Cikaracak Ninggang Batu, Laun-laun Jadi Legok

Para pakar menyebut mereka dengan underachiever. Ya, merekalah murid-murid yang pernah saya ajar beberapa tahun silam. Mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak yang ingatannya lemah dan lamban belajar sungguh membuat stres setiap guru. Kelas ini akan mengakhiri kelas anak-anak dan akan beranjak ke kelas remaja dengan materi yang lebih kompleks.

Awalnya kelas ini diampu seorang teman senior yang lebih dulu mengajar di tempat kursus kami. Namun karena ia meminta pindah ke cabang yang dekat dengan rumahnya, maka kelas itu pun membutuhkan guru baru untuk melanjutkan pembelajaran. Semua guru sepakat bahwa mengajar kelas tersebut sungguh menguji kesabaran dan membuat down. Bukan, bukan karena kenakalan atau tingkah mereka yang hiperaktif, melainkan akibat ketidakaktifan dan kelambatan mereka dalam menyerap pelajaran.

Ditanya pun tak bersuara
Dan entah atas dasar apa bagian akamedik menunjuk saya untuk melanjutkan kelas ini. Olala, saya pikir ini tentu bakal menyiksa batin. Kalau diungkapkan dalam istilah anak zaman sekarang, “Sakitnya tuh di siniiih,” sambil nunjuk dompet dada. Saya terus terang bukanlah guru brilian meskipun mengajar bukan barang baru bagi saya. Dan mengajar kelas ini sungguh sungguh menjadi deraan batin tersendiri.

Tugas harus diemban. Maka saya pun menerima kelas ini menjadi tanggung jawab saya. Dan yang saya khawatirkan memang terjadi. Anak-anak yang ada dalam kelas ini memang tidak aktif, pendiam, tidak banyak tanya, bahkan ketika ditanya. Saya bisa saja mengajar pelan-pelan. Namun kami para guru sudah dibekali dengan target pencapaian halaman setiap sesi untuk mengukur kemajuan materi. Bila saya santai, mungkin mereka bisa menyerap dengan baik. Namun itu berarti kelas kami akan tertinggal dari kelas-kelas lain dan kami tidak bisa mengikuti ujian kenaikan level yang diadakan bersama.

Setiap sesi pelajaran usai, kolega guru selalu bertanya bagaimana perkembangan anak didik saya di kelas itu. Seperti bisa mereka duga, kemajuannya lambat atau bahkan mandek. Ingin rasanya ada di antara rekan guru yang berinisiatif untuk mengambil alih kelas tersebut dari tangan saya. Tapi sayang, tak ada, ihiks…. 😦

Diselamatkan Mr. Globe
Selama satu level atau enam bulan, hampir tak ada kemajuan berarti. Tapi beruntung nilai mereka masih cukup untuk mengantar mereka naik ke level berikutnya. Sebagai catatan, beberapa anak dalam kelas ini pernah tinggal kelas karena nilai rapor yang tidak mencukupi.

Pada enam bulan berikutnya, saya putuskan untuk berpikir lebih kreatif dan proaktif karena anak-anak jelas bukan tipe yang penuh semangat dalam belajar. Entahlah, mungkin motivasi mereka datang ke lembaga beragam sehingga mempengaruhi hasil belajar. Setelah memutar otak, saya pun mendapat sebuah ide. Sebenarnya ini gagasan sederhana, tapi mungkin bisa diterapkan pada mereka yang termasuk slow learner.

Saya beli selembar kertas karton putih, spidol, dan satu paket mainan ular tangga. Loh, untuk apa? Ya, saya pikir tak ada cara lain (yang bisa saya tempuh saat itu) untuk mengajarkan materi yang relatif sulit selain dengan bermain. Bayangkan, untuk menghafal padanan kata bahasa Indonesia dan Inggris saja mereka kelabakan, bagaimana mungkin mereka dituntut piawai mengolah kalimat dalam Past Tense?

Laun-laun jadi legok
Maka bermain ular tangga adalah cara instan yang mengasyikkan. Di atas kertas karton itu saya gambar aneka bentuk dan benda sesuai yang diminta oleh buku panduan tentang Past Tense. Lalu di tengah-tengah saya bubuhkan gambar Mr. Globe sebagi maskot permainan. Permainannya mirip ular tangga, namun mereka bermain seolah berkeliling dunia atau Around the Globe. Intinya, mereka harus menjawab atau melakukan tugas sesuai tulisan yang tercantum pada gambar yang ditunjuk.

Gambar dari www.nytimes.com
Gambar dari http://www.nytimes.com
Tidak langsung bisa memang, namun mereka terbukti sangat antusias dan bersemangat belajar dengan cara itu. Lambat laun masa enam bulan itu pun berjalan sangat menyenangkan. Kami begitu dekat dan anak-anak pun tak segan bercerita tentang kawan-kawan mereka di sekolah atau kehidupan mereka di rumah. Intinya memang guru harus mengidentifikasi kemampuan dan minat siswa lalu menggagas aktivitas atau tugas yang membuat mereka antusias. Benarlah pepatah Sunda yang saya gunakan sebagai judul di atas, bahwa sekeras apa pun batu akan terkikis dan pecah jika TERUS diguyur air.

Anak-anak bangkit kepercayaan dirinya. Saya pun senang walaupun semester ketiga bukan saya yang mengajar mereka. Satu hal yang tidak menyenangkan: bayaran saya kecil kala itu dan impas-impas saja untuk digunakan sebagai biaya membeli alat atau sarana guna mewujudkan permainan yang mendongkrak kemampuan para siswa. Tapi melihat anak-anak tersenyum karena menguasai hal baru sungguh tak terukur kebahagiaan saya. Senangnya tuh di sini! Hehe… Yang pernah mengajar tentu paham yang saya maksud.

Salam belajar!

Advertisement

23 Comments

  1. aarrghhh, tidak.. draft saya keduluan lagi… hahaha… padahal punya foto batu yang benar-benar jadi legok karena terus menerus terkena tetesan air… batunya ada di suatu gua di pangandaran 😀

    Like

    1. Tidak masalah bila Mbak Rinrin mengirimkan tema ungkapan ini kok. Sangat mungkin terjadi persamaan ungkapan yang diangkat oleh sesama peserta. Pasti masing-masing punya gaya bahasa dan contoh tersendiri. Jadi jangan ragu untuk menampilkannya 🙂

      Like

    1. Iya kira-kira begitu, Mbak. Cuma ya memang kalau menyesuaikan gaya belajar masing-masing anak ya gurunya bisa tekor kalau ga didukung sekolah, apalagi tempat kursus, hehe 😉

      Like

  2. Saya masih kesulitan mencari ide, Mas Rudi. Sy cinta dengan kota saya (Makassar) tapi sayang saya tak bisa bahasa Makassar. Kami di kota ini berbahasa Indonesia, dialek Makassar.

    Orang tua saya berbeda suku, Bugis dan Gorontalo, maka di rumah kami berbahasa Indonesia. Sy masih mencoba mencari ide … mudah2an bisa menemukan pepatah yang bisa dijadikan bahan tulisan seapik tulisan ini ….

    Like

  3. Berarti sang pengajar harus jeli ya meneliti dan memahami minat para anak didik…agar capaian hasil belajar bisa maksimal dan anak didik sebagai sasarannya bisa memahami materinya…

    Like

  4. He he,,iya bang,,aku tau senengnya, kalo mereka yg kita ajar bs menguasai sesuatu,,aku pernah kyk gni ini di pelosok bang,,dg sgla keterbatasan yg ada,,seringnya mmnfaatkan apa yg ditawarkan alam,,tp senengnya kerasa bgt;)

    Like

  5. itulah guru jasanya tiada tara, saya kayanya bakalan hopeless kalo dikasih murid kaya gitu, kelas yg butuh kreatifitas banget ya mas. dulu pernah ngambil akta 4 dan mengajar selama sebulan, ngajar matematika, ya ampun satu pembahasan aja ga maju2, jadi bingung gimana cara supaya mereka mengerti, tapi anak2 memang unik, saya juga sangat berasa kalo dipaksa untuk mengerti gegara dikejar2 kurikulum, jadi memang harus sabar bar bar

    Like

    1. Saya kira memang menghadapi beragam murid pasti dituntut punya kesabaran dan teknik sendiri, Mbak. Tapi ada satu lagi kualitas guru yang patut dimiliki, yakni ikhlas berbagi ilmu. Mudah-mudahan kita bisa bersabar ya 🙂

      Like

      1. Kalo ikhlas berbagi ilmu insha Allah iya, cuman ngadepin sikap murid2nya hehe. Sy pernah dibuat bingung sama mereka, karena ditanya katanya belum paham, tapi diterangin lagi sepertinya ogah2an, jangan2 karena itu matematika, akhirnya sedikit dikasih stimulan, bagi2 coklat bagi yg bisa jawab baru pada mau deh mereview pelajaran matematikanya. Sy masih inget sama guru SD sy, dia pake tehnik siapa yg bisa jawab boleh pulang duluan, wah itu seneng bukan main anak2, kebetulan jamnya pas jam terakhir, jadi kami pada baca ulang apa yg di ajarkan dan itu membekas banget sampe sekarang

        Like

        1. Iya betul, Mbak. Pasti berat menghadapi anak-anak yang ga paham juga, hehe. Guru saya SD dulu juga pakai trik itu, yang bisa jawab pulang. Asyik tuh, sport jantung jugaa haha ….

          Like

  6. Ah indah banget pribahasa ini…
    Jadi inget masa kecil, saat orang tua saya memberi semangat kpd saya yg kesulitan memahami pelajaran matematika…
    Bahkan batu yg keras pun akan kalah oleh titik-titik air yg menetes terus menerus…

    Salam,

    Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s