Nyaris: 5 Meter dari Lesatan Gir!

Beberapa jam yang lalu, ketika kami berada dalam perjalanan pulang dari Depok ke Bogor setelah saya menjalani terapi akupunktur, sejumlah anak SMP/SMA terlihat tengah terlibat dalam sebuah tawuran. Sekelompok anak sekolah menengah yang masih berseragam tengah berada di atas sebuah bak truk kosong. Sementara itu sejumlah anak lainnya tampak mengejar mereka dengan ikut menaiki truk yang sama. Kelompok pertama akhirnya turun dari truk satu per satu—ada yang sengaja menghampiri para penyerang dengan tujuan membalas, ada pula yang spontan kabur menyelamatkan diri. Semua pengguna jalan, termasuk saya, segera menghentikan kendaraan masing-masing di tengah jalan. Jujur saya juga didera ketakutan karena saya membawa istri dan anak saya yang masih balita.

Kira-kira lima meter dari motor saya terlihat seorang anak yang melemparkan sebuah gir besi yang telah diikatkan pada sebuah tali. Untungnya anak yang menjadi sasaran gir itu cepat bergerak dan gesit menghindar. Lemparannya meleset, hanya menghantam udara kosong dan akhirnya terpelanting di atas aspal. Istri saya tak henti-henti memohon agar saya cepat memacu kendaraan dan menghindar dari keributan tersebut. Saya terus terang saja ingin tahu mengapa mereka sampai terlibat perbuatan demikian. Namun saya memilih mematuhi permintaan istri untuk melanjutkan perjalanan. Tawuran memang sempat terhenti saat orang-orang dari pinggir jalan mulai berteriak ke arah anak-anak yang tawuran itu. Sambil memacu motor, saya masih bisa mencuri pandang pada anak yang tertangkap oleh warga dan mungkin akan akan diinterogasi atau bahkan diserahkan ke pihak berwajib.

Sebagai orang yang pernah (dan masih suka) mengajar, saya cukup penasaran tentang motivasi dan tujuan mereka ‘menyempatkan’ diri untuk tawuran. Saya lirih berseloroh, “Mengapa mereka jadi tak terkendali dan beringas kayak gitu ya?” Ternyata istri saya mendengar gumam saya dan seketika itu menimpali, “Jangan buru-buru menyalahkan mereka. Boleh jadi mereka berperilaku begitu ada sebabnya.” Sambil memacu motor, saya menyergah, “Misalnya?” “Mungkin mereka sekadar cari perhatian dari orang tua yang abai terhadap mereka. Atau bisa juga mereka tak punya kegiatan menarik lalu hanya ikut-ikutan teman yang lain bertawuran ria.”

Mungkin saja benar, atau bisa jadi salah. Yang jelas, sesampai di rumah saya mendadak teringat isi buku karya James Lee Valentine. Dalam bagian pendahuluan buku tersebut, James berpesan kepada orang tua. Paragraf itu berbunyi:

Tidak ada bayi laki-laki dilahirkan sebagai seorang kriminal atau pemukul istri, demikian pula, tak ada bayi laki-laki dilahirkan sebagai juara Olimpiade atau pemimpin bisnis. Tidak ada bayi perempuan dilahirkan sebagai seorang tunasusila atau penyalahguna obat-obatan, demikian pula, tak ada bayi perempuan dilahirkan sebagai artis atau panutan masyarakat. Tak seorang pun dilahirkan ke dunia ini sebagai si baik atau si buruk.

Menjadi apa seorang anak kelak merupakan hasil pembelajaran tingkah laku yang sebagian besar dipelajari dari orang tua.

Mencermati pembukaan buku James tersebut, sekali lagi saya jadi paham akan ungkapan children see, children do seperti yang pernah saya singgung dalam sebuah tulisan di blog ini. Dalam bagian lain, James mengingatkan akan tanggung jawab orang tua untuk mengajari anak-anak mereka dasar-dasar karakter yang kuat. Dan hal ini dimulai ketika orang tua mampu menunjukkan rasa hormat pada anak-anak. Ia menawarkan 10 cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada anak-anak sebagai berikut.

1. Panggil anak-anak dengan nama mereka sebenarnya—bukan dengan julukan “idiot”, atau “bodoh”, atau “malas”, atau label-label yang merendahkan lainnya.
2. Jelaskan dengan sikap dewasa bahwa tingkah laku atau tindakan anak salah.
3. Jangan memarahi anak di depan orang lain—disiplin merupakan urusan pribadi.
4. Usahakan untuk memuji anak di depan orang lain—pujian seharusnya dilakukan di depan umum.
5. Jangan, jangan, jangan pernah memukul anak!
6. Jangan pernah menyiksa anak, baik secara fisik maupun mental!
7. Gunakan bahasa yang sopan saat berbicara dengan anak-anak—bersikaplah sopan.
8. Asuh anak Anda dalam suasana diskusi yang hidup, di mana mereka didorong untuk mengajukan pertanyaan sulit.
9. Seringlah mengucapkan kepada anak-anak Anda bahwa Anda mencintai mereka.
10. Peluk anak Anda…hari ini juga!

Mungkin lebih mudah diucapkan (dan dituliskan) daripada dikerjakan. Tapi berusaha tentu akan membuahkan hasil. Dan menutup postingan kali ini, ijinkan saya menyitir perkataan Ayah Edy dalam sebuah program di SMART FM dua malam yang telah lewat. Dia menyatakan bahwa kebanyakan orang tua lupa untuk memuji anaknya ketika si anak berbuat atau bersikap baik, seremeh apa pun. Sebaliknya, orang tua cenderung reaktif dan meledak baru ketika anak-anak berbuat kesalahan. Misalnya, ketika si kakak membuat adiknya menangis karena rebutan mainan, orang tua akan spontan memarahi si kakak. Sementara ketika si kakak dan si adik sama-sama rukun dan mau berbagi mainan, orang tua lupa memuji. Makanya si anak kemudian mencari perhatian dengan pecahnya tangisan salah satu di antara mereka.

Apa kaitan paparan ini dengan kasus tawuran yang begitu menggetarkan sore tadi? Bisa jadi ada, atau mungkin tak ada. Tapi penting diingat dan perlu menjadi catatan mental kita semua yang kebetulan berperan sebagai orang tua, bahwa anak-anak datang dalam keadaan bersih lalu kita warnai dengan bantuan kuas sesuai keinginan kita. Masalahnya adalah: sadarkah kita akan kuas apa dan warna seperti apa yang kita sapukan pada kanvas hati mereka yang suci? Saya juga punya pertanyaan yang sama pada diri sendiri. Maka suatu hari, jika Anda tengah berkendara dan tiba-tiba ada suara lentingan senjata tajam atau lesatan gir sepeda yang membabi-buta dari anak-anak sekolah menengah, kita sepakat bahwa ada yang belum selesai dalam diri mereka, dan kita setuju bahwa kita akan bersama-sama mencari jawaban atas pertanyaan yang sama.

bcmosh.deviantart.com

17 Comments

  1. serem banget walank hampir terjebak di tengah2 tawuran anak sekolah…

    orangtua bertanggungjawab membentuk anaknya ya… tapi pengaruh lingkungan ternyata kuat juga..

    krn masalah ini, aku pernah kepikiran anakku dimasukkan ke homeschooling,, tapi masalah sosialisasinya gimana yah? mnrt walank gimana?

    Like

    1. Lyliana: Betul2. Isriku sampe gemetaran karena anak2 itu semakin liar. Ya, betul selain pembentukan karkater yang kuat dari rumah, lingkungan juga punya pengaruh yang tak kalah kuat. Namun tentu saja kita ga bisa jauhkan anak2 100% dari lingkungannya kan, sebab suatu saat pasti ada waktu di mana ia harus berada di lingkungan ‘asing’ selain keluarga tanpa dampingan orang tuanya. Oleh karena itu, meman paling awal adalah fondasi nilai dari keluarga dikuatkan, sehingga ketika anak memasuki dunia sosial lain semoga ia punya filter atau perisai dasar. Mungkin begitu. Tentang minat homeschooling, menurutku sih bagus2 aja. Ada kok temen yg anaknya ikut program homeschooling, tapi tetep bs sosialisasi. Yakni ia diikutkan les, kursus, komunitas hobi atau liburan sekolah bersama anak-anak lain setiap akhir semester. Tapi itu kan juga lingkungan baru toh? Jadi memang kembali ke penanaman karakter di rumah yg bs jd bekal sblm memasuki ruang sosial yang lain. (Sori kok jd sok tahu dan ngelantur gini 🙂 Btw, trima kasih sudah mampir ya.

      Like

  2. Copas dari broadcat message teman
    Puisi Dorothea : jika anak dibesarkan dgn celaan, maka ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dgn permusuhan, maka ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dgn cemoohan, maka ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dgn penghinaan, maka ia belajar menyesali diri.
    Sebaliknya, jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dgn pujian, maka ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dgn sebaik-baiknya perlakuan, maka ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar menaruh perhatian. Jika anak dibesarkan dgn dukungan, maka ia belajar menyayangi dirinya sndiri. Jika anak dibesarkan dgn kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan belajar menemukan cinta dalam kehidupannya
    Barusan jg nonton drama di DAAItv ttg seorang anak yg patuh sm ortunya dr kecil smpe dwasa tp suatu wktu saat nasib tdk brpihak ia jd menyalahkan ortunya atas ktdkbruntungan nasibnya (dlm hal ini dicontohkan ia dijodohkan oleh ortunya tp saat 7 th prnikahan suaminya mninggal) dan itu anak bilang gini “nasib saya bukan di tangan Tuhan, tp di tangan kalian” smoga kita tdk mnjadi ortu yg egois yg selalu mengabaikan suara/hak anak.. Wallahualam

    Like

    1. Setuju bu Guru, orang tua memang kerap dihadapkan pada hal-hal yang ambivalens antara memilihkan sesuatu demi kebaikan anak dan pada saat yang sama kadang hal itu menyakiti sekaligus mengabaikan pilihan anak. Makanya orang tua harus terus belajar dan update informasi, mengikuti perkembangan dan dinamika anak2 modern. Btw, kutipan puisi Dorothy Low Nolty ini udah pernah kuangkut di sebuah tulisan di blog ini. Tapi bagus juga buat terus mengingatkan orang tua dan para guru! Terima kasih untuk petikan kisahnya 🙂

      Like

  3. Mas Belalang… Saya juga pernah ada dlm situasi tawuran. Bukan antar pelajar tapi antar kampung. Waktu itu saya sedang hamil 8 bln anak pertama dan msh tinggal di daerah cengkareng.
    Malam2 laper mau cari nasi goreng. Sdg jln keluar gang tau2 dr arah berlawanan berlarian org membawa batu dan tongkat balok. Batu2nya dilempar tak tentu arah. Saya dan suami tentu saja panik. Krn mrk berlari kearah kami dgn brutalnya. Suami akhirnya menggedor pintu rmh tetangga yg mau membukakan pintu. Sb warga sendiri sdh pada ketakutan. Wktu itu betul2 mencekam rasanya.

    Memang byk faktor yg menyebabkan mrk bisa berbuat sebrutal itu. Akan panjang kalau diurutkan dan mgkn akan saling menyalahkan. Skrg ini sebaiknya kita rengkuh anak2 kita sendiri. Limpahkan perhatian dan kasih sayang kpd mereka. Tanamkan keimanan dalam hati mrk. Spy mereka mempunyai filter akan pengaruh dr luar.

    Like

    1. Wah itu lebih mengerikan ya Bunda. Massa yang kalap bisa sangat mengejutkan tindakannya. Syukurlah ada warga yang mau membuka pintunya. Bukan karena disogok pake semur jengkie kan Bunda?

      Betul, betul, Bunda. Banyak sekali pihak yang harus dilibatkan kalau mau sampe ke akar masalah. Tapi yang jelas, orang tua/keluarga memiliki peran yang sangat penting untuk menyiapkan anak2 sebelum terjun ke dalam masyarakat sosial yang lebih luas. Mudah2an kita diberi kesabaran dan kekuatan untuk bisa istiqamah mendidik mereka. 😀

      Like

  4. sedih kalau melihat kenyataan seperti ini, dan benar memang tidak ada anak yang terlahir beringas. Dalam pertumbuhannya mereka bisa menjadi begini kala tidak ada tauladan orang tua, rumah hambar terasa, dan pergaulan yang salah 🙂

    Like

    1. Kang Achoey, sama. Saya juga prihatin. Apalagi di daerah Warung Jambu itu sering banget terjadi tawuran anak-anak sekolah. Entah sudah digagas langkah2 preventif belum oleh dinas terkait. Kalau mengandalkan polisi atau pihak keamanan saja, rasanya masalah tidak akan terselesaikan ke akarnya. Harus dimulai dari komunikasi anak, orang tua dan guru. Semoga Bogor aman selalu 🙂

      Like

    1. Ya betul. syukur alhamdulillah. Semoga anak2 itu segera dapat kesibukan lain yang lebih positif dan bermanfaat. Moga guru2 mereka jd lebih peduli…Terima kasih sudah berkunjung 🙂

      Like

  5. ngeri jg ya..Alhamdulillah ga ada kejadian serius ya mas.
    tapi mmg prilaku anak tergantung pola asuh ortu ya…semoga anak2 kita terhindar dr karakter2 pemberontak spt cerita di atas

    Like

    1. Mengerikan sangat, Mi. Semoga kita diberi kekuatan untuk mendidik anak2 dengan baik ya. Dan paling penting bisa menunjukkan teladan yg baik..Salam untuk Ra, Di dan Al 😀

      Like

Tinggalkan jejak