“Kasihan Ya Dia Enggak Punya Anak!”

Saya sering bertanya serius kepada istri, manakah yang lebih berat: kehilangan sesuatu yang pernah kita miliki ataukah tak bisa memiliki sesuatu yang sangat kita inginkan? Saya tergoda bertanya begitu setelah melihat seorang tetangga—yakni sahabat ibu—yang kehilangan putri semata wayangnya konon karena leukimia. Anak ini cantik dan pintar, juga sayang kedua orangtuanya. Butuh belasan tahun bagi pasangan itu untuk menimang buah hati. Menginjak usia SMP, si anak dipanggil Sang Kuasa. Berat tentu saja meskipun kini ada seorang keponakan yang tinggal bersama mereka. Apalagi buah hati yang telah pergi ternyata jauh lebih sayang dibanding ‘putri’ baru mereka.

kehilangan demi kehilangan

Bandingkan dengan kisah seorang sahabat yang belum juga dititipi keturunan walau usia pernikahannya telah melebihi dua dekade. Ia dan suaminya terbilang sukses dan punya peran besar untuk kemajuan pendidikan di lingkungan sekitar. Namun sebagai manusia biasa, tentu saja sesekali muncul godaan membayangkan betapa asyiknya memiliki anak sendiri sebagai penerus garis keluarga mereka kelak. Sampai suatu titik dia begitu terpukul ketika seseorang yang sangat dekat dengannya “meremehkan” pendapatnya soal pengasuhan anak lantaran ia tak pernah punya anak. Ia pun tergugu dalam diam, menahan rasa sakit.

Ada cerita lain lagi. Seorang kawan mengisahkan pakdenya yang kehilangan penglihatan setelah mengalami kecelakaan kendaraan. Dia didera frustrasi berat karena tak mampu lagi melihat keindahan benda-benda yang sebelumnya ia pernah saksikan. Entahlah mana yang lebih berat jika dibandingkan seseorang yang sejak kecil terlahir sebagai tunanetra. Yang sama sekali tak berkesempatan melihat warna-warni dunia dengan mata fisik. Sungguh tidak mudah menjawab pertanyaan semacam itu. Berat.

Cerita terakhir: seorang bloger dan penulis yang tinggal di Jabotabek akhirnya merelakan mobilnya setelah bergulat dengan keinginan untuk meninggalkan riba. Ia menuturkan di blognya bahwa ia semula punya uang cukup untuk melunasi utang KPR di bank. Namun sayang, uang itu malah ia pergunakan untuk membeli mobil secara tunai. Karena tak enak hati dan seolah terus ditegur Tuhan, ia lantas melego mobilnya walau ada salah seorang anaknya yang galau sebab harus kehilangan kendaraan roda empat andalan mereka. Harap maklum, keluarga ini memiliki 3 anak sehingga tak mungkin bepergian mengendarai motor.

“Kasian ya dia mati muda!”

Saya tak tahu lagi bagaimana kelanjutan empat kisah ketiadaan tadi. Namun satu hal yang jelas: kita sering terjebak untuk menilai kebahagiaan seseorang berdasarkan apa yang dimilikinya. Implikasinya: kalau tak punya hal tertentu, berarti dia tak bahagia! Pola pikir semacam itu seolah telah menjadi standar untuk mengukur kadar keberhasilan dan kebahagiaan seseorang dalam hidup.

Tak heran jika kita kerap mendengar orang menceletuk, “Kasihan ya dia mati muda!” atau seperti judul yang saya pakai, “Kasihan banget ya dia enggak punya anak!” atau ungkapan lain seperti “Miris ya hidupnya mengontrak terus, enggak punya mobil lagi!” dan sebagainya.

Boleh-boleh saja kita memiliki sesuatu—asalkan mampu dan siap dengan pertanggungjawabannya—namun tidak sah jika kita meneropong kehidupan orang lain lantas menentukan bahwa mereka tidak bahagia sehingga perlu dikasihani. Punya apa pun sebenarnya hanya ilusi sebab kita hakikatnya tak pernah bisa memiliki apa saja yang menurut kita miliki. Kita hanya punya kesempatan memanfaatkan semua benda dan fasilitas dengan catatan pasti akan dihisab menurut catatan yang akurat.

Diselamatkan

Orang yang mati muda (tak “punya” nyawa lagi) boleh jadi diselamatkan dari dosa berkepanjangan atau fitnah dunia yang semakin kejam. Mungkin dia pendosa, namun lebih mengerikan adalah para pendosa (mungkin kita) yang terus dibiarkan hidup dan tak mati-mati bahkan terus diliputi berbagai kebahagiaan. Tak “punya” anak sama sekali bukan hukuman atau ujian yang memalukan sebab kita yang diamanahi keturunan belum tentu akan berujung pada kemaslahatan.

Tak punya ini tak punya itu hanyalah sebuah permainan, sebuah skenario yang menuntut akuntabilitas atau pertanggungjawaban secara teliti. Kadang kala justru dengan ketiadaan, hidup menjadi lebih ringan walau sepintas terasa menyakitkan akibat keterbatasan demi keterbatasan. Tanpa kita sadari, berbagai hal yang kita klaim “punya kita” malah membuat kita pongah dari tujuan hidup yang sejati. Salah satunya dengan mudah merendahkan orang-orang yang tidak memiliki apa yang kita miliki dan kuasai.

31 Comments

  1. betul. tak memiliki ini itu sesuai standar kacamata orang lain bukan berarti hidupnya tak sempurna. tapi ada cerita lain dibalik itu semua

    Like

  2. Lebih kasihan lagi yang menyinyir terus menerus kang “kasihan yah ga punya ini itu” belum tentu dia punya saat ngomong begitu xixixi…

    pertanyaan diawal sulit dijawab bagiku hehehe

    Like

  3. Kadang orang berkomentar alasan untuk basa basi, padahal jadi basi beneran, alias komen ga penting. Semoga lisan ku juga bisa terjaga, sebaiknya diam saja memang kalau gak bisa komen/bicara yg baik

    Like

    1. Kadang atas nama keramahan sebagai orang baru atau kedekatan sebagai teman, mereka sering tak sadar bahwa pendapat yang dilontarkan malah menyakiti dan enggak berfaedah. Memang berat untuk tidak berkomentar aau memilih diam.

      Like

  4. Setelah membaca tulisan ini jadi diam sejenak. Merasa diingatkan kembali untuk bersyukur dengan apa yang kita miliki dan tidak terlalu berambisi memiliki yang belum dimiliki. Kisah inspiratif. Makasih mas atas tulisan bagus ini

    Like

  5. Intinya sih berbaik sangka sama Tuhan saja ya, Mas? plus jangan suka sok tahu sama kehidupan orang lain. sedikit cerita nih Mas yang terjadi di keluargaku, pernah ada mobil karena waktu itu punya anak bayi. etapi, sekeluarga malah jadi sering berantem karena mobil malah dipinjam tetangga melulu. sampai akhirnya, mobil dijual sajalah. eh, hidup malah lebih damai, sekeluarga jarang berantem. hehehe

    Like

    1. Itulah, Mbak. Kita sendiri yang jalani hidup kita, orang lain bisa berkomentar saja dan sibuk menilai. Jadi banyak bersyukur saja dan ga perlu resah dengar omongan mereka.

      Like

  6. Betul banget mas, kadang saya harus ngelus dada dibilang sebagai kontraktor karena belum punya rumah. Terima kasih mas, membaca tulisan ini saya kembali diingatkan. Apa yang kita miliki sejatinya bukan milik kita. Kita hanya memiliki kesempatan untuk memakainya.

    Like

    1. Begitulah, kita kadang tergoda untuk mengomentari orang secara negatif gara-gara kita “punya” yang orang lain tak punya. Padahal semua pinjam, hanya dapat kesempatan untuk memanfaatkan saja.

      Like

  7. Diterawang kalbu tak sampai
    Direnungkan dan ditafakurkan jawab belum didapat, hanya dua kata petuah yang mungkin mewakili keadaannya “Sedermo Ngelakoni” artikel tulisannya inspirative fuel.tks

    Like

Leave a reply to Rudi G. Aswan Cancel reply