Pelajaran tentang Nasi dari Sekolah Turki

KIRA-KIRA setahun lalu seorang sahabat mengajak kopi darat di sebuah sekolah di bilangan Pondok Cabe. Sekolah ini dibangun berbasis kerja sama antara pihak swasta Indonesia dan sebuah yayasan dari Turki. Kawan ini telah dipindah ke Bandung tetapi sedang mengikuti acara di sekolah tempat ia sebelumnya mengajar. Rasanya tak bisa saya siakan kesempatan berjumpa kawan lama ini. Langsung saya iyakan.

Pada hari H kami agendakan untuk bersantap kuliner khas Jombang Ciputat yang lagi happening yakni Tomyam Kelapa. Sayang sekali waktunya tak cukup sehingga saya sendiri dan keluarga yang meluncur ke kedai tomyam sementara sahabatku meluncur balik ke Bandung sore harinya.

Habiskan makananmu

Bukan, bukan soal tomyam yang akan saya ceritakan kali ini meskipun kelezatannya memang menggoyang lidah. Namun yang hendak saya ceritakan masih berkutat seputar makanan pokok yakni nasi. Memang bukan cuma nasi, tetapi makanan besar secara umum. Saya tergelitik menulis pengalaman ini sebab pemandangan yang saya tangkap saat ikut makan siang di kantin sekolah tersebut cukup membuat terkesan. Sangat terkesan.

Saat mengantre makan, saya membaca tulisan besar di atas meja kantin, kira-kira berbunyi,

“Take what you need, Eat what you take.”

Ini menarik bila dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat kita. Saat prasmanan di acara resepsi pernikahan, misalnya, tak jarang saya jumpai tamu menumpuk makanan di piringnya dengan berbagai lauk yang kemudian tidak dihabiskan. Apa sebab? Lantaran perut mereka sudah penuh dengan makanan atau minuman lainnya. Walhasil, makanan yang sudah diambil kadang teronggok di bawah kursi–menjadi sampah.

Memang sampah ini masih bisa berguna, untuk ayam, atau diurai kembali di alam. Namun coba kita renungkan, betapa banyak orang d belahan dunia lain yang kesulitan mendapatkan makanan untuk mengganjal perut sementara kita membuang-buangnya dengan sembrono–semata-mata mungkin didorong keserakahan untuk mencicipi semua. Ada semacam ‘keharusan’ untuk mencicip semua menu meskipun kita sudah kenyang.

Take what you need adalah anjuran yang joss. Ambil sesuai takaran kebutuhan kita dong bukan sesuai keinginan nafsu belaka. Toh bila kurang, kita bisa menambah meskipun bakal malu bila itu terjadi di acara umum. Bukankah lebih bagus menghentikan makan sebelum benar-benar kenyang?

Sebenarnya tak akan ada masalah bila kita menaati anjuran kedua, yaitu eat what you take alias menghabiskan apa yang sudah kita ambil. Ini sebentuk tanggung jawab terhadap porsi yang sudah kita kumpulkan. Bila tak kita habiskan, siapakah yang akan mau menghabiskan selain kita? Bila tersisa, khawatir akan menjadi tindakan berlebihan dan mencerminkan sikap mubazir yang sangat berbahaya.

Konon di Jerman seseorang bisa dikenakan denda bila memesan makanan banyak tetapi tidak menghabiskannya. Meskipun itu uangnya sendiri, tapi itu dianggap sebagai tindakan pemborosan lantaran sumber daya di bumi ini terbatas dan kita tak boleh menghambur-hamburkannya dengan alasan apa pun. Toh dengan menghabiskan makanan yang kita ambil atau pesan bisa menjadi bentuk syukur kepada Tuhan sebab ada orang yang tidak bisa makan di tempat lain dan kita menghargai nikmat-Nya.

Maka saya kesal bukan main saat acara arisan keluarga kemarin banyak piring masih menampung nasi. Tidak hanya makanan, minuman pun sama. Tak sedikit gelas kemasan masih menyisakan air mineral separuh, sepertiga, atau bahkan dua pertiga isinya. Belum lagi gelas es campur air air sirup.

Sungguh miris dan miris karena pemborosan adalah perilaku setan. Dan yang perlu dicamkan adalah food waste seperti ini adalah tindakan tak tahu diri mengingat proses produksi makanan membutuhkan energi yang tidak sedikit. Dari lahan pertanian hingga di meja makan, ada proses panjang yang melibatkan banyak tangan dan pengorbanan–terutama sumber daya alam.

Bereskan sendiri

Ada pemandangan unik lain selain kebiasaan menghabiskan makanan di kantin sekolah itu. Setiap orang langsung menuju ke sebuah sudut kantin begitu mereka selesai makan. Setelah dipastikan meja bersih dari ceceran makanan atau percik air, kami bergerak ke sebuah loket untuk menyerahkan piring kosong. Piring sudah kosong karena sisa-sisa makanan seperti tulang dan sebagainya sudah dimasukkan ke dalam kantong polybag besar di depan loket. Dengan demikian petugas hanya akan menerima piring bersih (maksudnya tanpa sisa makanan) dan bisa segera mencucinya. Saya paling sebal bila hendak mencuci piring sementara masih ada sisa makanan di atasnya.

Bukankah lebih kita sumbangkan daripada nasi itu terbuang percuma?

Bila setiap orang membereskan meja dan mengosongkan piring masing-masing begitu rupa, maka kita meringankan petugas kebersihan. Jangan bilang, “Lalu apa gunanya mereka dibayar!?” Itu pertanyaan keliru. Harusnya bertanya, “Mengapa kita mengaku manusia beradab dan beragama bila meringankan beban orang saja kita enggan?”

Saat meninggalkan kantin, semua meja terlihat seperti belum digunakan karena tak ada sisa makanan atau tumpukan piring kotor yang tak sedap dipandang mata. Selain pelajaran tentang menghabiskan makanan, saya juga belajar tentang bertanggung jawab terhadap sampah yang kita hasilkan–dengan cara membersihkan dan dengan demikian otomatis meringankan beban orang. Pahala kan?

Terima kasih, Pak Mus! Kapan kita ke Tomyam Kelapa?

17 Comments

  1. Luar biasa. Mulai minggu kemarin saya melihat anak saya yang duduk di kelas 1 SDIT. Untuk makan siang diambilkan ustaznya porsi kecil. Harus habis dan para santri menuju tempat cuci piring nyuci sendiri. Kayaknya sama dengan keadaan di atas.
    Memperkecil makanan mubazir, rapi dan bersih. Tulisannya bermanfaat

    Like

    1. Syukurlah bila bermanfaat, Mbak. Selain mengurangi israf atau bahkan mubazir, tindakan seperti ini bisa melatih disiplin agar kita tidak menggantungkan diri pada orang lain dan lebih mandiri serta menghilangkan sifat “home service” yang selama ini ramai dibahas di medsos yakni sifat ingin selalu dilayani.
      Termasuk kebiasaan bagus itu di SDIT tempat anak Mbak Noer.

      Like

    1. Banyak yang terbuang kan sayang ya, beli sesuai kebutuhan kita saja. Kalau kurang nambah, sesimpel itu. Lebih hemat juga kan kalau beli makan terus dihabiskan ketimbang udah bayar tapi dibuang.

      Like

  2. Quote of the day: Take what you need, Eat what you take. Terima kasih atas postingannya, dalam islam, mubadzir itu temennya setan kan yaa *na’udzubillah.

    Like

  3. Betul, Mas. Haduh. Saya suka gemes liat sisa2 makanan di piring2 saat kondangan. Begitupun lauk pauknya yang kadang cuma digigit sedikit trus taro. Sedih banget. Nggak cuma orang2 susah nakan yang kebayang, tapi juga para petani, peternak, dan juga tukang masak yang udah keringetan membuat semua itu ada 😦

    Like

    1. Yup, tepat sekali, Mbak. Ambil sesuai kebutuhan aja biar ga terbuang. Selain terkesan tidak bersyukur, pemborosan seperti itu tentunya melukai hati para produsen dan pekerja yang udah susah payah membantu menanam dan menyediakannya.

      Like

  4. Saya kalo ke kondangan atau acara lainnya yang menyediakan makanan pasti makanan yang saya ambil saya habiskan. Sehari-haripun berusaha begitu. Saya sudah merasakan betapa susahnya mendapatkan makanan. Jadi semacam apresiasi.

    Like

    1. Itu baru cakep, Mas! Saya pun suka tegas kalau anak-anak di rumah makannya ga dihabiskan padahal sebelumnya ambil sendiri porsi itu. Biar menghargai kerja keras petani juga sulit mendapatkan uang untuk makanan.

      Like

Tinggalkan jejak