Suatu siang admin sebuah grup WhatsApp yang saya ikuti bertanya kepada member yang seluruhnya adalah bloger. Pertanyaan ringan, “Selamat siang. Bagaimana cuaca hari ini di kota masing-masing?” yang segera direspons dengan jawaban, “Panas membara,” atau “Puanaaas,” dan “Panas pol.” Ada juga yang menjawab, “Terik banget.” Walau ada yang memberikan jawaban ‘dingiin’, tapi secara umum jawaban yang mendominasi adalah keluhan seputar panas yang tak terhindarkan.
Gelombang panas atau heatwave yang melanda sebagian besar negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, memang membuat cuaca terasa panas nan ekstrem yang kita rasakan sejak bulan lalu. Kepala BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Dwikorita Karnawati dalam siaran pers tertulis di situs resmi BMKG menuturkan,
“Para pakar iklim menyimpulkan, tren pemanasan global dan perubahan iklim yang terus terjadi hingga saat ini berkontribusi menjadikan gelombang panas semakin berpeluang terjadi lebih sering.”
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG
Banyak keluhan, minim tindakan
Dari pernyataan itu, kita bisa memetik satu kata kunci penting yakni perubahan iklim sebagai penyebab merebaknya cuaca panas yang menerpa Bumi belakangan ini. Saya spontan teringat pada kalimat pendek sebuah grafiti di salah satu dinding yang berbunyi sebagai berikut. Grafiti ini saya jumpai di sebuah kelurahan di Cirebon, Jawa Barat.

Teks itu pendek tapi menyiratkan satire dan mengandung kebenaran. Di mana-mana orang mengeluhkan hawa panas yang menyiksa sehingga kipas dan AC harus terus menyala, yang berdampak pada naiknya tagihan listrik. Selain itu, panas ekstrem juga dapat menyebabkan kematian, terbukti dalam kurun 1998-2017 yang telah menelan 166.000 jiwa menurut data WHO.
Disadari atau tidak, perubahan iklim telah menjadi masalah serius bagi masyarakat modern, tapi coba kita telaah dengan jujur: ada berapa banyak orang yang peduli pada isu ini dengan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi atau meminimalisasi dampak buruknya?
Dengan kata lain, selama ini yang terjadi hanyalah maraknya keluh kesah tapi tidak diimbangi dengan kesudian bertindak nyata #UntukmuBumiku bisa lestari. Tanpa aksi bersama, gelombang panas atau dampak perubahan iklim lainnya berpotensi menggangu ketahanan pangan akibat gagal panen atau matinya ternak.
Betapa banyak orang mengeluhkan bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, kelangkaan air, dan terutama panas ekstrem tapi gagal menyadari bahwa semua itu kepongahan kita sendiri yang telah merusakkan alam dan lingkungan hidup.
Lingkungan Indonesia kini: bahaya deforestasi dan eksploitasi
Fakta ini dicatat oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang menegaskan bahwa kondisi lingkungan hidup di Indonesia ternyata tidak baik-baik saja. Eksploitasi hutan terjadi di Kalimantan hingga Papua. Korporasi masih bergerak leluasa dalam menggunduli hutan untuk dilalihfungsikan sebagai industri ekstraktif, misalnya pertambangan.
Dampak paling nyata tindakan overeksploitasi itu adalah berkurangnya hutan. Kita tahu bahwa selama ini pohon-pohon di kawasan hutan bertugas menyerap emisi karbon dioksida yang berbahaya bagi manusia. Ketika pohon musnah, maka laju pemanasan global tak bisa dihindari dan sumber penghidupan masyarakat adat pun ikut terkikis.
Riset oleh WALHI merilis data yang mencengangkan: setidaknya lahan seluas 159 juta hektar telah mendapat izin investasi industri ekstraktif. Riset yang sama menyebutkan bahwa korporasi telah mencaplok 82.91% wilayah daratan secara legal dan wilayah laut sebesar 29.75%. Bukankah ini angka yang mengkhawatirkan?
Sementara itu, tahun 2018 IPBES (Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) menurunkan data yang tak kalah bikin miris: setiap tahun hutan seluas 680 ribu hektar hilang di Indonesia. Ini gejala serius karena merupakan angka tertinggi dibanding negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Rusak dan hilangnya hutan berdampak langsung pada masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan dan mengandalkan hutan sebagai sumber pangan. Sebanyak 50-70 juta masyarakat adat tersebut bukan hanya kehilangan sumber pangan, tetapi juga terkena dampak pemanasan global akibat deforestasi dan eksploitasi berlebihan oleh korporasi. Belum lagi gesekan sosial yang potensial terjadi, tentunya pemerintah wajib mencermati.
Menurut laporan yang dirilis oleh Yayasan Auriga Nusantara, deforestasi yang terjadi di Papua mencapai 663.443 hektar dalam 20 tahun terakhir. Mirisnya, pembukaan perkebunan sawit berada di angka 339.247 hektar yang setelah ditelusuri ternyata hanya 194 ribu hektar yang ditanami sawit, sedangkan selebihnya teronggok dalam kondisi rusak.
Ini belum termasuk kerusakan sungai yang menurut KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) bahwa 101 dari 105 sungai yang ada mengalami pencemaran sedang hingga berat. Maka tak heran jika deforestasi dan eksploitasi alam sedemikian parah telah memicu munculnya musibah.
Sepanjang tahun 2020, BNPB mencatat 2.925 bencana alam telah terjadi di Indonesia, baik berupa banjir, puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, dan terutama gelombang panas (heatwave) yang juga kita rasakan belakangan ini.
Menurunnya kualitas hidup akibat kerusakan lingkungan mungkin tak kita sadari padahal penguasaan jutaan hektar lahan oleh segelintir korporasi termasuk ekosida atau kejahatan terhadap lingkungan. Betapa tidak, lihatlah jumlah korban jiwa yang naik nyaris tiga kali lipat, yakni pada periode 2017 hingga 2018 dari yang semula sebanyak 3,49 juta orang menjadi 9,88 juta orang. Ini bukan statistik belaka, tapi nyawa manusia yang mestinya dimuliakan.
Dampak emisi karbon yang wajib diwaspadai
Yang lebih mengerikan, deforestasi yang tak terkendali itu secara otomatis akan melepas karbon yang selama ini tersimpan di dalam pohon atau lahan gambut. Musnahnya hutan memicu peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gases) yang berdampak pada naiknya kenaikan suhu udara global. Padahal hutan yang sehat dapat menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membantu proses fotosintesis sebagai bahan pangan bagi masyarakat sekitar.
Maka data versi World Resource Institute (WRI) harus kita renungkan sebab Indonesia disebut-sebut menempati peringkat kedelapan sebagai penghasil emisi karbon pada tahun 2018. Bukankah ironis karbon yang Indonesia lepaskan begitu tinggi sementara hutan tropis yang kita miliki begitu luas? Lalu apa dampak emisi karbon terhadap lingkungan, kesehatan, dan perekonomian?
1 | Dampak emisi karbon terhadap lingkungan
Emisi karbon dapat memicu meningkatnya temperatur bumi. Walhasil, potensi curah hujan dan hujan yang lebat atau badai semakin besar sehingga banjir riskan terjadi. Di sisi lain, kebakaran hutan bisa terjadi akibat naiknya gelombang panas (heatwave). Iklim yang tidak menentu juga berpotensi mengganggu binatang-binatang alam terbuka karena mengalami stres.
2 | Dampak emisi karbon terhadap kesehatan
Karbon dioksida yang terjebak di atmosfer akan membuat bumi kian panas dan lama-lama menyebabkan kesehatan manusia terganggu. Menurut kajian U.S. Global Change Research Program yang dilaksanakan tahun 2016, cuaca ekstrem yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim dapat memicu meningkatnya tindakan agresif dan kekerasan domestik.
Masih menurut kajian yang sama, cuaca ekstrem juga dapat menyebabkan naiknya tingkat kematian terutama bagi kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti anak-anak, manula, dan keluarga miskin.
Sedangkan Harvard mengajukan istilah climate anxiety atau eco-anxiety yang merujuk pada kecemasan akibat memikirkan ketidakpastian masa depan sebagai dampak dari ancaman perubahan iklim yang nyata. Perasaan ini dapat memicu munculnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, dan rasa malu, yang pada gilirannya nanti dapat memengaruhi suasana hati, perilaku, dan pemikiran.
Masih menurut Harvard, meningkatnya suhu bumi dapat mengganggu perkembangan kognitif anak-anak dan remaja. Kita tentunya tak ingin masa depan bangsa terancam lantaran generasi penerus tidak bisa fokus belajar akibat cuaca ekstrem yang melanda.
Belum lagi munculnya berbagai penyakit baru yang berevolusi. Selain itu, masalah pernapasan dan kardiovaskuler, juga jenis kanker tertentu dapat terjadi akibat kualitas udara yang terus memburuk.
3 | Dampak emisi karbon terhadap perekonomian
Emisi karbon juga berpengaruh pada aktivitas pertanian, kehutanan, pariwisata dan sektor lainnya. Hal ini disebabkan oleh pola cuaca yang tidak menentu. Cuaca ekstrem lambat laun akan menyebabkan jalanan rusak. Infrastruktur lain seperti jembatan, tiang listrik, dan bangunan tempat umum perlahan mengalami kerusakan.
Dan yang lebih penting adalah menurunnya produksi pertanian yang berdampak pada ketahanan pangan. Kegiatan ekonomi bisa terhambat dan data kematian tinggal menunggu dicatat.
Langkah penting tekan dampak emisi karbon
Dampak emisi karbon sebagai bagian dari perubahan iklim tak bisa dimungkiri. Betul-betul ancaman serius yang bisa menjadi bom waktu jika tak ditangani. Beberapa cara berikut, yang dianjurkan oleh lindungihutan, bisa dilakukan untuk mengatasi dampak-dampak negatif ini.
- Bijak memakai energi: matikan alat-alat elektronik saat tidak digunakan seperti kipas angin, pendingin ruangan (AC), charger ponsel atau laptop, mesin cuci, televisi, dan lainnya.
- Kurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan mengoptimalkan transportasi umum untuk perjalanan jarak jauh.
- Gunakan sepeda atau jalan kaki untuk perjalanan jarak dekat, misalnya ke minimarket.
- Alih-alih fanatik pada produk impor, prioritaskan untuk membeli dari petani setempat untuk memangkas alur distribusi dan membantu memberdayakan ekonomi lokal.

- Manfaatkan tanah kosong di sekitar rumah atau gunakan pot-pot untuk menanam sendiri tanaman pangan demi menekan pengeluaran dan konsumsi produk impor.
- Hindari sifat serakah saat membeli makanan; ambil makanan sesuai kebutuhan dan habiskan apa yang sudah diambil demi mencegah waste food.
- Bawa botol minum atau tumblr sendiri yang bisa diisi ulang saat bepergian.
- Jangan lupa membekali diri dengan kantong belanja saat pergi ke pasar atau minimarket guna menekan konsumsi sampah plastik.
- Pisahkan sampah atau limbah domestik menurut jenisnya: organik dari nonorganik untuk mempermudah pendauran ulang; manfaatkan limbah organik sebagai kompos.
- Jangan boros menggunakan air bersih; bijaklah memakainya sesuai kebutuhan meskipun kita sanggup membayar tagihannya.
- Gunakan ponsel pintar, laptop, atau PC seperlunya, bukan melulu untuk hiburan.
- Tanamlah pohon sebagai ikhtiar agar emisi karbon dan gas rumah kaca kembali terserap.
Tak perlu cara-cara rumit untuk meredam emisi karbon agar tak mengancam jiwa kita. Hal-hal sederhana bisa kita mulai sejak dari rumah. Yang dibutuhkan adalah niat dan tekad untuk berkolaborasi dan #BersamaBergerakBerdaya untuk mencapai efek magnitudo yang berdaya untuk semua.
Belajar dari Cirebon
PR besar yang perlu kita garap adalah membangun kesadaran kolektif agar semua orang peduli pada isu lingkungan sebab kita berada di dalamnya sebagai entitas yang menjadi pelaku sekaligus berpotensi menjadi korban. apa yang kita pahami dan kita lakukan tentang alam sangat menentukan masa depan bumi dan kelestarian ras kita.
Spirit #BersamaBergerakBerdaya dalam mewujudkan lingkungan yang asri dan mendukung berbagai aktivitas harian dengan semangat berkelanjutan, bukan kemenangan atas eksploitasi alam ternyata saya temukan di Cirebon, lebih tepatnya di RW 08 Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti. Pada penghujung 2018 silam, saya berkesempatan mengunjungi kawasan seluas 5,8 hektar tersebut, ditemani Pak Chaidir dan Pak Agus Supriono selaku pengelola dan penggerak.
Saat berkeliling dan bercakap selama sekitar dua jam, saya takjub melihat pekarangan yang asri, penuh dengan vegetasi hijau, termasuk pekarangan mungil di sebelah baperkam (balai pertemuan kampung). Uniknya, RW nan sejuk dan rindang ini bukanlah bagian dari perkampungan, melainkan kompleks perumahan.
Kesadaran kolektif tentang dampak perubahan iklim jelas tertanam pada setiap benak warga RW tersebut. Ini terlihat dari pot-pot mungil atau polybag yang berderet di depan setiap rumah dan menampung beragam tanaman. Walhasil, seluruh lorong dan jalan pun tampak rimbun dan membuat pengunjung seperti saya menjadi betah.
Jalanan RW tersebut seluruhnya ditutup dengan paving block dengan selingan berupa lubang biopori di sana sini dan sesekali saya temukan sejumlah sumur resapan yang manfaatnya di luar dugaan. Sebanyak 118 titik biopori dimanfaatkan sebagai media composting sementara sebagian sumur resapan disulap menjadi kolam lele sehingga lebih produktif sebagai pemasok sumber pangan.
RW yang diketuai Pak Agus itu kondang sebagai Kampung Proklim Merbabu Asih yang telah berdiri sejak tahun 2008. Selain sebagai perwujudan Program Kampung Iklim (ProKlim) yang dicanangkan oleh pemerintah, langkah mereka membentuk Kampung Proklim adalah lantara ada timbunan sampah yang berbau busuk di TPS dekat rumah Pak Chaidir. Apalagi daerah mereka Cirebon selama ini kerap disambangi bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, dan penyakit akibat sanitasi. Sejak menjadi Kampung Proklim, Merbabu Asih pun terbebas dari banjir.
Bahkan sesederhana air hujan pun tak mereka biarkan hilang begitu saja. Curahan air dari langit itu sengaja ditandon dengan dialirkan lewat pipa-pipa khusus agar air hujan turun ke sumur yang telah disiapkan, yang berlokasi di depan masjid, baperkam, dan dua lokasi lainnya. Air ini bukan cuma bisa dipanen, tetapi juga membantu menjaga kualitas bangunan yang ada di sekitarnya agar tetap kokoh dan tidak retak.
“Kuncinya adalah menjelaskan hal-hal kompleks kepada warga dengan bahasa awam,” jawab Pak Agus saat saya desak bagaimana tanggapan warga pada masa awal rain forest harvesting digagas.
Agus Supriono
Optimalkan ajaran agama
Melihat keberhasilan pengelolaan lingkungan di Merbabu Asih, saya spontan tertarik untuk mengulik rahasia kekompakan mereka. Bagaimana kiat menggugah kesadaran warga sehingga mereka bisa proklim-minded, peduli pada isu-isu lingkungan yang selama ini cenerung hanya jadi obrolan akademik.
Pak Agus menjawab bahwa ada tiga poin yang terus gaungkan kepada warga. “Satu, sangat tidak bisa dibantah bahwa kita hidup berada di lingkungan hidup. Kedua, laju pertumbuhan sampah lebih cepat daripada laju pertumbuhan penduduk. Ketiga, hanya orang gila yang tidak mau kampungnya bersih.”
Nah, pesan-pesan positif semacam itu rutin dikomunikasikan dalam pertemuan warga, terutama disampaikan sebagai ajaran moral secara kontinu melalui khotbah Jumat atau acara keagamaan lainnya. Bukan rahasia lagi bahwa Merbabu Asih dihuni oleh pemeluk agama yang berbeda-beda. Bukan hanya Islam, tapi juga Kristen, Buddha, dan Hindu. Semuanya hidup berdampingan dalam kerangka kepedulian lingkungan.

Pak Agus meyakini petuah orang bijak yang menyatakan bahwa ada tiga komponen yang bisa menembus batas ruang dan waktu, yaitu humaniora (nilai-nilai humanisme), pendidikan, dan lingkungan. Dalam hal ini, Pak Agus yang ditunjuk memimpin warga dengan keberagaman agama dan budaya sanggup menggerakkan semuanya dengan filosofi lingkungan.
Ketahanan pangan dalam keterbatasan
Ketahanan pangan juga diwujudkan oleh warga di kompleks Merbabu Asih ini. Walau lahan terbatas, mereka tak kehilangan akal untuk tetap memiliki sumber pangan di perumahan. Kebetulan ada sepetak tanah mungil di seberang baperkam. Lahan seluas 60 m2 ini dimiliki seorang warga yang lantas disepakati untuk dikelola bersama sebagai Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di mana warga bisa bercocok tanam sekaligus mendirikan greenhouse sebagai tempat pembenihan dan pembibitan sebelum ditanam di bagian lahan lainnya.
Bukan hanya greenhouse, sebidang tanah mungil ini juga ditanami bermacam sayuran dan buah yang telah dipanen silih berganti sebanyak 18 kali. Ada bayam, kangkung, pokcoy, daun jeruk, jagung, terung, cabai, pepaya, jambu, dan umbi-umbian bisa dipanen dan dinikmati warga tanpa perlu beli. Tak heran ketika warga di tempat lain mengeluhkan harga cabai yang selangit, maka warga Merbabu Asih malah berlimpahan. Masih di lahan yang sama terdapat kolam yang dibuat dari terpal berukuran sekitar 1×6 meter yang diisi ikan nila pemberian dinas pertanian setempat.
Melihat kiprah warga yang kompak menjaga lingkungan di kawasan Merbabu Asih, kita seolah mendapat resep manjur tentang tindakan nyata yang mesti dilakukan sebagai perwujudan agar bumi berdaya dan pulih lebih kuat akibat perubahan iklim yang tak terhindarkan. Langkah yang mereka tempuh bisa diduplikasi sebagai pola sederhana tapi berdaya guna sebab dikerjakan bersama-sama.
Kebijakan yang pro-lingkungan
Apa yang diperlihatkan oleh warga Merbabu Asih sehingga diganjar sejumlah prestasi, salah satunya apresiasi dari KLHK, adalah model yang tidak hanya dibayangkan tapi nyata bisa diwujudkan. Jika saya punya kesempatan untuk menyusun kebijakan yang bertujuan mengurangi mitigasi risiko perubahan iklim, maka saya pertama-tama akan mewajibkan sekolah-sekolah mengadopsi kurikulum yang membahas kepedulian lingkungan.
Hal ini, misalnya, sudah dipraktikkan oleh SDN Jemurwonosari I/417 Surabaya yang mengajak siswa melakukan mitigasi risiko perubahan iklim dengan dukungan keluarga. Selain memilah sampah dan menyetorkan ke bank sampah, siswa juga dibiasakan meminimalkan penggunaan plastik, dan melakukan pengomposan. Dengan cara seperti ini, anak memiliki memori dan kesadaran untuk senantiasa mewasapadai dampak perubahan iklim.
Sudah bukan masanya isu lingkungan hanya dibahas di bangku akademis seperti perkuliahan atau seminar-seminar dengan pembicara asing tanpa melibatkan partisipasi siswa sejak dini. Siswa perlu diperkenalkan pada perubahan iklim dan dampaknya sejak belia agar bisa mengikuti mitigasi lingkungan dan bencana yang potensial terjadi.
Kebijakan kedua adalah penerapan OTOS alias One Tree One Student. Setiap pendaftaran siswa pada jenjang apa pun, baik pendidikan formal maupun nonformal, siswa yang lolos seleksi harus menyerahkan satu pohon yang bisa disepakati jenisnya. Pohon ini bisa ditanam di lingkungan sekolah selain untuk memasok oksigen juga dinikmati hasilnya.
Kebijakan ketiga adalah pemberlakuan sanksi bagi penduduk yang enggan membatasi penggunaan kendaraan roda empat dalam aktivitas yang tidak mendesak. Sanksinya bisa berupa denda uang atau penghijauan pada kawasan tertentu yang tandus. Bisa dibentuk kelompok pelanggar untuk menuntaskan proyek ini.
Sebaliknya, dalam paket kebijakan yang sama, warga didorong agar menggunakan transportasi publik demi menghemat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan menekan kadar polusi yang berbahaya. Mereka yang memilih bersepeda atau berjalan kaki bisa mendapatkan subsidi, misalnya untuk membeli sepeda kayuh, atau bisa pula apresiasi untuk dikirim tamasya ke tempat tertentu (mungkin luar negeri) untuk memperdalam pengetahuan seputar lingkungan dari praktik dan sharing.
Kebijakan berikutnya yang tak kalah penting adalah mewajibkan mahasiswa untuk merumuskan tugas akhir dengan proyek memulihkan hutan yang mengalami deforestasi parah. Mereka bisa didampingi oleh pakar agar dapat merampungkan proyek tersebut dengan kolaborasi bersama masyarakat adat yang punya khazanah atau kearifan lokal yang mumpuni. Ini adalah bentuk Team Up For Impact yang ideal.
Sekaranglah saatnya #BersamaBergerakBerdaya untuk memulai langkah-langkah nyata #UntukmuBumiku demi menyelamatkan Bumi yang berarti menyelamatkan diri kita sendiri sebagai bagian di dalamnya. Kita bisa bergerak sendirian, tapi bergerak bersamaan akan menghasilkan efek positif yang signifikan.
Nah, mengingat perubahan iklim sudah tak terelakkan, bagaimana #BersamaBergerakBerdaya versi kalian, BBC-Mania? Boleh dong tulis di kolom komentar ya. Setiap ide dan gagasan kecil bakal bermanfaat untuk diwujudkana bersama-sama.
Sumber bacaan:
- Pembangunan Pertanian dalam Islam, Bahagia, IPB Press, Bogor, 2013
- Climate Change: Evidence and Causes, The Royal Society, National Academies Press, e-book, 201
- Humanisme Bisnis, Eka Budianta, Pusoa Swara, Bogor, 2003
- https://prosesweb.bmkg.go.id/wp-content/uploads/REV2023.04.24_Siaran-Pers-Heatwave.pdf
- https://www.who.int/health-topics/heatwaves
- https://www.walhi.or.id/kondisi-lingkungan-hidup-di-indonesia-di-tengah-isu-pemanasan-global
- https://health2016.globalchange.gov/
- https://www.health.harvard.edu/blog/is-climate-change-keeping-you-up-at-night-you-may-have-climate-anxiety-202206132761
- https://lindungihutan.com/blog/emisi-karbon/#rb-apa-itu-emisi-karbon
Waw… luar biasa, Mas. Saya suka postingan ini. Butuh efort yang besar sertinya dlm menulis ini. BTW, isu lingkungan sudah sangat jarang dibahas lagi. Padahal ini selalu penting banget untuk tetap terus digaungkan. Dan dicontohkan. Jadi kitanta harus tetap jadi model juga untuk menjaga lingkungan…. keep posting, mas… 👍
LikeLike
Terima kasih, Mas. Sudah berkenan mampir dan membaca seluruh tulisan ini, semoga dapat menjadi andil kecil utk mendorong agar kita semakin sadar dan peduli lingkungan hidup. Semangat!
LikeLiked by 1 person