Di tengah pandemi begini problem literasi rupanya tetap relevan. Ada yang bisa dimaklumi, tetapi lebih banyak yang disengaja sehingga bikin kita sakit hati. Mental buta huruf seolah sudah menyatu dalam kehidupan sebagian orang. Alih-alih berubah dan memperbaiki diri, mereka malah mempertontonkan tindakan abai dan kebodohan sendiri.
Sudah ditampilkan di banyak media tentang bahaya Corona atau covid19, tetap saja ada yang bandel dengan mengaku tak percaya pada wabah. Wabah virus itu tak ada, hanya konspirasi untuk menjauhkan kaum beragam dari tempat ibadah. Padahal sekelas Masjidil Haram pun ditutup sementara bahkan ibadah haji ditiadakan tahun ini.

Apakah orang-orang itu tidak membaca berita atau mengikuti kabar yang beredar? Mungkin sebagian mengidap penyakit mental buta huruf. Sudah sulit disembuhkan. Coba perhatikan beberapa level-level buta huruf sebagai berikut.
1. Tak bisa baca tulis; tak kenal aksara, tak bisa mengenali kombinasi huruf apalagi gabungan kata-kata secara tertulis. Namun mereka mampu berkomunikasi secara lisan. Ada eyang putri saya yang demikian, juga banyak ditemukan di desa-desa. Mereka lancar bercakap cakap tapi tidak secara tertulis.
2. Bisa baca tulis tapi tak mampu memahami pesan yang dimaksud dalam kalimat. Tahu bunyi dan makna kata tapi gagap menangkap ide, baik yang eksplisit maupun implisit. Mungkin kemampuan kognitifnya rendah, tak terbiasa mengonsumsi aneka bacaan yang disajikan secara mendalam.
3. Bisa baca tulis, paham apa yang dikehendaki teks tapi sengaja abai entah karena egoisme atau sebab punya kepentingan lain. Inilah yang disebut mental buta huruf, demikian mengutip Prie GS suatu waktu. Buta huruf bukan sekedar problem teknis atau semantis, melainkan merambah pada emosi dan bahkan menjadi pola pikir.
Sulit diubah atau disembuhkan. Sudah jelas tertulis, Dilarang Merokok! tapi tetap saja asyik mengepulkan asap di kerumunan seolah bukan kesalahan. Sudah tegas tercantum larangan buang sampah sembarangan, sampah plastik dan sampak organik malah menumpuk di bawah teks larangan itu. Sudah dihimbau pakai masker dan jaga jarak, tapi malah berkerumun dengan kesengajaan.
Bukankah itu mengejutkan? Atau tak lagi mengejutkan mengingat sudah menjadi kebiasaan yang terlampau lama dimaklumi atau tak sengaja malah dilanggengkan. Sungguh penyakit yang sulit diobati karena penderita tak pernah mengakui.