Kampung Abrit yang selama ini damai mendadak heboh, gara-gara Kamin yang berulah suatu petang. Sehari setelah kejadian itu, langgar Mbah Mukri tak seramai biasanya. Para jemaah bergegas merapat ke rumahnya tak lama setelah salam. Di sana orang berdesakan lantaran ingin melihat Kamin didamprat Mbah Mukri, sesepuh agama yang sangat dihormati masyarakat sekitar.
“Apa masalahnya?” tanya Mbah Mukri sembari meletakkan mok berisi kopi. Matanya mengerjap, jelas menikmati kopi Ekselsa yang dibawakan Bedjo dari Jombang. Tangan kanannya membetulkan kopiah putih, nyaris bersaing terangnya dengan rambutnya yang telah lama meninggalkan dunia hitam.

“Kamin shalatnya kacau, Mbah. Tanya saja orang-orang!” Karjuni berbicara cepat seolah mendapat amanat mewakili jemaah yang hadir. Hadirin hanya bergumam, tapi menyepakati.
“Kacau bagaimana?” ujar Mbah Mukri singkat—seperti tak terjadi hal serius walaupun orang-orang berkumpul cukup banyak.
“Masak shalat Magrib pakai sujud empat kali?! Itu ajaran dari mana, Mbah? Sesat itu.” kata-kata Karjuni meluncur cepat, penuh tukasan sementara Kamin hanya terdiam di sebelah Mbah Mukri.
Menunggu kemarahan
Semua orang menanti pecahnya kemarahan Mbah Mukri. “Rasain si Kamin!” ujar seseorang seolah tak terima pada Kamin yang sok tahu.
Mbah Mukri hanya terdiam, lalu terkekeh sebentar. Kamin ikut tersenyum saat beliau mulai berbicara serius. “… Jadi begitu ya, Dulur-dulur. Ayo sekarang kembali ke langgar, sebentar lagi masuk waktu Isya.”
Penjelasan Mbah Mukri padat dan masuk akal. Hadirin lalu membubarkan diri tanpa bersuara. Kamin bergegas mengambil wudhu setelah mencium tangan Mbah Mukri. Sambil menunggu ikamah, Kamin merogoh saku jaket untuk meraih ponsel jadulnya.
Seperti biasa, ia langsung membuka aplikasi Burung Biru. Matanya tercekat pada rangkaian cuitan yang mempermasalahkan seorang figur publik tentang definisi achievement dan privilege. “Kamu kenapa senyum sendiri, Min?” tanya Karjuni seketika. “Mentang-mentang enggak jadi disemprot Mah Mukri.”
“Enggak apa-apa, Jun. Kayaknya banyak orang yang lebih tepat diceramahi Mbah Mukri nih, hehe.” Kamin menjawab ringkas sambil bergegas masuk shaf. Mbah Mukri tampak sudah siap di mihrab untuk memimpin shalat.
Membedakan achievement dan privilege
Kisah di atas tentu rekaan belaka, termasuk tokoh yang diceritakan di dalamnya. Namun kasus empat kali sujud dalam shalat Magrib nyata adanya dan punya penjelasan yang masuk akal secara syar’i. Namun pembaca atau penonton yang mudah menghakimi mungkin akan terpancing untuk menghujat atau bahkan menyalahkan.
Logika shalat magrib yang dikerjakan Kamin dengan empat kali tahiyyat atau empat kali sujud adalah sebagai berikut. Sebenarnya lebih tepat kalau saya bilang empat kali tahiyyat karena sujudnya bisa saja mencapai delapan kali.
Saat Kamin bergabung sebagai makmum, imam berada pada posisi sujud rakaat kedua. Kamin langsung ikut tanpa menunggu imam berdiri pada rakaat ketiga. Itu tahiyyat pertama yang Kamin ikuti.
Saat imam berada pada rakaat ketiga, Kamin baru masuk rakaat pertama karena rakaat pertamanya tidak sempurna (hanya ikut sujud dan tahiyyat). Setelah imam salam, Kamin bangkit. Kamin melakukan tahiyyat yang kedua.
Sujud dan tahiyyat ketiga Kamin dilakukan pada saat dia berada pada rakaat kedua. Sedangkan tahiyyat dan sujud keempat dilakukannya pada saat ia berada di rakaat ketiga atau rakaat terakhir dalam shalat magrib.
Saya tuliskan fragmen di atas menyusul hebohnya cuitan seorang selebtweet beberapa waktu lalu yang ditanggapi serius oleh penghuni Pulau Twitter yang tak sedikit menyalahkan pendapat selebtweet tersebut. Banyak yang mengkritiknya dan menyatakan kritik dalam bahasa Inggris yang malah berisi kesalahan gramatika. Namun itu bukan urusan saya.
Saya lebih tertarik mengomentari respons warganet. Untuk itu saya akan menceritakan sepenggal pengalaman masa lalu saat masih bekerja jadi editor buku sekolah di perusahaan penerbitan di Bogor Jawa Barat. Saat menyusun buku teks, kami lazim berdiskusi sesama editor. Lalu muncullah perdebatan itu.
Articles atau adjectives?
Saya bersikukuh mengatakan bahwa a, the, an, this, dan semacamnya adalah adjective atau yang lumrah disebut kata sifat dalam bahasa Indonesia. Rekan editor lain membantah tak kalah kuat bahwa beberapa kata itu bukanlah adjective, melainkan articles atau determiners. Perdebatan yang seolah tak kunjung usai hingga beberapa pekan akhirnya mencapai resolusi suatu siang.
Kira-kira menjelang makan siang teman editor itu menghampiri saya dan sepakat bahwa kata-kata yang kami perdebatkan itu memang termasuk adjective. Demikianlah kesimpulannya setelah ia membuka beberapa kamus dan website sebagai sumber referensi. Saya tentu senang ketika dia setuju. Bukan karena berhasil membuktikan bahwa dia ternyata salah, tetapi karena dia kemudian tergerak untuk melakukan kajian pustaka dengan membaca beberapa literatur lain guna menemukan solusi.
Mestinya demikianlah yang dilakukan warganet atau penduduk Twitterland saat hendak mengomentari Jerome Polin tentang pendapatnya yang mungkin terdengar ambigu. Alih-alih langsung menyalahkan Jerome berbekal pengetahuan yang sudah mereka miliki, mereka bisa mengecek apakah privilege memiliki makna lain melebihi makna yang diperdebatkan. Ya mirip bagaimana Kamin yang diserang warga gara-gara sujud 4 kali saat shalat Magrib akibat ketidaktahuan mereka.
Dalam kamus Oxford, privilege tidak hanya punya satu makna sebagaimana diyakini tweeps yakni keistimewaan tertentu sebagai bekal untuk memuluskan pencapaian suatu hal.

Makna kedua privilege, meskipun cenderung disapproving, adalah muatan makna yang dimaksud Jerome. Inilah privilege yang orang dapatkan setelah mengenyam pendidikan atau ketika prestasi telah dicapai. Berkat achievement itu, mereka mendapat perlakuan istimewa dalam masyarakat. Setidaknya berbeda dari orang-orang yang tidak berada pada level itu, yang belum mencapai titik prestasi seperti orang tersebut.

Status sosial tak ayal membuat sekelompok orang diistimewakan dalam menjalani hidup. Orang kaya di kampung saya, misalnya, akan disediakan tempat duduk khusus di samping pas ustaz dalam berbagai kenduri. Tak ada yang berani menempati tempat itu sampai si orang kaya datang dan ngendon di sana. Itulah privilege yang dia terima setelah ia mencapai achievement sebagai orang kaya.
Makna ketiga privilege adalah kehormatan atau honor. Perhatikan contoh untuk memahami lebih baik. Sebuah perasaan bangga atau eksklusif karena mendapat kesempatan tertentu, misalnya bekerja sama dengan penulis favorit kita atau berduet dengan penyanyi legenda.

Singkat kata, kalau menilik definisi dalam kamus Oxford, pendapat Jerome tidak bisa disalahkan. Pendapat tweeps yang merisaknya pun tidak salah. Privilege itu ibarat siklus. Awalnya dimiliki seseorang yang memudahkan dia mencapai sesuatu. Misalnya dia dilahirkan dalam keluarga kaya sehingga akses pada pendidikan yang bagus pun terbuka lebar.
Privilege itu mengantarkannya pada achievement, lalu achievement yang ia cetak melahirkan privilege baru misalnya dia diistimewakan karena pintar atau sebab punya pengalaman luas.
Bagaimana, BBC Mania? Pernahkah Anda mengalami masalah serupa ketika pendapat Anda dilumpuhkan bahkan sebelum dikroscek atau dikaji dari beberapa sumber pembanding? Ataukah Anda malah turut asyik menggiring opini agar orang orang ikut menyalahkan seseorang?
Eh aku nggak tahu lagi keramaian itu di twitter, kudet ya, padahal tiap hari buka Twitter 🙂
Mengenai privilege, masih banyak orang yang salah tafsir mengenai hal itu, udah salah, trus bangga dengan kesalahan itu dan suka banget memojokkan orang yang punya privilege.
LikeLike
Privilege mengalami pergeseran makna ya mas
LikeLike
Wah, mbak.tulisannya bagus sekali.pingin sekali punya tulisan sebagus ini. Aku baru dua bulan terjunbdi dunia blog, gak tau berbakat nulia apa enggak? Sudi kiranya sekali2 mbak mmpir ke lamanku,ku tunggu saran dan masukan di emailku.
wwww.sus4hs3nyum.blogspot.com
LikeLike