Misteri Selembar Foto (2)

“Saya pernah beberapa kali pindah divisi, Pak. Awalnya saya tergabung dalam tim penulisan naskah. Dua tahun kemudian saya pindah ke bagian produksi. Saya bertahan tiga tahun hingga akhirnya masuk ke divisi humas. Dan dua tahun terakhir saya lebih banyak menangani masalah periklanan.”

“Iklan?” sergah d’Conckon.

“Betul, Pak. Tugas saya mencari iklan yang akan mendukung kesuksesan setiap pementasan.”

“Hmm…” d’Conckon terdiam sejenak. “Anda menguasai tari kontemporer?”

“Saya pernah mempelajarinya, Pak. Tapi saya rasa saya tidak terlalu ahli soal itu.”

Anda pernah terlibat sebagai pemain dalam pementasan Wayang Orang BlogCamp Budhoyo?”

“Pernah, Pak. Saya pernah memerankan tokoh Buto Cakil sekali,” jawab Jembar dengan mata sayu.

“Sekali ya?”

“Uhm, e..sebenarnya saya membawakan karakter Buto Cakil dua kali. Tapi penampilan yang lumayan hanya pentas yang pertama. Kesempatan kedua tak kalah menyedihkan.”

“Bagaimana hubungan Anda dengan Mudhoiso?”

“Kami…..”

Jawaban Jembar mendadak tak jelas sesaat setelah anak buah d’Conckon masuk dan membisikinya sesuatu. d’Conckon tampak terperanjat. Saat anak buahnya beranjak meninggalkan ruangan, dengan gesit Jembar merebut pistol dari pinggang bintara yang masih jomblo itu. d’Conckon coba menahan gerakan Jembar, namun tangan sarjana tari ini ternyata lumayan cekatan meraih senjata api yang kini siap diletuskan.

“Angkat tangan!” sergah Jembar singkat. d’Conckon tak punya pilihan selain mengikuti ucapan Jembar. “Jangan berbuat bodoh. Angkat tangan!!!” tegas Jembar sambil menodongkan pistol tepat di depan hidung d’Conckon.

“Tenang, Mas. Tolong tenang. Semua bisa kita bicarakan baik-baik.” Jelaslah d’Conckon coba meredakan ketegangan.

“Berbalik! Dan jangan macam-macam. Atau terpaksa saya tarik pelatuk ini.” Entah mengapa Jembar seolah dikuasai kemarahan yang memuncak.

Sejurus kemudian d’Conckon sudah berada dalam sandera Jembar. Ujung senapan menempel erat di pelipis sang Aiptu jempolan. Dingin besi pistol seolah membekukan pikiran d’Conckon. Ayo berpikir. Ayo berpikir. Begitu gumam d’Conckon dalam hati.

“Jangan ada yang bergerak! Saya tidak main-main.” Mata Jembar nyalang menyapu pandangan semua orang yang ada di ruangan itu. Langkahnya cepat namun hati-hati. Tak satu pun anggota yang berani mengambil tindakan. Mereka paham bahwa d’Conckon adalah polisi andal. Maka mereka tak ingin gegabah menghadapi Jembar yang tampak tengah kerasukan setan.
Saat pintu depan terbuka, dan Jembar tampak lengah, d’Conckon tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengayunkan kepalanya dengan cepat dan menghantam lengan Jembar sekeras-kerasnya. Senjata api pun terpelanting ke lantai. Bintara yang lahir di Paris ini memang terkenal jago bela diri. Dari karate hingga kungfu pernah ia pelajari. Dan ia kuasai dengan mumpuni.

Begitu pistol terjatuh, d’Conckon sigap menendangnya ke pojok ruangan. Jembar yang terhuyung akibat serangan d’Conckon terduduk lemas. Ketika sang Aiptu mendekat dan hendak menangkapnya, Jembar bangkit dan meliukkan badan sehingga luput dri cengkeraman d’Conckon. Jembar lantas membuka pintu dan mempercepat langkah menuju sebuah mobil silver yang datang seketika. d’Conckon melesat mengejarnya, tapi mobil mewah itu telah melaju dengan kecepatan iblis. D’Conckon termangu sambil melepaskan pukulan ke udara. “Hampir saja!”

***

Rumah Inspektur Suzana dipenuhi satuan polisi yang bergerak hilir-mudik. Bunyi sirene ambulans meraung-raung seolah menjeritkan luka yang tak terperi. Gelegar halilintar sesekali mengisi kekosongan. Air bersih terus berhamburan dari langit. Udara dingin spontan menerpa kulit. Namun semua anggota tak beringsut untuk berjaga di rumah sang inspektur.
“Mungkinkah ada kaitan dengan kasus yang kita tangani?” ujar d’Conckon kepada atasannya.

Inspektur jelita itu menghela napas. Lalu menjawab, “Semua mungkin punya kaitan. Tapi baru kali ini seseorang datang ke rumah dan menyerangku.”

“Berapa…?”

“Ada dua orang. Keduanya memakai topeng seperti ninja,” jawab Suzana seolah sudah paham maksud d’Conckon.

“Anda perlu dibawa ke rumah sakit, Inspektur?”

“Mereka akan kembali ke sini. Siagakan pasukan untuk menyergap.”

“Bagaimana Anda bisa yakin?”

“Mereka tengah mencari sesuatu. Dan mereka belum menemukannya.”

Tanpa bertanya lagi, d’Conckon segera memberi komando kepada bawahannya untuk menempati posisi masing-masing. Sang inspektur lalu berjalan ke sebuah kamar ditemani seorang asisten rumah tangga. Paramedis telah berkemas dan kembali ke pangkalan. Bunyi sirene ambulans lambat laun punah ditelan petir dan guruh yang cetar membahana. Untunglah badai tak sampai melanda.

***

“Sial, mengapa kita bisa gagal?” jawab seorang lelaki bertopeng.

“Kita pasti dimarahi bos atas kegagalan ini. Payah!” ujar lelaki bertopeng yang lain.

Tak lama kemudian, sebuah mobil berdecit di sebuah garasi rumah yang besar. Derum mesin terdengar halus, lalu suara langkah kaki semakin jelas mendekati kedua lelaki bertopeng itu.

“Bagaimana?”

“Maaf, Bos. Kami…”

“Diam. Dasar ga becus! Dari awal aku sudah meragukan kerja kalian.”

“Gimana dengan bayaran…?”

“Dasar mata duitan! Duit saja yang kalian pikirkan. Budheng dan Ogleng, huh! Nama kalian saja sudah tak meyakinkan. Harusnya aku tahu sejak awal. Membereskan pekerjaan kecil saja tak becus.”

Ketika ketegangan meruap di ruangan tempat mereka bercakap, suasana tiba-tiba menjadi sunyi. Sangat senyap. Padahal siang hari rumah itu tak pernah begitu sepi. Mereka lalu merapat ke pintu dan jendela. Saat tirai disingkap, terlihat puluhan polisi berseragam hitam bergerak dengan cepat. Masing-masing memegang senapan laras panjang. Wajah mereka tak terlihat karena tertutup oleh kain hitam. Gerakan mereka gesit. Pastilah mereka pasukan andalan dari kepolisian.

“Ku pikir mobil kita sudah sangat cepat dan tak meninggalkan jejak. Sial!”

Rumah itu pun terkepung. Keempat orang yang ada di dalamnya berhasil diringkus dan dilumpuhkan. Tak seorang pun hendak mengadakan perlawanan. Jumlah personel yang datang jauh melebihi mereka. Mereka pasrah saat digelandang ke atas mobil dengan kedua tangan diborgol. Aiptu d’Conckon tersenyum puas.

***

“Saya tak ….” (BERSAMBUNG ke bagian 3)

3 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s