Pernah enggak lihat penjual meminta maaf kepada pembeli? “Ampun, ampun, Bu, belum boleh,” ujar si Mamang suatu pagi di depan TK di Bogor.
Dia menjual legging dengan harga yang cukup murah, tapi seorang ibu hendak menawar cukup sadis. Tak heran dia sampai meminta ampun sebab jelas harga itu tak masuk akal.
Fragmen itu cuma segelintir contoh dari sekian banyak kasus serupa–hanya beda tempat dan komoditas. Di pasar tradisional atau pedagang emperan toko, transaksi dengan negosiasi jadi pemandangan lumrah.
Poinnya bukanlah TIDAK boleh menawar, tapi lakukan dengan kalkulasi yang matang. Timbang-timbang dulu sebelum meletupkan angka kepada penjual.
Sebagai pembeli, saya yakin kita semua makin cerdas: tahu mutu barang, misalnya kain legging apakah sepadan dengan harga yang ditawarkan. Kalau harga dirasa terjangkau dan kita punya uangnya, ya hindari menawar lagi.
Jangan sampai tergoda untuk menawar semata-mata demi sensasi kemenangan sebab telah berhasil menawar. Penjual atau pedagang punya modal, dan tidak semuanya produsen sekaligus. Tak jarang, atau bahkan sering kali, mereka tengkulak dari pelapak lain dengan margin keuntungan yang tipis.
Bukan Sekadar Jamu Murah
Setiap kali mendarat di Stasiun Pasar Turi lalu berjalan ke Halte Pirngadi, saya kerap berpapasan dengan seorang ibu penjaja jamu keliling. Dengan sepeda jengki yang catnya terkelupas dan nyaris tak berwarna, perempuan tangguh ini semangat menggenjot untuk menghampiri calon pembeli demi sesuap nasi.
Segelas Rp2.000 tentu tak perlu ditawar walau bisa juga ditekan lagi dan dia masih untung. Tapi coba ingat, berapa sih penghematan yang kita dapat dengan berhasil menawar dibanding keuntungannya dari segelas jamu itu? Itulah sebabnya dia menambah kerupuk dan snack bungkus lain buat mendongkrak pendapatan.
“Tapi jangan salah, Mas. Jualan jamu kek gitu gede loh untungnya!” bisa jadi komen begini muncul.
“So what?” Memang kenapa kalau dia untung lumayan, toh dia udah usaha dan harga jualnya pun terbilang murah.
Lebih-lebih jamu itu ia ramu dan racik sendiri, tentu perjuangan mengolah dan menyiapkan butuh tenaga dan sumber daya. It won’t hurt us to pay her even higher.
Dilema Pedagang Buku
Jualan buku pun tak lepas dari negosiasi harga. Lagi-lagi, menawar itu boleh dan bukan dosa. Namun, ingatlah pada jenis produk dan kepantasan memberikan penawaran.
Buku-buku yang orang jual bisa berasal dari preloved miliknya sendiri atau dari hasil kulakan. Untuk jenis penjual kedua, coba pikir-pikir lagi sebelum menawar. Kalau harga sudah murah dan kita punya duitnya, belilah tanpa nego. Udah nego, terus enggak jadi. Bukankah menyebalkan?
Kalau harga dirasa ketinggian dan ada peluang menawar, ajukan angka yang masuk akal. Istilahnya: menawar dengan nalar. Kira-kira harganya masuk enggak, sesuai kondisi buku misalnya buku baru/bekas, ketebalan, pamor penulis, cover (soft/hard), kondisi buku keseluruhan dll.
Saya pernah menjumpai pembeli di FB menawar buku bekas dengan margin 50%, itu kan kebangetan kalau ga mau disebut keisengan.
Otomatis penjual tidak merespons sebab buang-buang tenaga. Belum lagi pembeli yang nawar plus minta free ongkir, wahai sadarlah!
Berapa sih untung jualan buku bekas yang bukunya didapat dari kulakan dulu? Lebih-lebih bakulan pemula yang stoknya terbatas dan marginnya mepet sekadar bisa survive di tengah ekonomi yg sedang tiarap.
Gunakan nalar saat menawar. Malah kalau bisa dan ada rezeki–misalnya karena produk itu sangat kita cari (buku langka, dsb.)–jangan ragu menambah harga beli.
Selamat membakul apa saja, jangan menyerah kawan! Ekonomi mungkin ga baik-baik saja, tapi hatimu tetap jagalah.
