Suatu siang di penghujung 2010, saya tak sengaja berjumpa dengan seorang penulis yang tengah menunggu antrean cetak bukunya di sebuah percetakan di kawasan Ciputat. Seiring percakapan bergulir, dia mengisahkan pengalaman uniknya mengajar sastra di sebuah sekolah internasional di Tangerang. Dengan kompensasi cukup besar, dia mengajar dua kali dalam sepekan, tugasnya satu: mengembangkan empati dan kecerdasan emosional siswa lewat karya sastra.
Meningkatnya empati pada akhirnya memang mampu menumbuhkan toleransi, mengurangi prasangka, dan membentuk warga negara yang lebih bijak dan penuh welas asih. Lewat stimulasi imajinasi dan kreativitas, siswa didorong untuk piawai mengenal dan mengolah rasa, salah satunya lewat apresiasi budaya sebagai bekal mengapresiasi keragaman budaya dan tradisi.
Jadi, selain belajar membangun dunia di kepala mereka, mereka juga dilatih untuk berpikir out of the box akibat terpapar pada alur cerita yang tidak terduga atau karakter yang kompleks dalam cerita. Dengan begitu, mereka menjadi pribadi yang lebih teduh dan tidak tergoda menghakimi semata-mata dalam memandang perbedaan. Dalam konteks masa kini, mereka jadi tak gampang termakan hoaks atau kabar palsu yang berpotensi memecah belah bangsa. Semua berawal dari literasi.
Sepenggal fragmen itu mengingatkan saya pada pemandangan menyejukkan suatu pagi pada Oktober 2022. Ditingkahi tiupan seruling dan embusan angin sepoi pegunungan, kambing putih peranakan etawa itu seolah mengikuti irama, bergerak bersama seorang penari yang meliuk-liuk di depan panggung. Penari tampak terhanyut dalam musik, sebagaimana para penonton terlihat asyik menikmati sajian demi sajian pagi itu yang memang sangat unik.
Kebun Sastra Guyub yang terletak di tepi sawah dan pinggir sungai benar-benar telah disulap menjadi ruang publik di mana penduduk bercengkerama dalam nuansa karnaval warga. Selain lomba mancing di sungai, kemeriahan juga tampak di sekitar panggung di mana warga setempat menggelar bazar UMKM dan jajanan lokal, serta lapak Wakul Pustaka yang menjajakan buku untuk dibaca siapa saja.
Suasana riuh dan gayeng terutama lahir dari arah pertunjukan yang menjadi mimbar untuk pembacaan puisi, musikalisasi puisi, musik akustik, tari, dan pentas seni anak-anak. Benar-benar seperti karnaval warga karena warga dengan latar apa pun datang untuk tenggelam dalam kebersamaan yang menyenangkan.
Apresiasi Kearifan Lokal
Acara yang digelar Minggu, 30 Oktober 2022 di Kebun Sastra Guyub Desa Bebengan Boja adalah puncak dari Kendal Novel Award 2022 sebagai bagian dari peringatan Bulan Bahasa tahun 2022. Komunitas Lereng Medini (KLM) menggandeng sejumlah komunitas dan penerbit di Kabupaten Kendal untuk menghelat event ini, yakni Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK), Penerbit Sangkar Arah, dan Jarak Dekat Art Production.
Sebelum penganugerahan penulis novel terbaik, KLM telah mengadakan workshop teater pada 8-9 Oktober 2022 di Rumah Kebun Sastra Guyub, Kec. Boja dan residensi akhir pekan tanggal 29-30 Oktober 2022 di Teras Budaya Prof. Mudjahirin Thohir, di kampung Sabrang Lor, Desa Kutoharjo, Kecamatan Kaliwungu.
“Kami pengin ngopeni dulu kawan-kawan calon penulis atau para penulis di Kendal yang memang kami nilai masih minim ruang berekspresi, apalagi motivasi,” ujar Heri Chandra Santoso selaku ketua Kendal Novel Award 2022 sekaligus koordinator Komunitas Lereng Medini.

Uniknya, pemenang sayembara penulisan novel ini mendapatkan hadiah berupa binatang alih-alih uang puluhan juta atau gawai sebagaimana lomba-lomba pada umumnya. Juara pertama, misalnya, berhak membawa pulang kambing Peranakan Etawa yang diraih oleh Yozar F. Amrullah asal Cepiring dengan karya berjudul Di Antara Kau dan Dia.
Heri menuturkan bahwa sejauh ini kambing memang menjadi ikon penyelenggaraan sayembara. Bagi Heri, hadiah lomba menulis bisa pula mengakomodasi khazanah lokal sesuai daerah masing-masing. Selama ini Kabupaten Kendal memang memiliki Wisata Edupark Peternakan Kambing Etawa, lebih tepatnya berada di Desa Wisata Jungsemi.
Binatang ternak juga diberikan kepada para pemenang lainnya. Sepasang kelinci untuk pemenang kedua, sepasang ayam kampung untuk juara ketiga, dan seekor bebek untuk naskah menarik yang direkomendasikan oleh dewan juri. Keputusan menganugeri pemenang dengan hewan ternak boleh dibilang produktif sebab bisa beranak pinak dan awet ketimbang uang yang mungkin cepat dihabiskan.
Sebagai kelengkapan, para pemenang juga membawa pulang plakat, piagam penghargaan, dan bingkisan dari pendukung acara, dalam hal ini berupa selembar kain batik Kendal Textile dan paket buku dari penerbit di Kendal.
Jika 2022 menjadi tahun sayembara penulisan novel, maka 2023 dikhususkan untuk para penyair atau penulis puisi. Manuskrip puisi berjudul Wanitaku karya Wahyu Indah Puji Lestari akhirnya ditahbiskan sebagai peraih Kendal Puisi Award 2023 dan diganjar seekor kambing peranakan Etawa sebagaimana hadiah dalam pergelaran sebelumnya. Begitu juga untuk tiga juara lainnya.
Kesuksesan penyelenggaraan Kendal Novel Award dan Puisi Award menandai keseriusan Komunitas Lereng Medini yang tak lelah menebarkan virus sastra (dan membaca) kepada khalayak ramai, terutama warga desa sekitar. Pergelaran ini penting sebagai manifestasi terbukanya kesempatan yang luas bagi pencinta sastra di Kendal untuk menyalurkan hobi sesuai genre yang diminati.
“Tiap tahun satu jenis sastra. Tahun ini puisi. Tahun depan rencana naskah lakon/drama,” ujar Heri singkat penuh optimisme.
Berawal dari imajinasi
Embrio KLM bermula dari percakapan tiga orang yang hadir dalam hajatan sastra bertajuk “Parade Obrolan Sastra” yang digelar 3-11 Mei 2008 di Pondok Maos Guyub. Pondok Maos Guyub adalah perpustakaan gratis yang didirikan tahun 2006 oleh Sigit Susanto yang juga moderator milis “Apresiasi Sastra” dan kini berdomisili di Swiss.
Selain Sigit, tentu saja ada Heri Chandra Santoso yang kala itu mengelola Pondok Baca Ajar dan Nurhadi yang merupakan guru sekaligus pegiat komunitas Tetas. Adapaun Pondok Maos Guyub berada di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan, Boja.
“Kami berbincang lesehan perihal perlunya adanya wadah atau ruang bersama untuk saling berbagi ide antarpengunjung perpustakaan Guyub dan pencinta sastra di Boja.” Heri mengingat kembali tujuan pendirian KLM.
Tekad untuk membentuk komunitas pun kian kuat. Komunitas baru tersebut diharapkan akan mewadahi atau memfasilitasi aksi dan kreativitas para para anggota. Komunitas ini akan menjadi ruang bersama untuk menempa diri melalui proses kreatif kepenulisan, baik genre sastra maupun genre umum.
Secara resmi tanggal 3 Agustus 2008 Heri mengundang sejumlah rekan yang dianggap familier dengan aktivitas acara yang diselenggarakan oleh Pondok Maos Guyub dan Pondok Baca Ajar. Mereka yang hadir inilah yang menyusun komposisi generasi pertama anggota KLM.
Lalu, mengapa fokus pada sastra? Bukankah selama ini ada semacam kepercayaan di dalam masyarakat bahwa sastra itu tidak terlalu penting sebab tak bisa membuat orang kenyang. Tidak pula bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi, bahkan di sekolah pun jadi pelajaran kelas dua.

Heri cekatan merespons,
“Ada banyak alasan mengapa kami memilih sastra. Pertama, secara pribadi, saya suka (hobi) mendengarkan dongeng atau membaca cerita (cerpen/novel) yang selalu tersirat lapisan makna di dalamnya. Memori di waktu kecil tak bisa dimungkiri turut memengaruhi saya dalam menyuntuki sastra ketika dewasa.”
Ia menegaskan betapa sandiwara radio yang populer di era 80-an turut mengantarkan imajinasinya ke jagat rekaan yang kemudian ia kenal sebagai sastra. Sejumlah sandiwara yang begitu kuat tertancap di ingatannya antara lain Mantra Naga Bumi, Tutur Tinular, Babad Tanah Leluhur, ataupun Misteri dari Gunung Merapi.
Pengalaman berkesan semasa kecil itu membuatnya berpikir bahwa seandainya lebih banyak orang punya kesempatan mencecap saripati kehidupan dari karya sastra seperti pengalaman batin yang ia rasakan, niscaya mereka akan menemukan semacam cermin (refleksi) bagi diri masing-masing.
“Bisa menjadi manusia seutuhnya. Karena saya melihat, salah satu fungsi sastra adalah memanusiakan manusia,” tuturnya mantap.
Mendadak saya teringat pada pendapat C.S. Lewis pengarang The Chronicles of Narnia yang sangat fenomenal: “Sastra itu mengairi kehidupan kita yang telah berubah menjadi gurun.”
Bukankah kita pernah ditampar dengan data yang dirilis Microsoft tahun 2020 bertajuk Digital Civility Index (DCI)? Temuan itu menyingkap fakta pahit betapa warganet Indonesia disebut-sebut paling tak sopan se-Asia Pasifik. Jangan-jangan mereka yang cerewet di media sosial itu jarang atau malah tidak pernah menyentuh dan menikmati karya sastra sehingga bersikap beringas sebab lupa pada jati dirinya sebagai manusia yang berbudi.

Filsuf dan sastrawan Jerman, Johann Wolfgang von Goethe, bahkan membuat pernyataan lebih mencengangkan tentang kesusasteraan.
“The decline of literature indicates the decline of a nation.” Artinya, martabat atau kemajuan suatu bangsa bisa saja ditentukan oleh tinggi rendahnya gairah pada dunia sastra. Termasuk minat baca dan mengapresiasi karya sastra.
Johann Wolfgang von Goethe
Bersama Sigit Susanto yang kebetulan sama-sama kelahiran Boja Kendal dan menyukai sastra, ia akhirnya sepakat untuk membagikan dan menularkan pengalaman batin seperti itu agar lebih banyak orang berkenalan dengan sastra dan membaca sastra.
Caranya dengan membuka akses pada bacaan melalui pendirian KLM berbasis perpustakaan (Pondok Maos Guyub dan Pondok Baca Ajar) yang sebagian besar koleksinya adalah buku-buku sastra. Selain itu, KLM juga mengaktivasi berbagai ruang dan program kegiatan sehingga perjumpaan publik dengan sastra dan buku semakin terbuka leluasa.
“Jadi, memang tak pernah terpikir motif ekonomi bagi kami ketika menghidupi komunitas sastra ini ya, mengalir saja. Semoga ini menjadi bagian dari laku ibadah bagi Semesta.” Jelaslah bahwa bukan keuntungan ekonomi yang ia kejar.
Ia mengaku mendapatkan kebahagiaan sekaligus keindahan tak terperi berkat membaca karya sastra sehingga pengalaman serupa perlu disebarluaskan. Setiap kali membaca sastra, Heri menemukan imajinasi yang ditenun oleh para pengarang dalam jalinan tokoh, plot, tema, latar dan pesan tersirat di baliknya. “Tidak tahu, setiap membaca karya sastra yang bagus saya begitu takjub.”
Ikon Medini dan program yang menghidupi
Medini yang dipilih sebagai nama komunitas tidak lain adalah sebuah perkebunan di sebelah barat Gunung Ungaran. Semula Heri dan kawan-kawan menggunakan nama Kelompok Penulis Boja. Karena dari sudut mana pun warga Boja dan sekitarnya bisa menatap kegagahan Kebun Medini, maka Medini pun dipilih.

Warga sekitar dianggap telah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan lereng ini. Bagi mereka, Medini adalah monumen hidup yang mengucurkan air dan inspirasi sepanjang hari, maka layak menjadi energi yang menggerakkan sebuah komunitas.
Dan memang betul, akhirnya KLM meniti kegiatan demi kegiatan dengan antusiasme. Pedomannya, program komunitas tak boleh mengganggu aktivitas wajib harian yang dijalani oleh para anggota. Akhirnya mereka menyepakati berkegiatan dua pekan sekali, yakni hari Minggu sore. Momen ini dimanfaatkan untuk berdiskusi bersama tentang karya sastra.

“Sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan,” ujar Heri. Itulah sebabnya seiring waktu berjalan dibentuklah kelompok baca atau Reading Group Novel, yakni kegiatan membaca dan mendalami karya sastra bersama-sama. Targetnya bukan cepat selesai, melainkan menyelami dengan belajar mengapresiasi bersama-sama. Program ini dihelat setiap Sabtu sore dan diikuti belasan siswa mulai SD, SMP, SMA, mahasiswa dan bahkan masyarakat umum.
Selain novel asing karya Ernest Hemingway berjudul The Old Man and the Sea, kelompok baca KLM juga mengkaji novel karya penulis Nusantara, salah satunya Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Untuk mengapresiasi para peserta yang tekun membaca buku, KLM pun menghadirkan Ahmad Tohari dalam Parade Obrolan Sastra ke-4 yang digelar 22 Mei 2011 di Pondok Maos Guyub.
Tak berhenti di situ, KLM juga punya agenda bulanan, yakni bedah karya, bedah buku, dan diskusi. Kendati kegiatan belum rutin dilaksanakan akibat kesibukan para anggota, tetapi mereka setidaknya mampu menerbitkan Buletin Jejak sebagai wadah berkreasi kendati hanya bertahan selama beberapa edisi.
Kegiatan lain yang tak kalah seru misalnya kegiatan Ramadhan, Pesantren Jurnalistik, Marathon Puisi, Pameran Puisi Jalanan, Sastra Sepeda, dan mengundang penulis untuk hadir ke sekolah-sekolah untuk membangkitkan semangat siswa dengan bertemu penulis secara langsung.
Yang tak boleh dilupakan tentu saja Kendal Novel Award, Kendal Puisi Award, dan residensi penulis yang sudah saya singgung di awal tulisan. Kegiata positif ini bukan hanya menempa kreativitas calon penulis muda, tetapi juga memberikan ruang bagi KLM untuk menggalang kolaborasi dengan sejumlah komunitas dan penerbit yang ada di Kabupaten Kendal.
Mengabadikan karya dalam buku
Untuk lebih menyemangati para anggota, KLM mengadakan proyek penerbitan buku yang hingga 2022 telah tercatat belasan buku. Donat untuk Kusno: Antologi Puisi dan Cerpen (2008), dan Kumpulan Catatan Perjalanan Sastra Sepeda di Boja (2009) adalah dua di antaranya.
Seperti namanya, Sastra Sepeda adalah ikhtiar mengajak warga bersepeda untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu. Di sana peserta diminta menuliskan objek yang mereka kunjungi. Tulisan berdasarkan pengalaman inilah yang kemudian diterbitkan tanpa melalui proses penyuntingan.
Heri menuturkan, “Dengan segala keterbatasan, KLM tidak berpretensi mengorbitkan penyair atau cerpenis muda yang kondang di masa mendatang. Tujuan utamanya adalah merangsang pelajar belajar sastra. Prinsipnya: mengenalkan, mengajak, menikmati, dan berkarya.”
Kemah Sastra bersama Eka Kurniawan
Salah satu program unik yang dimiliki KLM adalah Kemah Sastra yang digelar setiap tahun. Menurut Heri, perhelatan seperti ini dimaksudkan sebagai ajang srawung budaya, yakni upaya membangun spiritualisme antarindividu dan komunitas yang terlibat. Lewat kemah sastra di kebin teh, peserta bukan saja menjalin koneksi dengan alam tetapi juga bertemu dengan sesama penulis, lalu bertukar pengalaman terutama dengan penulis mapan tanpa sekat.
Ajang ini bisa memupuk semangat dan motivasi peserta untuk berposes dan bertumbuh bersama-sama dengan belajar sastra berdasar spirit asah-asih-asuh. Tak ada dikotomi penulis pemula atau penulis kawakan sebab semuanya toh tengah menjadi seorang salik yang meniti jalan pencerahan dengan mengobrol santai tanpa jarak.

Kemah Sastra III dengan tema “Misteri Alam dalam Narasi Sastra” boleh jadi menjadi salah satu kegiatan yang paling mengesankan. Suasana begitu gayeng sebab KLM berhasil mengundang sastrawan Eka Kurniawan yang novelnya berjudul Man Tiger (Lelaki Harimau) dilirik juri sebagai nominasi The Man Booker International Prize tahun 2016. Kehadiran Eka memang istimewa lantaran novelnya Lelaki Harimau dan Cantik Itu Luka telah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing.
Dalam kemah yang digelar 12—14 Mei 2017 itu Eka didapuk untuk memotivasi dan berbagi inspirasi dengan peserta melalui materi “Prosa Modern” pada hari pertama. Novelnya yang fenomenal Lelaki Harimau kemudian dibedah dalam tiga bahasa, yakni Indonesia, Inggris, dan Jerman. Kesempatan ini tentu saja memperkaya sudut pandang dan pengalaman batin peserta selama mengikuti Kemah Sastra.
Wakul Pustaka, kearifan lokal di tengah gempuran peranti digital
Secara umum Heri menampik asumsi bahwa minat baca orang Indonesia itu rendah. Menurut Heri, yang terjadi adalah ketidaktahuan orang tentang minat dan potensi dirinya masing-masing, bukan minat baca yang rendah.
“’Setelah orang-orang tahu apa hal-hal yang jadi minatnya, maka mau tidak mau mereka pasti akan mencari semua informasi terkait apa yang jadi minatnya itu,” kata Heri tegas. Minat baca selama ini disumsikan rendah boleh jadi lantaran akses pada bacaan yang tidak memadai.
Itulah sebabnya KLM menggagas gerakan Wakul Pustaka. Konsep pustaka bergerak semacam ini adalah menjemput bola, yakni menyambangi masyarakat dengan buku bacaan dengan tujuan meningkatkan literasi lewat akses yang lebih mudah. Konsep serupa juga dipraktikkan oleh Kuda Pustaka di Gunung Slamet, Noken Pustaka di Papua, Motor Pustaka di Lampung, dan Perahu Pustaka di Makassar.

Wakul dipilih sebab dekat dengan warga Kendal yang merupakan orang Jawa. Wakul adalah bakul nasi yang menjadi alat multifungsi di rumah-rumah pedesaan, mulai dari menyimpan sayur, buah, jajanan tradisional dan tentu saja nasi yang sudah matang. Keberadaan wakul kini mulai terpinggirkan seiring warga desa beralih ke rice cooker dan magic jar alih-alih mengaron lalu menampungnya di bakul.
Tanpa sadar nilai-nilai kearifan lokal mulai tergerus dan lama-lama bisa saja terlupakan. “Ibaratnya, wakule ngglimpang, seperti halnya petani yang kian tersisih akibat gempuran pembangunan yang merangsek ke lahan-lahan pertanian,” kata Heri serius.
Dengan meletakkan buku bacaan di dalam bakul, Heri dan KLM berharap agar simbol kearifan tidak terlupakan, bahkan boleh dibilang menjadi simbol perlawanan terhadap perangkat canggih di tengah budaya yang serbadigital. Bahwa ada hal-hal yang tak bisa atau tak perlu digantikan.

Seperti bunyi salah satu pesan di atas meja, “Di Piring Ada Gizi, Di Buku Ada Ilmu,” pengunjung warung makan atau toko lentong bisa tergugah tentang pentingnya asupan gizi berupa ilmu pengetahuan melalui buku bacaan, jadi tidak melulu mengutamakan asupan fisik agar perut kenyang.
Sambil mengantre atau menunggu dilayani, pembeli bisa membaca buku alih-alih mengakses gawai yang kadang malah bikin suntuk. Dengan slogan, “Daripada menunggu atau main HP, mari baca buku!” KLM mengambil buku lama dan memasok dengan buku bacaan lain dalam sekian pekan.
Hambatan dan harapan
Mengenai hambatan, menurut Heri, regenerasi menjadi salah satu kendalanya. Saat ini KLM mencoba berkompromi dengan berapa pun orang yang mau terlibat.
“Yang bisa kami lakukan kemudian adalah kami bersiasat dan berkompromi.”
Itulah sebabnya ia menggandeng komunitas lain untuk mendukung gerakan dan setiap program. Mulai Kemah Sastra I-IV (2015-2018) hingga Kendal Novel Award 2022 dan Kendal Puisi Award 2023, KLM telah berkolaborasi dengan kalangan mahasiswa juga komunitas sastra dan seni di Kendal.

Hambatan lainnya adalah kian masifnya gempuran televisi yang masuk di rumah-rumah keluarga dan perkembangan gawai. Tak bisa dimungkiri, kehadiran gawai di tangan dengan kemajuan teknologi digital yang semakin mengagumkan tak ayal jadi tantangan tersendiri untuk mendekatkan literasi—terutama kenikmatan bersastra.
“Namun, kami sadar diri dan sadar posisi. Sastra belum menjadi isu vital bagi masyarakat. Revolusi masih seputar perut. Untuk itu, kami pun tak pernah berespektasi yang lebih.”
Dengan pendanaan mandiri lewat gotong-royong dan penjualan buku, Heri mensyukuri perjalanan KLM yang telah mengarungi masa 15 tahun dengan dukungan berbagai pihak. Lagi-lagi ia tak muluk-muluk dan bermimpi. Jika semakin banyak masyarakat membaca buku, termasuk sastra, itu sudah jadi kegembiraan istimewa, terutama anak-anak di kampung yang kian banyak mengenal puisi atau dongeng.
“Secara alamiah kami ingin mengenalkan ke publik bahwa ada hal lain yang tak kalah penting, selain pangan, sandang, dan papan, yakni sastra. Jika sandang, pangan, dan papan adalah untuk memenuhi kebutuhan lahiriah, maka sastra memenuhi aspek spiritual dan batiniah.”
Lebih lanjut Heri mengutip ucapan sastrawan multitalenta Remy Sylado, bahwa yang membedakan manusia dan hewan adalah bahwa hewan tak mengenal sastra. Jadi kembali pada perbincangan di awal tulisan, sastra sebenarnya kita butuhkan, yaitu untuk mengairi kegersangan jiwa, membentuk kepribadian, dan bahkan meninggikan harkat bangsa seperti perdapat Goethe.
Menorehkan toleransi lewat sastra
Melihat kondisi Indonesia saat ini ketika intoleransi begitu masif, lebih-lebih di tengah derasnya arus informasi terutama di media sosial, saya pun tergoda untuk bertanya: bagaimana andil KLM dalam hal ini? Heri mengaku bahwa posisi KLM tentunya ikut ambil bagian dalam membangun kesadaran pada diri anggota dan masyarakat.

“Bahwa kita sebagai bangsa yang majemuk dan plural mesti menjunjung tinggi perbedaan.” Heri menambahkan, “Komunitas kami sesungguhnya bukan komunitas moral. Yang kami lakukan sebatas konteks internal pada anggota saja, dengan saling mengingatkan satu sama lain. Hidup di dunia saat ini, godaannya tak mudah. Semoga kita tak terjerumus ke hal-hal yang negatif,” imbuhnya.
Baginya, KLM tetap berkomitmen dalam setiap kegiatan dan program. Target jangka pendek, ia ingin bisa terus menyediakan ruang bagi anak-anak kampung untuk belajar sastra dan mengakses bacaan yang bermutu, apa pun bentuknya. Sedangkan target jangka panjang, semoga KLM bisa punya andil bagi terciptanya peradaban di masa mendatang yang lebih baik.
Optimismenya tecermin dalam bait lagu Indonesia Raya yang ia kutip, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya….untuk Indonesia Raya!”
Heri menguraikan, “Nah, peran sastra sesungguhnya membangun jiwa-jiwa masyarakat Indonesia. Jiwa dulu, baru badan. Peran sastra dalam meletakkan fondasi peradaban bangsa sangat penting. Melalui karya sastra, seseorang tidak hanya mengembangkan imajinasi yang bisa digunakan untuk membangun bangsa, tetapi juga sebagai media untuk mewariskan nilai adiluhung bangsa kepada generasi muda. Ini harapannya yang ke depan dapat membentuk jati diri bangsa Indonesia.”

Tekad, semangat, dan konsistensi Heri memang inspiratif—bisa terus berkiprah hingga nyaris dua dasawarsa. Tak heran jika tahun 2011 PT Astra International, Tbk menganugerahinya SATU Indonesia Awards atas jasanya yang telah membumikan sastra dari desa dan terus menghidupkannya sebagai komponen penting dalma kemajuan bangsa.
“Saya optimistis, selama tetap ada kesadaran bersama untuk memuliakan buku-buku, meningkatkan budaya baca dan literasi, maka masa depan Indonesia akan masih baik-baik saja,” pungkasnya tanpa keraguan.
Heri Chandra Santoso
Dari Heri kita belajar bahwa literasi yang digembleng lewat kecintaan pada dunia sastra telah menghidupkan jiwa-jiwa muda untuk terus bertumbuh dan berkembang guna memajukan negeri dengan caranya sendiri; lewat gairah membaca dan semangat berkarya juga berkolaborasi demi terajutnya toleransi yang melandasi kekokohan Indonesia. Dari desa di Boja, Heri memanfaatkan sastra untuk menyatukan gerak agar terus berdampak dalam bingkai #KitaSATUIndonesia.


1 Comment