saya jumpai di sebuah kelurahan di Cirebon, Jawa Barat.

Agar Bumi tak semakin panas, kita harus bergerak cepat. (Foto: dok. pri)

Teks itu pendek tapi menyiratkan satire dan mengandung kebenaran. Di mana-mana orang mengeluhkan hawa panas yang menyiksa sehingga kipas dan AC harus terus menyala, yang berdampak pada naiknya tagihan listrik. Selain itu, panas ekstrem juga dapat menyebabkan kematian, terbukti dalam kurun 1998-2017 yang telah menelan 166.000 jiwa menurut data WHO.

Disadari atau tidak, perubahan iklim telah menjadi masalah serius bagi masyarakat modern, tapi coba kita telaah dengan jujur: ada berapa banyak orang yang peduli pada isu ini dengan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi atau meminimalisasi dampak buruknya?

Dengan kata lain, selama ini yang terjadi hanyalah maraknya keluh kesah tapi tidak diimbangi dengan kesudian bertindak nyata #UntukmuBumiku bisa lestari. Tanpa aksi bersama, gelombang panas atau dampak perubahan iklim lainnya berpotensi menggangu ketahanan pangan akibat gagal panen atau matinya ternak.

Betapa banyak orang mengeluhkan bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, kelangkaan air, dan terutama panas ekstrem tapi gagal menyadari bahwa semua itu kepongahan kita sendiri yang telah merusakkan alam dan lingkungan hidup.

Lingkungan Indonesia kini: bahaya deforestasi dan eksploitasi

Kondisi miris yang bisa berakhir tragis.

Fakta ini dicatat oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang menegaskan bahwa kondisi lingkungan hidup di Indonesia ternyata tidak baik-baik saja. Eksploitasi hutan terjadi di Kalimantan hingga Papua. Korporasi masih bergerak leluasa dalam menggunduli hutan untuk dilalihfungsikan sebagai industri ekstraktif, misalnya pertambangan.

Dampak paling nyata tindakan overeksploitasi itu adalah berkurangnya hutan. Kita tahu bahwa selama ini pohon-pohon di kawasan hutan bertugas menyerap emisi karbon dioksida yang berbahaya bagi manusia. Ketika pohon musnah, maka laju pemanasan global tak bisa dihindari dan sumber penghidupan masyarakat adat pun ikut terkikis.

Riset oleh WALHI merilis data yang mencengangkan: setidaknya lahan seluas 159 juta hektar telah mendapat izin investasi industri ekstraktif. Riset yang sama menyebutkan bahwa korporasi telah mencaplok 82.91% wilayah daratan secara legal dan wilayah laut sebesar 29.75%. Bukankah ini angka yang mengkhawatirkan?

Sementara itu, tahun 2018 IPBES (Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) menurunkan data yang tak kalah bikin miris: setiap tahun hutan seluas 680 ribu hektar hilang di Indonesia. Ini gejala serius karena merupakan angka tertinggi dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Rusak dan hilangnya hutan berdampak langsung pada masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan dan mengandalkan hutan sebagai sumber pangan. Sebanyak 50-70 juta masyarakat adat tersebut bukan hanya kehilangan sumber pangan, tetapi juga terkena dampak pemanasan global akibat deforestasi dan eksploitasi berlebihan oleh korporasi. Belum lagi gesekan sosial yang potensial terjadi, tentunya pemerintah wajib mencermati.

Masyarakat adat bergantung pada hutan dan paham cara memperlakukan hutan. (foto: mongabay.co.id)

Menurut laporan yang dirilis oleh Yayasan Auriga Nusantara, deforestasi yang terjadi di Papua mencapai 663.443 hektar dalam 20 tahun terakhir. Mirisnya, pembukaan perkebunan sawit berada di angka 339.247 hektar yang setelah ditelusuri ternyata hanya 194 ribu hektar yang ditanami sawit, sedangkan selebihnya teronggok dalam kondisi rusak.

Ini belum termasuk kerusakan sungai yang menurut KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) bahwa 101 dari 105 sungai yang ada mengalami pencemaran sedang hingga berat. Maka tak heran jika deforestasi dan eksploitasi alam sedemikian parah telah memicu munculnya musibah.

Sepanjang tahun 2020, BNPB mencatat 2.925 bencana alam telah terjadi di Indonesia, baik berupa banjir, puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan terutama gelombang panas (heatwave) yang juga kita rasakan belakangan ini.

Menurunnya kualitas hidup akibat kerusakan lingkungan mungkin tak kita sadari padahal penguasaan jutaan hektar lahan oleh segelintir korporasi termasuk ekosida atau kejahatan terhadap lingkungan. Betapa tidak, lihatlah jumlah korban jiwa yang naik nyaris tiga kali lipat, yakni pada periode 2017 hingga 2018 dari yang semula sebanyak 3,49 juta orang menjadi 9,88 juta orang. Ini bukan statistik belaka, tapi nyawa manusia yang mestinya dimuliakan.

Dampak emisi karbon yang wajib diwaspadai

Yang lebih mengerikan, deforestasi yang tak terkendali itu secara otomatis akan melepas karbon yang selama ini tersimpan di dalam pohon atau lahan gambut. Musnahnya hutan memicu peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gases) yang berdampak pada naiknya kenaikan suhu udara global. Padahal hutan yang sehat dapat menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membantu proses fotosintesis sebagai bahan pangan bagi masyarakat sekitar.

Maka data versi World Resource Institute (WRI) harus kita renungkan sebab Indonesia disebut-sebut menempati peringkat kedelapan sebagai penghasil emisi karbon pada tahun 2018. Bukankah ironis karbon yang Indonesia lepaskan begitu tinggi sementara hutan tropis yang kita miliki begitu luas? Lalu apa dampak emisi karbon terhadap lingkungan, kesehatan, dan perekonomian?

1 | Dampak emisi karbon terhadap lingkungan

Emisi karbon dapat memicu meningkatnya temperatur bumi. Walhasil, potensi curah hujan dan hujan yang lebat atau badai semakin besar sehingga banjir riskan terjadi. Di sisi lain, kebakaran hutan bisa terjadi akibat naiknya gelombang panas (heatwave). Iklim yang tidak menentu juga berpotensi mengganggu binatang-binatang alam terbuka karena mengalami stres.

2 | Dampak emisi karbon terhadap kesehatan

Karbon dioksida yang terjebak di atmosfer akan membuat bumi kian panas dan lama-lama menyebabkan kesehatan manusia terganggu. Menurut kajian U.S. Global Change Research Program yang dilaksanakan tahun 2016, cuaca ekstrem yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim dapat memicu meningkatnya tindakan agresif dan kekerasan domestik.

Masih menurut kajian yang sama, cuaca ekstrem juga dapat menyebabkan naiknya tingkat kematian terutama bagi kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti anak-anak, manula, dan keluarga miskin.

Sedangkan Harvard mengajukan istilah climate anxiety atau eco-anxiety yang merujuk pada kecemasan akibat memikirkan ketidakpastian masa depan sebagai dampak dari ancaman perubahan iklim yang nyata. Perasaan ini dapat memicu munculnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, dan rasa malu, yang pada gilirannya nanti dapat memengaruhi suasana hati, perilaku, dan pemikiran.  

Masih menurut Harvard, meningkatnya suhu bumi dapat mengganggu perkembangan kognitif anak-anak dan remaja. Kita tentunya tak ingin masa depan bangsa terancam lantaran generasi penerus tidak bisa fokus belajar akibat cuaca ekstrem yang melanda.

Belum lagi munculnya berbagai penyakit baru yang berevolusi. Selain itu, masalah pernapasan dan kardiovaskuler, juga jenis kanker tertentu dapat terjadi akibat kualitas udara yang terus memburuk.

3 | Dampak emisi karbon terhadap perekonomian

Emisi karbon juga berpengaruh pada aktivitas pertanian, kehutanan, pariwisata dan sektor lainnya. Hal ini disebabkan oleh pola cuaca yang tidak menentu. Cuaca ekstrem lambat laun akan menyebabkan jalanan rusak. Infrastruktur lain seperti jembatan, tiang listrik, dan bangunan tempat umum perlahan mengalami kerusakan.

Dan yang lebih penting adalah menurunnya produksi pertanian yang berdampak pada ketahanan pangan. Kegiatan ekonomi bisa terhambat dan data kematian tinggal menunggu dicatat.

Langkah penting tekan dampak emisi karbon

Dampak emisi karbon sebagai bagian dari perubahan iklim tak bisa dimungkiri. Betul-betul ancaman serius yang bisa menjadi bom waktu jika tak ditangani. Beberapa cara berikut, yang dianjurkan oleh lindungihutan, bisa dilakukan untuk mengatasi dampak-dampak negatif ini.

  • Bijak memakai energi: matikan alat-alat elektronik saat tidak digunakan seperti kipas angin, pendingin ruangan (AC), charger ponsel atau laptop, mesin cuci, televisi, dan lainnya.
  • Kurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan mengoptimalkan transportasi umum untuk perjalanan jarak jauh.
  • Gunakan sepeda atau jalan kaki untuk perjalanan jarak dekat, misalnya ke minimarket.
  • Alih-alih fanatik pada produk impor, prioritaskan untuk membeli dari petani setempat untuk memangkas alur distribusi dan membantu memberdayakan ekonomi lokal.
Kunyit di pot siap dimanfaatkan untuk memasak (foto: dok. pri)
  • Manfaatkan tanah kosong di sekitar rumah atau gunakan pot-pot untuk menanam sendiri tanaman pangan demi menekan pengeluaran dan konsumsi produk impor.
  • Hindari sifat serakah saat membeli makanan; ambil makanan sesuai kebutuhan dan habiskan apa yang sudah diambil demi mencegah waste food.
  • Bawa botol minum atau tumblr sendiri yang bisa diisi ulang saat bepergian.
  • Jangan lupa membekali diri dengan kantong belanja saat pergi ke pasar atau minimarket guna menekan konsumsi sampah plastik.
  • Pisahkan sampah atau limbah domestik menurut jenisnya: organik dari nonorganik untuk mempermudah pendauran ulang; manfaatkan limbah organik sebagai kompos.
Ampas kelapa bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik. (Foto: dok. pri)
  • Jangan boros menggunakan air bersih; bijaklah memakainya sesuai kebutuhan meskipun kita sanggup membayar tagihannya.
  • Gunakan ponsel pintar, laptop, atau PC seperlunya, bukan melulu untuk hiburan.
  • Tanamlah pohon sebagai ikhtiar agar emisi karbon dan gas rumah kaca kembali terserap.

Tak perlu cara-cara rumit untuk meredam emisi karbon agar tak mengancam jiwa kita. Hal-hal sederhana bisa kita mulai sejak dari rumah. Yang dibutuhkan adalah niat dan tekad untuk berkolaborasi dan #BersamaBergerakBerdaya untuk mencapai efek magnitudo yang berdaya untuk semua.

Belajar dari Cirebon

PR besar yang perlu kita garap adalah membangun kesadaran kolektif agar semua orang peduli pada isu lingkungan sebab kita berada di dalamnya sebagai entitas yang menjadi pelaku sekaligus berpotensi menjadi korban. apa yang kita pahami dan kita lakukan tentang alam sangat menentukan masa depan bumi dan kelestarian ras kita.

Spirit #BersamaBergerakBerdaya dalam mewujudkan lingkungan yang asri dan mendukung berbagai aktivitas harian dengan semangat berkelanjutan, bukan kemenangan atas eksploitasi alam ternyata saya temukan di Cirebon, lebih tepatnya di RW 08 Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti. Pada penghujung 2018 silam, saya berkesempatan mengunjungi kawasan seluas 5,8 hektar tersebut, ditemani Pak Chaidir dan Pak Agus Supriono selaku pengelola dan penggerak.

Green house dalam pekarangan

Saat berkeliling dan bercakap selama sekitar dua jam, saya takjub melihat pekarangan yang asri, penuh dengan vegetasi hijau, termasuk pekarangan mungil di sebelah baperkam (balai pertemuan kampung). Uniknya, RW nan sejuk dan rindang ini bukanlah bagian dari perkampungan, melainkan kompleks perumahan.

Kesadaran kolektif tentang dampak perubahan iklim jelas tertanam pada setiap benak warga RW tersebut. Ini terlihat dari pot-pot mungil atau polybag yang berderet di depan setiap rumah dan menampung beragam tanaman. Walhasil, seluruh lorong dan jalan pun tampak rimbun dan membuat pengunjung seperti saya menjadi betah.

Lubang biopori dan sumur resapan, berjuta manfaat ramah lingkungan (foto: dok pri)

Jalanan RW tersebut seluruhnya ditutup dengan paving block dengan selingan berupa lubang biopori di sana sini dan sesekali saya temukan sejumlah sumur resapan yang manfaatnya di luar dugaan. Sebanyak 118 titik biopori dimanfaatkan sebagai media composting sementara sebagian sumur resapan disulap menjadi kolam lele sehingga lebih produktif sebagai pemasok sumber pangan.

RW yang diketuai Pak Agus itu kondang sebagai Kampung Proklim Merbabu Asih yang telah berdiri sejak tahun 2008. Selain sebagai perwujudan Program Kampung Iklim (ProKlim) yang dicanangkan oleh pemerintah, langkah mereka membentuk Kampung Proklim adalah lantara ada timbunan sampah yang berbau busuk di TPS dekat rumah Pak Chaidir. Apalagi daerah mereka Cirebon selama ini kerap disambangi bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, dan penyakit akibat sanitasi. Sejak menjadi Kampung Proklim, Merbabu Asih pun terbebas dari banjir.

Bahkan sesederhana air hujan pun tak mereka biarkan hilang begitu saja. Curahan air dari langit itu sengaja ditandon dengan dialirkan lewat pipa-pipa khusus agar air hujan turun ke sumur yang telah disiapkan, yang berlokasi di depan masjid, baperkam, dan dua lokasi lainnya. Air ini bukan cuma bisa dipanen, tetapi juga membantu menjaga kualitas bangunan yang ada di sekitarnya agar tetap kokoh dan tidak retak.

Air hujan dipanen sebagai cadangan saat dibutuhkan (foto: dok. pri)

“Kuncinya adalah menjelaskan hal-hal kompleks kepada warga dengan bahasa awam,” jawab Pak Agus saat saya desak bagaimana tanggapan warga pada masa awal rain forest harvesting digagas.

Agus Supriono

Optimalkan ajaran agama

Melihat keberhasilan pengelolaan lingkungan di Merbabu Asih, saya spontan tertarik untuk mengulik rahasia kekompakan mereka. Bagaimana kiat menggugah kesadaran warga sehingga mereka bisa proklim-minded, peduli pada isu-isu lingkungan yang selama ini cenerung hanya jadi obrolan akademik.

Pak Agus menjawab bahwa ada tiga poin yang terus  gaungkan kepada warga. “Satu, sangat tidak bisa dibantah bahwa kita hidup berada di lingkungan hidup. Kedua, laju pertumbuhan sampah lebih cepat daripada laju pertumbuhan penduduk. Ketiga, hanya orang gila yang tidak mau kampungnya bersih.”

Nah, pesan-pesan positif semacam itu rutin dikomunikasikan dalam pertemuan warga, terutama disampaikan sebagai ajaran moral secara kontinu melalui khotbah Jumat atau acara keagamaan lainnya. Bukan rahasia lagi bahwa Merbabu Asih dihuni oleh pemeluk agama yang berbeda-beda. Bukan hanya Islam, tapi juga Kristen, Buddha, dan Hindu. Semuanya hidup berdampingan dalam kerangka kepedulian lingkungan.  

Optimisme dalam pendidikan lingkungan

Pak Agus meyakini petuah orang bijak yang menyatakan bahwa ada tiga komponen yang bisa menembus batas ruang dan waktu, yaitu humaniora (nilai-nilai humanisme), pendidikan, dan lingkungan. Dalam hal ini, Pak Agus yang ditunjuk memimpin warga dengan keberagaman agama dan budaya sanggup menggerakkan semuanya dengan filosofi lingkungan.

Mengadopsi ecotheology

Keputusan Pak Agus untuk menggunakan kanal agama sebagai media penyampai pesan-pesan ekologis adalah langkah terpuji yang bisa diteladani. Ini selaras dengan maraknya istilah ecotheology atau kadang disebut dengan ecopiety yang kian banyak dipakai orang.

Menurut wikipedia, ecotheology adalah bentuk teologi konstruktif yang memfokuskan hubungan timbal balik antara agama dan alam, terutama dalam kaitannya dengan masalah lingkungan. Manusia sebagai pemeluk agama tentunya menjadi penentu bagaimana ajaran agama diterapkan lewat upaya positif untuk melestarikan lingkungan.

Intinya, lewat ekoteologi manusia diajarkan untuk sadar bahwa ranah agama/spiritual punya kaitan sangat erat dengan umat manusia. Dengan kata lain, kerusakan atau pelestarian alam sangat memengaruhi masa depan manusia.  

Dalam topik lain, saya teringat pada seorang pemuka agama yang mengatakan bahwa memakai helm atau menaati peraturan lalu lintas itu bagian dari amal ibadah sehingga bernilai pahala. Sebaliknya, mengabaikan aturan lalin berarti tindakan berdosa dari kacamata agama.

Sebagaimana upaya Pak Agus bersama timnya, ekoteologi juga telah ditunjukkan oleh pernyataan tegas Batrik Bartholomew sebagaimana dimuat dalam buletin Vatican Press pada tahun 2016 silam. Bartholomew menganjurkan agar umatnya bertobat dari perlakuan jahat terhadap Planet Bumi selama ini dalam bentuk kerusakan sekecil apa pun.

Bartholomew juga mengajak agar kita berani mengakui betapa kita punya andil, baik kecil maupun besar, dalam perusakan dan penghancuran ciptaan Tuhan.

“Karena manusia telah menghancurkan keanekaragaman hayati ciptaan Tuhan, merusak planet Bumi akibat perubahan iklim, merampas hutan alam dan menghancurkan lahan basah, juga mencemari air bumi … Karena tindak kejahatan terhadap alam adalah dosa terhadap diri sendiri, juga dosa terhadap Tuhan.”

Batrik Bartholomew

Kita tahu bahwa orang kadang enggan peduli pada lingkungan hanya karena ada ancaman bencana alam yang belum tentu terjadi. Kalaupun terjadi, bisa saja akan mengenai orang lain, bukan wilayah mereka. Namun, ancaman dosa kadang lebih mengerikan dan evokatif (menggugah rasa/emosi). Kekhawatiran akan masa depan di akhirat bisa digarap sebagai poin untuk peduli lingkungan.

Dalam konteks agama Islam yang saya yakini, pemborosan air wudhu misalnya dilarang oleh Nabi meskipun kita berada di atas sungai yang mengalir. Contah lain adalah larangan menebang pohon sebagaimana terlihat dalam sebuah hadis:

“Barang siapa menebang pohon bidara, maka akan Allah tuangkan cairan di kepalanya di neraka.”

(HR Abu Dawud, Al Baihaqi, dan An-Nasa’i, disahihkan Syekh Al Albani)

Pohon bidara atau widara biasanya tumbuh di tempat kering dengan fungsi penting sebagai peneduh bagi musafir yang bisa sekaligus mengonsumsi buahnya. Dari hadis ini bisa dipetik pelajaran bahwa memusnahkan pohon yang bermanfaat bagi manusia adalah haram hukumnya dengan ancaman pedih sebagaimana disebutkan dalam hadis.

Adapun praktik ecopiety (kesalehan lingkungan) di rumah kami bisa dilihat pada infografik berikut ini. Selain mematuhi ajaran agama, kami juga mendapatkan manfaat langsung berupa penghematan uang, kesejukan udara, dan nikmatnya buah yang murah.

Ketahanan pangan dalam keterbatasan

Spirit ecotheology pula yang kemudian mengganjar warga di kompleks Merbabu Asih dengan ketahanan pangan. Walau lahan terbatas, mereka tak kehilangan akal untuk tetap memiliki sumber pangan di perumahan. Kebetulan ada sepetak tanah mungil di seberang baperkam. Lahan seluas 60 m2 ini dimiliki seorang warga yang lantas disepakati untuk dikelola bersama sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di mana warga bisa bercocok tanam sekaligus mendirikan greenhouse sebagai tempat pembenihan dan pembibitan sebelum ditanam di bagian lahan lainnya.

Bukan hanya greenhouse, sebidang tanah mungil ini juga ditanami bermacam sayuran dan buah yang telah dipanen silih berganti sebanyak 18 kali. Ada bayam, kangkung, pokcoy, daun jeruk, jagung, terung, cabai, pepaya, jambu, dan umbi-umbian bisa dipanen dan dinikmati warga tanpa perlu beli. Tak heran ketika warga di tempat lain mengeluhkan harga cabai yang selangit, maka warga Merbabu Asih malah berlimpahan. Masih di lahan yang sama terdapat kolam yang dibuat dari terpal berukuran sekitar 1×6 meter yang diisi ikan nila pemberian dinas pertanian setempat.

Kebun sayur dan buah yang ada di depan green house (foto: dok. pri)

Melihat kiprah warga yang kompak menjaga lingkungan di kawasan Merbabu Asih, kita seolah mendapat resep manjur tentang tindakan nyata yang mesti dilakukan sebagai perwujudan agar bumi berdaya dan pulih lebih kuat akibat perubahan iklim yang tak terhindarkan. Langkah yang mereka tempuh bisa diduplikasi sebagai pola sederhana tapi berdaya guna sebab dikerjakan bersama-sama.

Kebijakan yang pro-lingkungan

Apa yang diperlihatkan oleh warga Merbabu Asih sehingga diganjar sejumlah prestasi, salah satunya apresiasi dari KLHK, adalah model yang tidak hanya dibayangkan tapi nyata bisa diwujudkan. Jika saya punya kesempatan untuk menyusun kebijakan yang bertujuan mengurangi mitigasi risiko perubahan iklim, maka saya pertama-tama akan mewajibkan sekolah-sekolah mengadopsi kurikulum yang membahas kepedulian lingkungan.

Hal ini, misalnya, sudah dipraktikkan oleh SDN Jemurwonosari I/417 Surabaya yang mengajak siswa melakukan mitigasi risiko perubahan iklim dengan dukungan keluarga. Selain memilah sampah dan menyetorkan ke bank sampah, siswa juga dibiasakan meminimalkan penggunaan plastik, dan melakukan pengomposan. Dengan cara seperti ini, anak memiliki memori dan kesadaran untuk senantiasa mewasapadai dampak perubahan iklim.

Sudah bukan masanya isu lingkungan hanya dibahas di bangku akademis seperti perkuliahan atau seminar-seminar dengan pembicara asing tanpa melibatkan partisipasi siswa sejak dini. Siswa perlu diperkenalkan pada perubahan iklim dan dampaknya sejak belia agar bisa mengikuti mitigasi lingkungan dan bencana yang potensial terjadi.

Kebijakan kedua adalah penerapan OTOS alias One Tree One Student. Setiap pendaftaran siswa pada jenjang apa pun, baik pendidikan formal maupun nonformal, siswa yang lolos seleksi harus menyerahkan satu pohon yang bisa disepakati jenisnya. Pohon ini bisa ditanam di lingkungan sekolah selain untuk memasok oksigen juga dinikmati hasilnya.

Kebijakan ketiga adalah pemberlakuan sanksi bagi penduduk yang enggan membatasi penggunaan kendaraan roda empat dalam aktivitas yang tidak mendesak. Sanksinya bisa berupa denda uang atau penghijauan pada kawasan tertentu yang tandus. Bisa dibentuk kelompok pelanggar untuk menuntaskan proyek ini.

Sebaliknya, dalam paket kebijakan yang sama, warga didorong agar menggunakan transportasi publik demi menghemat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan menekan kadar polusi yang berbahaya. Mereka yang memilih bersepeda atau berjalan kaki bisa mendapatkan subsidi, misalnya untuk membeli sepeda kayuh, atau bisa pula apresiasi untuk dikirim tamasya ke tempat tertentu (mungkin luar negeri) untuk memperdalam pengetahuan seputar lingkungan dari praktik dan sharing.

Kebijakan berikutnya yang tak kalah penting adalah mewajibkan mahasiswa untuk merumuskan tugas akhir dengan proyek memulihkan hutan yang mengalami deforestasi parah. Mereka bisa didampingi oleh pakar agar dapat merampungkan proyek tersebut dengan kolaborasi bersama masyarakat adat yang punya khazanah atau kearifan lokal yang mumpuni. Ini adalah bentuk Team Up For Impact yang ideal.

Sekaranglah saatnya #BersamaBergerakBerdaya untuk memulai langkah-langkah nyata #UntukmuBumiku demi menyelamatkan Bumi yang berarti menyelamatkan diri kita sendiri sebagai bagian di dalamnya. Kita bisa bergerak sendirian, tapi bergerak bersamaan akan menghasilkan efek positif yang signifikan.

Nah, mengingat perubahan iklim sudah tak terelakkan, bagaimana #BersamaBergerakBerdaya versi kalian, BBC-Mania? Boleh dong tulis di kolom komentar ya. Setiap ide dan gagasan kecil bakal bermanfaat untuk diwujudkana bersama-sama.

Sumber bacaan:

14 Comments

  1. Waw… luar biasa, Mas. Saya suka postingan ini. Butuh efort yang besar sertinya dlm menulis ini. BTW, isu lingkungan sudah sangat jarang dibahas lagi. Padahal ini selalu penting banget untuk tetap terus digaungkan. Dan dicontohkan. Jadi kitanta harus tetap jadi model juga untuk menjaga lingkungan…. keep posting, mas… 👍

    Like

  2. Ngomongin masalah lingkungan itu gak cuma omdo, tapi kudu dengan gerakan juga untuk bantu mengurangi dampaknya. Aku memang belum melakukan banyak, paling yang simpel dulu sih kaya bawa botol minum, pakai listrik seperlunya, makan secukupnya, harus dihabiskan. Semoga ini bisa bermanfaat untuk bumi

    Liked by 1 person

    1. Betul banget, Jiah. Harus ada aksi nyata, berawal dari diri sendiri dan keluarga misalnya yang kamu sebutkan itu. Padahal agama juga ngajarin kan buat merawat lingkungan dan ga boros sumber daya. Yuk a #BersamaBergerakBerdaya untuk bikin bumi tempat yang nyaman untuk semua!

      Like

  3. Pemilihan sumber pangan mesti bijak ya. Kalau bisa emang menggunakan pangan lokal supaya lebih ramah lingkungan. Jika memang bisa juga menanam sendiri memanfata kan lingkungan sekitar pasti lebih baik lagi. Plusssss jangan sampe ada makanan yang terbuang deh biar lebih TOP lagi

    Like

  4. Di tempatku udah musim kemarau, tepat sebulan. Moga saja gak kekeringan panjang seperti 2019 lalu yang sampai dasar sungai dibikin sumur pun airnya sedikit.

    Untuk masalah lingkungan, paling tidak kalau masyarakat tidak buang sampah sembarangan aja, itu udah bagus banget.

    Like

  5. Di kotaku di Jember sini akhir akhir ini juga terasa banget panasnya, kadang pagi bisa mendung, siang panas, ga menentu gitu
    Terus yang masih jadi kebiasaan jelek aku adalah kabel charge laptop selalu nempel dan kondisi saklarnya on, meskipun aku tinggal ke kantor yang even itu bisa 8 jam lebih

    Like

  6. Kadang tu ya, keinginan utk berusaha membantu perubahan iklim ini kuat, cuma untuk ikut support itu yg terbatas, misalnya yg pekarangan hijau tadi, banyak saat ini rumah yg minim pekarangan, ada juga waktu utk mengolah sampah. Tp syukurnya ada cara lain yg lebih mudah ya kak, kaya ngu.pulin air wudhu itu, sederhana banget tp lumayan daripada gak sama sekali

    Like

  7. Kota Bandung yang terkenal adem pun, sekarang mulai terasa gerah. Perubahan iklim ini sudah dirasakan di banyak tempat, ya.
    Memang sudah seharusnya kita semua bergerak bersama untuk mencegah bertambahnya emisi karbon di lingkungan sekitar kita.

    Like

  8. Aku tadi terus terang agak merengut pas baca soal “agama” hehe, soalnya org negara tetangga yg gak beragama bisa jaga kebersihan lingkungan, di kita yang notabene udah diajarin jaga kebersihan masih banyak miss-nya.
    tapi ya bagus sih kalau tokoh agama juga mau menggerakkan kesadaran, cuman emang butuh banget narik kesadaran masyarakat dan aturan pemerintah yang jelas supaya gak banyak yang ngotorin lingkungan sembarangan lg.

    Like

  9. “simpan sisa air wudhu untuk menyiram tanaman”

    Keren banget sih ini, tapi kok aku gak yakin ya, banyak yang melakukan hal tersebut 😂
    Mengingat air di kota tercinta kita juga agak susah, kayaknya bakal bermanfaat banget kalau langkah ini bisa direalisasikan sama warga sekitar.

    Like

  10. Huhu.. jadi ketauan nih, aku paling sering menggunakan gadget.
    Ya, meskipun ada tips untuk tidak streaming karena lebih baik download, karena lebih hemat menggunakan energi, tapi kalo lagi ada do zona nyaman dengan internet kenceng tuh ada rasa malas buat download.

    Haturnuhun.
    Kembali konsisten bergerak berdaya bersama untuk kebaikan alam yang kita tinggali saat ini.

    Like

  11. Tulisannya lengkap sekali, sukaaa! 😀 dalam ajaran agama pun sebetulnya sebagai manusia wajib menjaga keadaan sekitarnya dan tak menimbulkan kerusakan ya. Jadi kita yang mampir sebentar di bumi nih jangan hanya menggunakan saja, namun setidaknya doing the things, hal itu pun sebenarnya sebagai bentuk rasa syukur krn sudah diberkahi banyak kekayaan dr alam semesta. Jadi kitapun sebaik-baiknya harus turut menjaga 🙂

    Liked by 1 person

  12. Setuju banget bahwa manusia sebagai pemeluk agama tentunya menjadi penentu bagaimana ajaran agama diterapkan lewat upaya positif untuk melestarikan lingkungan.
    Memang agama khususnya agama Islam sudah mengatur segala hal termasuk bagaimana berinteraksi dengan lingkungan. Maka kita harus bersama-sama melakukan langkah-langkah untuk menyelamatkan bumi, ya, Mas Rudi. Meski “hanya” langkah-langkah sederhana seperti menghabiskan makanan yang ada dalam piring makan kita.

    Like

Tinggalkan jejak