Socially Stumped Facade

Saya masih setia untuk memprioritaskan judul tulisan dalam bahasa Indonesia. Adapun dalam tulisan kali ini, judul tetap tersaji dalam bahasa Inggris dengan pertimbangan maknanya akan lebih utuh bila muncul dalam bahasa asal di samping kerumitan mencari padanan bahasa Indonesia tanpa adanya ambiguitas dengan merujuk pada tema daily prompt tim WP

image

Judul di atas menggabungkan dua ide daily post pada hari yang berbeda: facade dan stump. Ide tulisan ini sudah lama mengendon di bilik Draft sejak tahun lalu. Sayang bila dihapus begitu saja sementara sudah ada bayangan isu untuk ditulis. Dalam bahasa Inggris, facade (yang dipinjam dari bahasa Perancis façade setidaknya memiliki dua pengertian.

Dua pengertian

Pertama, sesuai makna asli dari bahasa Perancis yang berarti bentuk muka sebuah bangunan yang mendapat sentuhan arsitektural tertentu sehingga tampak menonjol. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengadopsinya menjadi fasad. Tapi harap berhati-hati sebab fasad juga memiliki makna yang lain menurut kamus, yakni:

kerusakan (moral dsb); kebinasaan

Saya jadi teringat pada ucapan seorang kawan saat mengomentari rumah tetangganya beberapa waktu lalu. “Duh, fasadnya tuh enggak banget deh!” Komentarnya beralasan karena fasad rumah baru tetangganya memang tak jelas. Terus dibangun ke atas tanpa menyisakan lahan hijau terbuka padahal tanahnya cukup luas. Alih-alih terlihat kokoh dan homey, rumah tersebut malah terkesan angkuh.

Sekarang bergerak ke pengertian yang kedua. Facade berarti cara bertindak atau menampilkan sesuatu yang memberi kesan palsu kepada orang lain tentang perasaan kita sesungguhnya atau situasi yang sebenarnya terjadi. Intinya, facade menjadi topeng artifisial untuk menyembunyikan kenyataan yang lain.

Kebingungan sosial

Stump sendiri bisa diartikan dengan membingungkan, bisa pula tersandung. Maka frasa socially stumped saya maknai dengan kebingungan sosial atau adanya hambatan dan sandungan dalam masyarakat. Singkat kata, menurut saya, kondisi masyarakat kita saat ini diliputi kabut kebingungan atau kebuntuan, yang tertutup oleh hal-hal baik sebagai facade-nya.

Tanpa bermaksud menggeneralisasi, saya akan sajikan contoh di daerah tempat kami tinggal. Sehari-hari kaum ibu dan ayah giat beribadah melalui beragam pengajian di berbagai majelis atau masjid. Salawat dan puji-pujian berkumandang di mana-mana. Saya anggap ini gejala positif sebagai cerminan watak Islami.

Namun, selain dosisnya berlebihan, karena dikumandangkan lewat loud speaker, praktik tersebut seolah cuma fasad belaka. Well, ini setidaknya yang saya pahami. Mungkin mereka tidak sengaja bertindak begitu. Pengajian berjalan, sementara maksiat dibiarkan. Anak-anak remaja pacaran, mojok di kompleks kami, sungguh sangat meresahkan.

Kami warga kompleks jengah dan bosan menegur anak-anak kampung yang bertindak negatif tersebut. Saat orangtua mereka lewat menuju masjid, para remaja tak sekali pun ditegur untuk diajak shalat berjemaah atau bubar dari kegiatan tak terarah. Warga kompleks merasa resah karena selain berisik, kami juga tak nyaman mereka berkumpul untuk hal-hal yang melanggar agama, seperti pacaran dan minum minuman keras.

Suatu malam, seorang ibu warga kompleks menegur sepasang muda-mudi yang mojok dekat rumahnya. Bukannya malu atau merasa bersalah, si cowok malah mengacungkan sebilah pisau cutter kepada ibu tersebut. Takutlah ibu ini dan betapa nahi mungkar saat ini begitu menakutkan dibanding amar makruf.

Sekali lagi, tak ada tindakan dari warga nonkompleks padahal itu anak-anak mereka. Di malam lain, istri pernah bertanya pada seorang remaja putri yang selepas magrib sudah nongkrong di depan rumah kami. Jawabannya bikin miris: orangtuanya sibuk menonton sinetron dan anak gadisnya bukannya dipantau agar mengaji, bukan malah keluyuran.

Banyak lagi contoh facade dalam kehidupan sosial kita. Memang dari luar sebuah masyarakat tampak ideal dan tenteram, tetapi di dalamnya terdapat penyakit yang disembunyikan, entah sengaja atau tidak. Sebagian warga geram dan bertindak, sebagian lain membiarkan, sebagian lainnya cuek. Adapun di kompleks kami, kini sudah lebih kondusif sejak kami menambah tenaga keamanan.

Akibat tak ada tindakan

Di suatu daerah ada pula praktik hamil di luar nikah yang cukup marak, dan masyarakat setempat seolah memble. Padahal kehidupan religius cukup rutin di sana; sayangnya, cuma ritual belaka. Yang sibuk mengaji hanya para orangtua, sementara anak dan remaja tak dilibatkan. Tanpa hukuman, anak lain jadi menganggapnya suatu kebiasaan padahal sudah ada peranti hukumnya. Tak ada lagi komunikasi aktif, tak ada lagi intervensi.

Di Bogor, polisi tidur atau gundukan untuk memperlambat arus jalan entah mengapa semakin banyak jumlahnya dan semakin tinggi saja posisinya. Jika di suatu lokasi disinyalir sering menjadi area kebut-kebutan, maka bisa diduga esok akan dibangun polisi tidur untuk menghambat. Jika keluhan masih dirasakan, jumlahnya akan ditambah atau posisinya ditinggikan. Jangan tanya risikonya bagi pengendara motor biasa, apalagi jadi rawan kecelakaan.

Masalahnya kembali lagi: tak ada komunikasi aktif antara dua generasi, entah enggan atau sudah bosan. Alih-alih mengingatkan dan menghukum pembuat onar, cukup ditinggikan saja perintahnya tanpa mengindahkan kepentingan pengguna jalan yang lain.

Sialnya, saya menjadi bagian di dalam masyarakat yang saya sebut socially stumped itu. Saya ikut mempercantik tampilan fisik sehingga orang lain tak akan tahu bahwa di balik fasad yang indah ternyata ada fasad lain yang busuk bernanah.

2 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s