Pagar Mangkok

Frasa pagar mangkok kali pertama saya dengar dalam walimatut tasmiyah atau syukuran untuk memberi nama pada bayi yang baru saja dilahirkan. Sang penceramah bercerita tentang filosofi orang Jawa yakni pagar mangkok.

Sebagaimana dua kata yang menyusun frasa ini, makna keduanya memang apa adanya. Pagar berarti sesuatu yang digunakan untuk membentengi sesuatu dari ancaman yang dikhawatirkan, misalnya rumah dari tindakan maling atau orang iseng, sawah/ladang dari perilaku orang tak bertanggung jawab, dan sebagainya. Seiring berjalannya waktu, pagar juga berfungsi sebagai elemen dekoratif yang menambah pemandangan rumah menjadi lebih estetis. Namun konsep pertamalah yang lebih tepat yakni sebagai alat pelindung.

Sedangkan mangkok adalah salah satu perkakas makan yang biasa menemani piring saat kita menyantap makanan. Mangkok biasanya berbentuk bundar dan memiliki ceruk yang lebih dalam ketimbang piring sehingga bisa memuat kuah lebih banyak. Bakso, mi ayam, atau soto lazim disajikan di atas mangkok.

Lalu apakah orang Jawa kurang pekerjaan sehingga harus menyusun mangkok untuk melindungi rumah mereka dari ancaman orang? Bagaimana cara menyatukan mangkok yang tentu begitu banyak menjadi deretan pagar yang indah namun tetap kokoh? Tentu tidak demikian maksudnya.

Rahasia di balik pagar mangkok ini saya saksikan sendiri di sebuah rumah teman di Jakarta. Sahabat saya yang asli Jawa Tengah tersebut cukup dikenal di antara tetangga mereka. Selain mereka termasuk kalangan terdidik, ternyata ada resep lain yang mereka praktikkan.

Sang ibu mertua yang berasal dari Semarang konon memang gemar membangun pagar mangkok, yakni dengan membagikan makanan di lingkungan sekitar. Maklumlah, sang ibu memang jago memasak dan saya dengar bahkan pernah membuka rumah makan di Semarang. Tak heran bila kapan pun sang ibu singgah di Jakarta, maka tetangga akan berdatangan ingin menyalami atau bercengkerama dengannya. Walaupun berbeda suku, mereka bergaul dengan baik.

Semua berkat prinsip pagar mangkok, yaitu berbagi makanan atau apa yang kita punya dengan tetangga. Prinsip ini juga saya baca beberapa waktu lalu dari pengalaman Mbak Ida Nur Laila di Yogyakarta. Alih-alih memagari rumahnya yang cukup besar dengan besi-besi tinggi dan kokoh, ia membiarkan halamannya terbuka. Sebagai gantinya, ia menyiapkan beberapa mainan anak-anak, misalnya ayunan, dsb. agar bisa dimanfaatkan anak-anak sekitar. Ia percaya bahwa pagar mangkok lebih mujarab ketimbang pagar secara fisik yang mungkin malah menciptakan jarak walaupun pemilik rumah merasa aman.

Anak-anak bebas bermain (gambar saya pinjam dari blog Mbak Ida)
Anak-anak bebas bermain (gambar saya pinjam dari blog Mbak Ida)

Indonesia memang kaya dengan nilai-nilai tradisional yang luhur. Dan ini dua bukti yang nyata. Bagaimana dengan daerah tempat Sobat pembaca?

22 Comments

  1. Betul banget itu mas… pengalaman sdri jg, sy ini kan kontraktor ( alias rmhya ngontrak ) jd sring pindah2, krn suka masak sy sring bagi2 ke tetangga, jd sp skrg bl sy berkunjung ke tmpt lama mrk senang sekali, sp suatu ketika ada acara disna, ada tmn tanya ntik nginep dimn?…dg gembira bekas tetangga sy berkata, kan bs nginep dirmhku, ato dirmh bu itu dan itu…kt kan sdh spt sodara…senang sekali…

    Like

  2. kalo ‘mangkok’ kami tidak berisi makanan, tapi pohon belimbing, sirih merah, dan mahkota dewa yang siapapun boleh mengambil buah/daunnya…. Maklum, gak jago masak hehehe…

    Like

  3. Bertetangga sebagaimana yang dicontohkan Rasululloh SAW, membutuhkan sebuah kesabaran dan belajar secara bertahap untuk mendapatkan makna yang seharusnya. Bagaimana hidup bertetangga, membangun harmonisasi, saling mengulurkan tangan dalam kesusahan, dan saling memberi penghargaan dan keselamatan manakala tetangga mendapat keberuntungan. Tidak hanya sekedar berwacana, tetapi melangkah dengan tindakan nyata membangun solidaritas dengan sedekah. Pagar mangkok, adalah salah bentuk upaya membangun harmonisasi antar tetangga.

    Like

  4. Saya belum punya rumah sendiri, mas. Pagar mangkok tampaknya musti saya terapkan kalau sudah punya rumah nanti, tak diragukan lagi 😉

    Like

  5. Nilai-nilai adi luhung yang perlu dilestarikan ya mas. Sayang sekarang orang cenderung lebih senang memagari rumahnya dengan pagar beton yang tinggi ketimbang magari dengan mangkok.

    Like

    1. Tapi Andaikan memang lingkungan rumahnya tak aman, tak apa bila mau dibangun pagar demi alasan keamanan. Tapi tentu diselingi rajin berbagi dengan tetangga sebelah atau masyarakat sekitar kalau kita ada kebahagiaan.

      Like

  6. setuju bget deh..kalo ditempat saya (Madura) pagarnya dari bambu..namun nggak dikasih pintu..pagar itu dimaksud cuma sbgai batas antara tanah milik kita dgn tetangga sebelah…kenapa gak diberi pintu?karena bermaksud agar tetangga bisa masuk mau2 mereka..entah itu mengambil daun mangga buat makan ternak ato mengambil telur klanggrang buat pakan burung…spt itulah manfaat pagar tanpa pintu..

    Like

    1. Kalau memang sesama tetangga sudah menjalin kesepakatan tentang boleh masuk ke pekarangan tanpa meminta izin pemilik rumah tentu asyik ya Mbak karena kalau butuh apa-apa bisa langsung ambil, asalkan tidak merugikan atau memanfaatkan pemilik terlalu berlebihan.

      Like

  7. Pas baca judulnya kirain, pager dari tanaman mangkokan… Kalo di kampungku, ada tanaman mangkokan mas, yang biasa di tanam di depan atau samping rumah, jadi bisa buat pager hidup trus daunnya yg msh muda biasa di rebus, dibuat pecel…

    Like

  8. Good day! I know this is kinda off topic but I was wondering which blog platform are you using for this site?

    I’m getting fed up of WordPress because I’ve had issues with hackers and I’m looking at
    alternatives for another platform. I would be great if you could point me in the direction of a good platform.

    Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s