Kalau Habis, Jangan Menangis

DI KOTA-KOTA BESAR, termasuk Bogor yang tak jauh dari Jakarta, kemacetan menjadi isu yang sangat penting. Selalu relevan bila kita berbicara soal perkotaan dan bikin semua orang pusing bahkan marah-marah. Kekesalan diungkapkan secara verbal dalam obrolan bersama teman, atau lewat pesan tertulis di grup WhatsApp, hingga muncul sebagai status yang diunggah di Facebook.

Manusia memang makhluk aneh. Di balik sosoknya yang konon sangat logis-realistis, pola pikirnya tak jarang justru menentang sifat hukum sebab-akibat. Misalnya soal kemacetan tadi. Di mana-mana orang mengeluh jalanan yang macet. Tapi di sisi lain mereka terus membeli kendaraan tanpa diimbangi ketersediaan jalan yang memadai. Pabrikan mobil makin gencar menawarkan produk baru, sedangkan jalan-jalan tidak ditambah. Bukankah aneh jika mengeluhkan kemacetan?

Kesimpulan serampangan

Contoh lain, ada seseorang yang mengeluh, “Duh, hape zaman sekarang kok baterainya cepet soak ya. Merek ini emang jelek sih.” Keluhannya terlontar akibat kekecewaan menggunakan sebuah ponsel pintar. Padahal bila mau jujur, baterai susut kualitasnya juga akibat pemakaian yang luar biasa padat. Ponsel menurun kinerjanya karena setiap hari jari-jarinya tak pernah lepas dari layar lebar itu, berhenti hanya saat makan atau sholat. Atau stop tatkala daya baterai habis.

Eh, tidak juga…Bahkan saat daya habis pun, ponsel tetap dipakai secara normal alih-alih dimatikan dulu saat di-charge. Walhasil, ponsel pun bekerja terus menerus tanpa istirahat kecuali saat empunya tertidur. Lalu adalah alasan untuk mengeluhkan baterai yang cepat aus dengan penggunaan segencar itu? Bukankah itu perkara sebab-akibat yang mudah dipahami?
image

Kasus lain soal uang. Terjadi pada seorang teman. Gaji suami besar, tapi mengeluh selalu kekurangan uang atau uang cepat habis. Padahal pendapatan memang sudah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder–bahkan sering yang tersier. Maka cukup aneh jika akhirnya terlontar keluhan kekurangan uang. Uang dipakai, ya habis.

Lebih baik bersyukur sebab kita masih bisa memenuhi hajat utama dalam hidup, yakni makan, pakaian, dan perumahan plus beberapa kepentingan kecil berupa hiburan. Orang Inggris bilang, “make ends meet” untuk menggambarkan hidup yang cukup dan tidak sampai terbelit utang. Qonaah, yes.

Sebab tak sedikit orang lain yang begitu sulit untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Kadang malah sampai terjebak dalam lingkaran utang yang entah sampai kapan bisa terbayar. Bisa makan saja sudah untung, tak lagi berpikir tentang printilan hidup yang mungkin sudah kita nikmati.

Berbagi jadi solusi

Contoh lain lagi, volume pekerjaan yang tinggi. Mengeluh di medsos karena beban kerja yang berat dan banyak sebenarnya tidak beralasan. Kenapa? Sebab imbalan atau kompensasinya juga cukup besar, sepadan dengan beban kerja. Toh saat menerima uang pun akan dinikmati sendiri kan? Jika tak sanggup, carilah bantuan teman atau orang lain agar bisa berbagi beban.

Punya ponsel sering dipakai, ya lama-lama baterainya aus, sehingga kualitas ponsel akhirnya menurun. Punya uang dan dibelanjakan ya pasti habis. Makanya harus digunakan secara taktis, salah satunya berbisnis dengan Tuhan. Punya tenaga kuat ya lama-lama melemah lantaran dimakan usia dan kesibukan.

Asal jangan menangis kalau yang kita miliki akhirnya habis. Itu sudah biasa. Nanti akan ada lagi….

12 Comments

    1. Betul sekali, Mbak Rina. Kalau sudah melakukan yang terbaik, ya kita tinggal tunggu hasilnya. Untuk disyukuri karena itu boleh jadi yang memang kita butuhkan meskipun mungkin belum sesuai harapan.

      Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s