Risalah Neraka Mini

rumah-rumah layu
teronggok di atas kertas
menunggu hening terbakar
sampai di mana api berpijar
hingga ke mana hati berakar

duka tak punya nama
hanya tuhan suntuk
menyusun puisi

kota-kota menggigil
subuh hingga petang
orang-orang terpanggil
merayakan kematian
di sini api telah lama padam
hanya dingin menyala
cuma mimpi-mimpi terbata-bata

harapan seperti maut
binasa sebatas janji mati
kesejahteraan ibarat api
melahap sunyi sebelum istirah
membusuk di kolam-kolam slogan
masa depan sekarat. terkubur di laci-laci meja rapat
aduhai, aduhai, petaka ini betapa lembut
sampai kapan kata-kata setia pada bahasa

rumput-rumput terpejam. bergesekan
subuh hingga petang
mengobarkan cinta berdebu
seperti matahari yang berlumut
berulang-ulang, berulang-ulang
hadir dalam puisi tuhan
seperti pikiran kita yang jumut
tak kurang kurang, tak kurang kurang
meraih sejumput jancukan!

duka tak perlu nama
sebab ia sudah musnah
menjadi diri sendiri
sampai tuhan ngambek
dan berhenti nulis puisi.

desa-desa kisut
abadi dalam mayat pohon-pohon
daun-daun keriput
cerai dari sejuk yang embun
pintu terbuka dan tertutup
luka menganga enggan mengatup
aduhai, aduhai, kasih sayang telah wafat
kemesraan resmi dikafankan.

Air menyimpan wajah setiap orang
mengalir dalam darah zaman
menafasi budaya
mengawetkan luka-luka sejarah
dalam air matahari berakar
nyeri dan sakit yang membakar
Air menjadi cermin. memantulkan sekelumit negeri
yang lebih busuk dari risalah dunia fiksi

rumah-rumah membeku
dan matahari berlumut
menyambut kemiskinan yang mengalir jauh
akhirnya ke maut.

4 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s