Berkat Ekskul Robotika, Sekolah yang Hampir Bubar Bangkit dengan Prestasi Besar

hendro robotika astra

Sepanjang tahun 2019 saya mendapat pengalaman berharga dan sangat mengesankan. Partisipasi dalam Kelas Inspirasi di beberapa kota membuat saya menyadari betapa beberapa sekolah di daerah ternyata mulai kekurangan siswa. Malah bukan kekurangan, melainkan sepi peminat.

Dalam satu kelas yang saya ajar, jarang sekali yang genap 10 siswa. Bahkan ada satu kelas yang hanya berisi 3 anak sehingga mesti digabung dengan kelas lain saat relawan mengajar agar tercipta interaksi lebih maksimal dalam berbagai aktivitas pelajaran.

Sebagai relawan pengajar yang hanya datang sehari sebagai tamu, itu pun saya sudah merasa terpukul dan sangat sedih. Melihat dinding sekolah tidak disandari anak-anak yang bermain, begitu juga dengan bangku-bangku yang tertumpuk di pojok ruangan tanpa siswa yang menggunakan. Sungguh pemandangan memprihatinkan.

Sekolah terancam bubar

Kegundahan itulah yang pernah dirasakan Hendro Yulius Suryo. Pria kelahiran 18 Mei 1985 itu mengenang bahwa tahun 2007 adalah momen yang genting. Betapa tidak karena tempatnya mengajar terancam ditutup oleh Dinas Pendidikan lantaran jumlah muridnya terus merosot.

Kala itu kelas 7 SMP hanya diisi 6 murid, kelas 8 punya 18 siswa, dan kelas 9 sekitar 32. Sungguh angka yang kecil mengingat sekolah ini berada di kota besar kedua setelah Jakarta. Apalagi untuk sekolah besar dan terkenal seperti SMP Islam Al Azhar 13 Surabaya.

Saat itu dia dihadapkan pada tugas berat sebagai guru. Jika tahun ajaran baru pendaftar tidak mencapai 20 siswa, maka sekolah terpaksa akan ditutup. Demi memuluskan rencana ini, para staf pun melakukan banyak hal, termasuk Hendro yang berburu siswa door to door layaknya salesman.

Jumlah murid yang bertambah rupanya tak kunjung menyelesaikan masalah. Segala upaya dilakukan Hendro bahkan ketika ia mendapat mandat sebagai wakil kepala sekolah sejak tahun 2010.

“Kemudian 2011 saya mulai berpikir. Sekolah harus punya branding, kalau enggak punya branding ya akan begini terus. Dan hasilnya juga akan sama,” kata Hendro asal Mojokerto, Jawa Timur.

Saat itulah muncul ide untuk menaikkan pamor sekolah dengan program yang berbeda dan mengesankan. Digagaslah ekskul robotika sebagai school branding dan wadah untuk menggembleng anak-anak dalam memecahkan masalah.

Karena tak punya latar atau pengalaman seputar robotika, maka Hendro menggandeng pelatih dari luar sekolah yang dipastikan kompetensinya. Perjalanan awal belum sesuai harapan, terbukti dari sekian lomba yang masih diwarnai kegagalan.

Dengan semangat baja, Hendro lantas mencari trainer yang lebih kompeten dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) sejak tahun 2012. Perjuangan dan keringatnya perlahan membuahkan hasil.

Dari Surabaya hingga Tiongkok

Tim sekolahnya sukses menyabet gelar pertama dalam perhelatan ITS Expo pada tahun yang sama setelah menampilkan Robot Cleaner alias robot pemungut sampah. Kemenangan bertaraf nasional ini seketika membuncahkan harapan seantero sekolah, tak terkecuali para orangtua dan siswa.

Dari ITS, tim Hendro kemudian merajut kemenangan lain dalam lomba robotika yang digelar di Universitas Airlangga (Unair) pada September 2012. Dari sana sejumlah lomba di beberapa kota pun ditaklukkan, mulai Sidoarjo hingga Bandung.

Puncaknya, Hendro mantap mengirimkan tim robotika sekolahnya untuk mengikuti event internasional pada tahun 2014 yang diadakan di Beijing, Tiongkok. Langkah berani yang terbukti menginspirasi.

Perjalanan panjang ke Negeri Tirai Bambu itu membuat robot penyiram tanaman bernama Loving Plant Robot karya timnya diganjar penghargaan special award dalam ajang tersebut. Eksposur semakin terbentang, termasuk liputan dari awak media yang berdatangan.

Hendro mengakui bahwa anak–anak yang pernah berlaga di kancah dunia jadi punya mentalitas juara. “Mental bertandingnya itu lain, hampir setiap event nasional itu kami mesti juara,” ujar Hendro yang merupakan sarjana pendidikan Fisika dari Unesa. Dari sana problem kesulitan mendapatkan siswa SMP Islam Al Azhar 13 lambat laun terselesaikan.

Hasil memang tidak akan menghianati ikhtiar. Atas jerih payah dan keuletannya memperjuangkan masa depan sekolah, Hendro lantas dipercaya sebagai kepala sekolah SMP Islam Al Azhar 13 Surabaya sejak tahun 2016.

Ingin tularkan kesuksesan

Sejak saat itu ia semakin yakin untuk mem-branding sekolah yang ia pimpin sebagai project-based school. Artinya, Hendro akan mengakomodasi kemampuan atau kecenderungan anak-anak, bukan memaksakan apa yang dikehendaki sekolah. 

Ia sadar sepenuhnya bahwa tidak semua anak cakap dalam matematika atau pandai dalam logika. Ada pula anak yang piawai dalam seni, cerdas dalam hal alam, atau punya kecerdasan linguistik – nah mereka harus pula digarap dan diapresiasi sesuai potensi masing-masing.

AWG Robotic Course tempat menggembleng anak-anak dalam robotika | dok. anggraeni septi

Terdorong untuk menebarkan manfaat lebih luas, Hendro pun memutuskan membuka sekolah robotika. Harapannya, kesuksesannya bersama tim robotika SMP AL Azhar akan menular ke sekolah-sekolah lain di seluruh Indonesia.

Komitmen itu ia wujudkan dengan berdirinya sekolah robotika yang diberi nama AWG (Adicita Wiraya Guna) Robotic Course sejak tahun 2017. Ia berdalih bahwa ekskul robotika di sekolah hanya akan menguntungkan anak-anak Al Azhar. Dengan adanya AWG, sekolah atau komunitas lain akan bisa meraup manfaat serupa.

Hingga tahun 2023 AWG Robotic Course telah mencetak sejumlah prestasi mengagumkan dan memikat setidaknya 20 sekolah lain untuk ikut dikembangkan dari sisi robotika, tidak hanya dari Surabaya, tetapi juga Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Makassar, Palu bahkan Sorong. 

Robot X-Line berkat didikan Hendro Yulius Suryo | Dok. Anggraeni Septi

Buah kerja keras

Optimisme, dedikasi, dan kerja keras Hendro akhirnya membuatnya terbang ke Jakarta untuk menerima penghargaan SATU Indonesia Awards dari PT Astra International, Tbk. Hendro Yulius Suryo dinilai mampu menjuarakan anak-anak dalam meningkatkan literasi, numerasi, keterampilan berpikir, dan teknologi sejak dini.

Ada satu momen yang Hendro ingat sewaktu menghadap para panelis di Jakarta. Saat mempresentasikan karyanya, para juri sempat mengajukan pertanyaan yang cukup menggelitik: mengapa peringkat pendidikan Indonesia selalu di bawah negara-negara lain padahal Hendro selalu berhasil membawa para siswanya sukses jadi juara di tingkat dunia?

“Selama Ujian Nasional itu masih ada, maka Indonesia tidak akan bisa naik kualitas pendidikannya.”

Hendro menjawab dengan penuh keyakinan. Dia beralasan bahwa ujian nasional hanya menggiring anak untuk memilih jawaban yang benar. Baginya, itu tidak melatih anak agar berpikir dan merumuskan pemecahan masalah, tidak juga by project.

Hendro (dua dari kiri) saat menerima SATU Indonesia Awards | Dok. Astra

Menurut hemat Hendro, keterampilan berpikir semacam itu wajib diajarkan dan dilatih sejak dini sebagai bekal bernalar dan fokus pada solusi. Harapannya, anak-anak akan memiliki keterampilan berpikir yang mumpuni dan matang ketika dewasa kelak. 

Itulah yang membuat ekskul robotikanya istimewa, sebagaimana yang ia sampaikan,

 “Kalau di robotik, mereka diberikan permasalahan, maka mereka akan memecahkan permasalahan itu sendiri. Mereka membuat inovasi mereka sendiri, melihat kondisi di lapangan itu masalahnya apa, mereka mencoba memecahkan masalahnya, mencari solusinya kemudian baru membuat alatnya.” 

Dari Hendro kita belajar tentang semangat juang, dedikasi, dan penghargaan terhadap potensi anak. Bahwa sekolah yang minim siswa bisa dicarikan solusi kreatif untuk menarik minat orangtua. Yaitu dengan prestasi membanggakan. Hendro juga mengajarkan gairah berkolaborasi untuk bisa sukses mengoptimalkan bakat anak. Inilah ikhtiar memajukan negeri, lewat kerja keras dan nilai keberlanjutan tanpa menyerah apalagi putus asa.

2 Comments

  1. Hai, Mas Rudi. Gimana kabarnya?

    Btw, ngerasa relate banget dengan ulasan di sini mengenai sulitnya sekolah di pelosok mendapat siswa. Sewaktu mindahin anak-anak kemari, enggak nyangka banget kalau pihak sekolah justru sangat membantu. Aku cukup nyiapin dokumentasi, terutama minta surat pindah dari sekolah asal. Selebihnya diurus sekolah melalui kepala sekolahnya yang wira-wiri ke sana-sini. Belakangan baru tahu kalau ternyata memang kekurangan siswa, dari tahun ke tahun selalu turun jumlahnya. Pantesan.

    Like

    1. alahmdulillah mas, kabar baik. selalu bersyukur hehe. maksudnya pindah ke mana nih? Meninggalkan Pemalangkah? semoga damar dan adiknya dimudahkan….betah di tempat baru

      Like

Tinggalkan jejak