CineUs: Harga Sebuah Mimpi dan Sekeping Gengsi yang Melukai

Judul: CineUs
Penulis: Evi Sri Rezeki
ISBN: 978-602-7816-56-5
Penerbit: teen@noura
Penyunting: Dellafirayama
Perancang Sampul: Fahmi Ilmansyah
Layout isi: Nurul M. Janna
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Agustus 2013
Harga: Rp48.500
Tebal: xvi + 288

ribbon2
Bermimpi dan bernapas
Rasanya kita sepakat bahwa bermimpi sama pentingnya dengan bernapas. Mimpi di sini tentu saja bukan mimpi yang membuai kita dalam tidur lelap, melainkan mimpi yang kita pupuk dan pelihara dengan butir-butir semangat. Jika bernapas menyuplai oksigen agar tubuh kita bugar dengan metabolisme yang prima, maka mimpi menjadi energi untuk mendorong kita agar selalu bergerak menuju titik kehidupan yang lebih baik.Mimpi membuka banyak peluang dan kemungkinan bagi manusia. Mimpi pula yang mengantarkan manusia pada puncak-puncak inovasi yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Maka tak heran bila Lelatu Namira, atau Lena, tak pernah rela membiarkan mimpinya padam sekalipun hanya karena seberkas angin yang berembus. Demikian mahalnya sebuah mimpi sehingga Lena dan anggota klubnya merancang banyak langkah dan gebrakan agar impian mereka menjadi sineas terwujud. Perjuangan meraih mimpi berjalan begitu menarik, penuh drama, begitu dinamis, dan bahkan filmis, apalagi karena pencapaian mimpi (Lena) ditenagai oleh sekeping gengsi.

Perjanjian rahasia

lossangelesmystery.com
lossangelesmystery.com

Berlabel teenlit dan menjadi karya pembuka dalam jajaran S-Club Series, novel CineUs memotret cikal bakal sebuah klub ekskul yang cukup unik yakni klub film. Evi menghadirkan Klub Film yang digawangi Lena, Dania, dan Dion. Di balik usaha mendongkrak popularitas klub, diam-diam Lena ternyata menyepakati perjanjian rahasia dengan Adit sang mantan; sebuah keputusan yang dilematis bagi Lena. Bila taruhan itu ia tolak, maka Adit akan semakin sombong dan kian merendahkan Lena sebagai ‘cewek sampah’ yang tak punya kemampuan dalam penulisan skenario! Namun jika Lena menerimanya, ia takut Dania dan Dion akan menganggapnya tidak tulus dalam berjuang demi klub karena adanya kepentingan pribadi.

Perjalanan mereka untuk ikut Festival Film Pendek Remaja nyatanya tak seenteng menyebar brosur nonton bareng. 😀 Bergabungnya Pangeran Kodok justru membuat klub terpecah yang berimbas pada munculnya ekskul tandingan, Movie Club. Beragam petaka dan intrik lalu muncul seolah hendak menjegal langkah klub itu ke Jakarta. Perebutan basecamp, sabotase pemain, hingga menghilangnya Dion semakin meremukkan hati Lena. Mampukah mereka keluar sebagai jawara film pendek dan membawa Klub Film sebagai ekskul yang bergengsi? Akankah Lena dipecundangi Adit sebagai penggulung kabel selama setahun dan harus mencuci kakinya? Apakah Pangeran Kodok akhirnya menyelamatkan Lena atau malah menghancurkan klubnya? CineUs menjawabnya dalam rangkaian cerita yang mengalir dan penuh kejutan.

plus cineus

 

 

 

+ tema yang langka
Keunggulan novel ini terutama terletak pada keberanian penulis (dan penerbit) untuk mengangkat tema yang belum banyak digarap untuk dunia remaja, setidak-tidaknya di jagat perbukuan tanah air. Rasanya belum banyak buku fiksi yang meminjam dunia sinematografi sebagai latar cerita. Cerita menjadi semakin manis karena setiap peristiwa dan fragmen dituturkan dengan narasi yang memikat, deskripsi yang mendetail, serta kehadiran tokoh-tokoh dengan karakter yang sangat kuat. Sesuai judul yang diusung, kisah Lena cs. mengalir seperti deretan slide film.

Bila biasanya kita membaca ekskul basket, music band, atau pemandu sorak dalam karya fiksi atau sinetron, CineUs begitu apik membawa pembaca pada dunia remaja yang kental dengan persaingan kelompok, tekanan antarindividu, bully, dan perjuangan membangun komunitas di sekolah. Kisah pergulatan masing-masing tokoh diceritakan seperti gambar-gambar bergerak yang hidup layaknya adegan sebuah film. Evi meracik petualangan mereka dalam kisah yang lincah dengan irama yang terjaga.

+ judul buku yang unik
Kelebihan lain yang menonjol adalah pemilihan judul novel. Ketika belum memiliki bukunya, saya terus menduga seputar judul yang diusung: bagaimana cara melafalkan CineUs dan apa maksudnya? Misteri nama akhirnya terpecahkan saat novel ini ada di tangan. Terpilihnya CineUs sebagai judul buku rupanya telah melalui seleksi dan pertimbangan yang ketat. CineUs diam-diam menyiratkan dua pengertian sekaligus. Pertama, CineUs ternyata adalah kombinasi dua kata penting, yakni Cinema dan Us. Kesimpulan ini saya dapat dari sebuah frasa yang tercetak pada halaman sebelum prolog, “To the Place Where Cinema and Us Meet.” Dari sini jelas bahwa CineUs adalah buku yang menghadirkan kisah dua orang (atau lebih) di mana orang-orang tersebut terlibat secara aktif dalam dunia sinema. Us pada tagline tersebut bisa mewakili Lena atau Rizki sebagai tokoh sentral, atau bisa pula merujuk pada semua anggota Klub Film.

Pengertian kedua CineUs tentu tak asing bagi kita. Jika himpunan dua itu diurai lalu dibaca sebagai satu kata terpadu dalam pelafalan bahasa Indonesia, maka kita akan dapatkan: cine-us [sine-as]. Yup, sineas! Saya sampai pada kesimpulan ini karena Lena, Dania, dan Dion memiliki passion yang sama yakni menjadi orang yang ahli dalam membuat atau menggarap film. Pada bagian epilog disebutkan tentang alasan Lena ingin menjadi seorang sineas. Alasan yang cantik, karena media film memang mampu menularkan sebuah ide dengan efektif dan masif. Film bisa menghibur sekaligus menginspirasi seseorang tanpa merasa digurui.

+ judul bab yang impresif
Keunikan lain yang terlambat saya sadari adalah kepiawaian penulis meracik judul bab yang semuanya diawali dengan rangkaian “Who …?”. Saya katakan terlambat karena saya menuntaskan baca CineUs tanpa terlalu memedulikan judul setiap babnya. Begitu asyik mengikuti jalan cerita sehingga mata saya langsung terpaku pada paragraf awal setiap bab tanpa terlebih dahulu membaca judulnya. Rangkaian judul mewakili isi setiap bab sehingga membantu pembaca meraba apa yang akan mereka temukan dalam bab terkait, tentu saja dengan bumbu twist yang tidak terduga.

+ padat berisi
Buku ini menawarkan isi yang padat. Selain menyuguhkan banyak informasi tentang film, CineUs juga memanjakan pembaca dengan gaya bercerita yang tidak membosankan. Melalui dialog-dialog renyah dan narasi yang lincah Evi mengenalkan ragam istilah praproduksi dan paskaproduksi penggarapan film. Pada halaman 176-178 bahkan disajikan satu skrip pendek tentang film yang akan mereka ajukan dalam festival. Ini menjadi informasi segar bagi pembaca.

Penulis piawai memainkan emosi pembaca melalui penggunaan bahasa yang sederhana namun cermat. Halaman 32-38, misalnya, memperlihatkan kepiawaian penulis menciptakan nuansa horor yang mencekam, dengan memberdayakan kalimat-kalimat efektif dan pergerakan semua elemen yang melingkupi Lena. Konflik demi konflik dibangun dengan mantap sehingga pembaca akan terdorong untuk larut dan ingin segera merampungkan pembacaan.

+ sarat pesan
Dan yang tak kalah seru, CineUs membawa beberapa pesan penting yang mencerahkan. Pertama, mengejar mimpi walau banyak aral menghalangi. Meski jalanan terjal dan seolah mustahil, jangan menyerah. Tak perlu menunggu kaya atau kondisi ideal untuk berjuang meraih mimpi. Mulailah saat ini selagi mimpi itu positif. Tak ada harga yang bisa membeli sebuah mimpi kecuali tercapainya mimpi itu sendiri. Kedua, persahabatan yang tak ternilai. Dania yang galak dan Dion yang tampak ‘telmi’ ternyata begitu dalam menyayangi Lena paskainsiden yang mencoreng nama Lena. Ketiga, makna kejujuran dan kebanggaan. Di akhir cerita Lena dihadapkan pada pilihan sulit antara bersikap jujur atau tetap bungkam demi mempertahankan gengsi/kebanggaan. Demi rasa gengsi terhadap sang mantan, Lena harus melukai orang yang ia incar.

minus cineus

 

 

 

Namun seperti gading yang selalu retak, buku ini pun tak sepi dari kekurangan, untuk tidak menyebut kesalahan. Beberapa temuan ini layak saya catat untuk melengkapi pembacaan novel CineUs.

– halaman sampul
Tak ada masalah dengan warna dan desain sampul. Desainnya catchy dengan komposisi yang kompak. Biru muda yang dominan dan sedikit warna kuning yang melatari tulisan cineus mampu menciptakan kontras yang manis. Kalem, tetapi kuat. Yang menjadi catatan saya pribadi adalah lembaran ekstra yang terlipat. Mengingat ketersediaan kertas selalu menjadi isu yang penting, maka kehadiran bagian yang terlipat tersebut tidak terlalu signifikan. Bila gambar kamera dan kopi dalam lipatan tetap ingin ditampilkan, keduanya bisa dipindah ke halaman dalam sampul sebelum halaman i. Sedangkan gambar Dion dan Lena bisa digeser ke halaman belakang di bawah blurb. Selebihnya, cover cukup cantik dengan potongan gambar clapper/clapboard di bagian bawah yang menegaskan bahwa buku ini bertutur tentang dunia film. Sebatang pensil yang diletakkan pada punggung buku juga menjadi aksen yang brilian.

cineus 1

– beberapa kejanggalan
Di balik keseruan cerita, ada beberapa hal janggal yang bisa saya rekam. Pertama, keterangan tentang Dania yang kelelahan sehabis menyebar brosur atau pamflet Klub Film. Pendapat ini disampaikan lewat pandangan Lena. Pada halaman xi (bagian prolog) terdapat kalimat sebagai berikut.

Muka Dania sekusut benang.

Awalnya kalimat ini terdengar lumrah, namun segera terasa ganjil karena perbandingan yang digunakan tidak setara. Dania memang letih dan lunglai sehingga wajahnya kusut hampir kehilangan semangat. Namun kalimat di atas kurang tepat karena benang secara natural tidaklah kusut. Jika muka Dania dibandingkan dengan benang, maka majas simile ini tidak efektif. Lain halnya bila berbunyi:

Muka Dania sudah seperti benang kusut.

Menurut hemat saya frasa benang kusut menegaskan betapa capek dan putus asanya Dania, berbeda dengan ‘benang’ saja.

Kejanggalan kedua adalah pada bunker yang menjadi markas tim kreator web series. Walaupun ini karya imajinatif, namun saya gagal mereka-reka bagaimana Rizki mendapatkan akses ke area itu padahal termasuk wilayah terlarang (menurut penuturan Pak Kandar). Bukankah bunker itu seharusnya dikunci rapat karena merupakan situs sejarah? Dan lebih sulit lagi membayangkan bagaimana Rizki berhasil menggunakan akses Internet milik sekolah di bunker tersembunyi tersebut. Secara teknis hal ini sulit dibayangkan.

Keganjilan berikutnya terletak pada para jawara dalam sayembara film pendek. Meskipun sangat mungkin terjadi, namun agaknya sebuah kebetulan yang dipaksakan bila para pemenang semuanya berasal dari Bandung; dan semuanya terlibat dalam kompetisi ketat bahkan jauh sebelum sayembara. Cerita mungkin akan lebih logis bila pemenang kedua berasal dari luar Jawa misalnya, lalu tim Adit justru tidak menang sama sekali karena Romi cs. berhasil menduduki posisi kedua berkat peralatan canggih dan tim kreatif yang mumpuni.

– epilog yang kurang elok
Setelah asyik mengikuti kompetisi dan perjuangan Klub Film dalam mengangkat gengsi komunitasnya, saya agak ‘terkejut’ dengan bagian epilog. Bagian pamungkas ini seolah ‘merusak’ kenikmatan baca sejak awal karena terasa ada yang missing. Keping terakhir ini menegaskan cita-cita/impian Lena (atau penulis) untuk menjadi seorang sineas. Dari tangan mereka akan lahir film-film yang menginspirasi dunia. Gagasan besar inilah yang justru membebani penulis untuk menutup ceritanya dengan harapan agar pembaca terprovokasi untuk mengejar mimpi. Padahal jatuh-bangun Klub Film menuju festival tersebut sudah cukup menyiratkan pentingnya semangat dan optimisme mewujudkan impian. Memang terasa ada lompatan waktu dalam epilog ini karena tidak melanjutkan kisah bab 13. Tiba-tiba muncul narasi tentang bangunan berlantai dua bertajuk Cineus Building. Seperti prolog, bagian epilog ini mungkin akan lebih jitu bila ditulis dalam dialog-dialog aktif antartokoh. Misalnya adegan trio Klub Film yang sedang berfantasi tentang visi mereka beberapa puluh tahun mendatang.

Tiga bintang
cineus 1Sebagai karya yang mengangkat tema film, buku ini boleh dikatakan sangat berhasil. Membacanya saya jadi teringat akan mimpi atau aspirasi terpendam yang harus dikejar. “Sertakan orang-orang yang kau cintai dalam impianmu. Karena mereka adalah sumber kekuatan bagimu.” Tepat sekali ujaran Lena di akhir buku karena Tuhan selalu bersama para pejuang mimpi. Dan seperti pendapat Zig Ziglar yang saya kutip di awal tulisan, segala hal yang bisa kita impikan memang berpeluang kita wujudkan asalkan kita tidak lupa mendukung dan membantu orang lain untuk mencapai impian mereka. Dalam simbiosis mutualisme seperti itulah Tuhan tak akan absen dari hidup kita dalam setiap jatuh-bangun perjuangan.

Tiga bintang layak saya sematkan untuk buku ini. Three out of five stars! Penulis mampu menyuguhkan kisah ringan tapi berenergi. Namun saya yakin ini bukanlah karya terbaik Evi. Sebab menurut pengakuannya di blog pribadinya, ia termasuk orang yang kompleks dan penuh fantasi. Maka patut ditunggu karya-karya berikutnya yang lebih rumit dan fantastis seperti Harry Potter atau buah pena Roald Dahl. Dan seperti klaimnya di akun goodreads bahwa ia gemar menulis cerita thriller dan naskah skenario, maka tak berlebihan bila kita menanti karya-karya suspense seperti besutan Stephen King atau menjadi penulis skenario ulung seperti Jujur Prananto.

Sambil menunggu dilirik Rudi G. Aswan, eh, Rudi Soedjarwo buat difilmkan, yuk baca buku ini yuk. Buat yang mupeng tentang ide besar novelnya, bisa kok intip book trailer-nya di bawah ini. 😉 Keren ga? So bermimpi, siapa takut!?

250x250 - Noura Books
 

34 Comments

  1. keren… di review dengan cara yang lebih menarik…, kayaknya bakalan dapat nomer lagi deh….
    sukses ya…

    Like

    1. Terima kasih, Mbak Nova. Dapat nomor urut peserta, tentu saja 🙂 Sukses juga buat Anda ya ….

      Like

    1. Terima kasih atas kunjungan dan apresiasi Mbak. Ayo ikutan Mbak Reni. Selamat berakhir pekan 😉

      Like

    1. Begitulah Mbak Sari, rimba kata-kata memang menawarkan kejutan yang bikin ‘asyik’. Kadang kesannya sama aja bisa dinyatakan dalam gaya yang berbeda. 😉

      Like

    1. Terima kasih, Mbak Rini sudah mampir ke rumah saya. Tentu lebih menarik isi buku aslinya, lebih lengkap dan ‘membakar’. 🙂 Salam kreatif.

      Like

    1. Selalu lebay menanggapi review di sini. Tapi terima kasih, ayo Mbak kirimkan. Pingin tahu juga pendapat lain dari perspektif orang yang berbeda. Ingat proyek Monumental 2014 kan? hehe..Cemungudz eaaaa 😉

      Like

    1. Terima kasih sudah berkunjung, Mas Elang. Memang trailernya keren, pendek tapi ;’nendang’! Kebanggaan itu kita sendiri yang punya, cuma kita yang bisa kasih arti–ga perlu pengakuan atau klaim orang lain. Kalau kita hepi dan enjoy selama itu positif, tak perlulah minder atas pendapat orang lain. Sukses juga untuk Anda, Mas, salam kenal dari Kota Hujan 😀

      Like

  2. Ga sido melu ahh.. Sdh ada review yg keren bin top markotop begindang sebaiknya saya tak melapir ajahh cri lomba lain hiks… (Lgian Sidoarjo jauh bgt dr Bandung, susah menangnya) 😛

    Like

    1. Mesti gitu. Malu ah ma Nadia. Masak Mama nyerah aja, Nad. Tar ga diajak bujuk-bujuan lagi lho 😀 — 😉

      Like

  3. piye meh entuk gadget klo saingannya selalu elo lagi elo lagi wwkwkkkk…. reviewnya selalu mantep bin jozzz 😉

    eh iya, aq koq gak kepikiran masalah benang kusut ya. terus yg semua pemenang dari Bandung plus orang2 di sekitar Lena itu emang terlalu dipaksakan. jan2e luwih apik yen ra menang kabeh, jadi udah jauh2 datang dari Bandung, kalah semua, waaahh…itu ending yg manis banget klo buatku hihihiiii… pembaca sadis iki 😀

    Like

    1. Telat banget Mak mampirnya ke sini. Film-nya udah abis diputar Mak 😛 Pembaca kalau disuruh cari yang minus-minus emang hobi, apalagi kayak saia, Jeng. Tapi dirimu juga menemukannya kan? Walaupun itu ya sah-sah saja hak penulis. Cuma ya seyogianya salah satunya ga menang gitu. Atau idemu malah bagus tuh, ternyata semua kontestan dari Bandung ga menang satu pun. Ini memicu konflik baru. Tambah panjang tapi, bisa-bisa jadi seribu episode sinetron Mak kayak Tukang Bubur tea 😀

      Like

Tinggalkan jejak