Gopok dan Ngopok: Memaknai Uzlah dan Kakean Polah

Sepertinya gara-gara Mbak Pur saya kali pertama mengenal kata gopok. Putri kedua Pakde Somadi ini terkenal cantik di kampung, bolehlah disebut kembang desa. Sayangnya, orang-orang menyebut dia gampang sakit sehingga muncullah sebutan gopok.

Dalam bahasa Jawa, setidaknya di daerah saya, gopok memang identik dengan kondisi lemah atau riskan terserang sesuatu. Perasaan ini pula yang saya alami belakangan yang membuat saya tak berdaya dan terdorong ingin marah.

Bukan menolak, tapi….

Setiap dua hari sekali setidaknya saya jogging di alun-alun, ditambah aktivitas fisik di rumah, dan sesekali puasa, tapi entah kenapa sakit tetap mendera. Ya, bukan berarti saya enggan sakit atau menolak ujian bernama sakit sebab kondisi ini pun sebenarnya anugerah.

Yang sulit saya terima di akal adalah betapa badan saya ini terasa gopok, bahkan dibanding istri saya yang jarang berolahraga. Karena beban pikiran? Boleh jadi. Namun saya sudah mencoba serileks mungkin, melepaskan beban yang mungkin menggelayuti pikiran. In fact, kondisi gampang sakit itu malah jadi beban baru yang sulit dikesampingkan.

Apalagi sakit yang bagi orang lain ringan, nyatanya saya mesti ketemu dokter dan diresepkan antibiotik baru bisa sembuh betul. Saya lantas berguman: Ya Allah, seringkih inikah aku, kenapa begini banget, dan semacamnya…. Di akhir senandika akhirnya banyak-banyak berucap istigfar–entah betulan tulus atau semata mencari aman sebagai sebentuk formalitas.

Yang membuat saya terpukul dan sedih tentunya kondisi tak sehat itu lantas menyebabkan hilangnya produktivitas ekonomi alias nihil pendapatan. Padahal belakangan ini pengeluaran berkejaran selepas si sulung menetap di pondok pesantren di luar kota.

Bukan tanggung jawab baru yang kusesali, tapi kondisi diri yang memprihatinkan. Sampai-sampai aku merasa marah pada diri sendiri, bingung, dan bahkan malu pada teman-teman sampai kutinggalkan beberapa grup WhatsApp (WA) yang sebenarnya aku sudah merasa nyaman.

Mengunci mulut

Justru karena sudah dekat dan karib, aku merasa malu dan mungkin pikiranku berkecamuk enggak tahu apa yang mesti kulakukan. Kadang aku merasa kebanyakan omong atau kakehan polah (kebanyakan tingkah). Tindakan inilah yang kuhindari dengan sengaja keluar dari beberapa grup WA.

Aku tak ingin tergoda berkomentar yang menyakiti anggota lain hanya karena emosiku tidak stabil lantaran beban pikiran atau ekonomi yang kualami. Teringat ujar Gus Baha suatu kali,

“Ya sudah benar, kalau sedang enggak punya duit, mending berdiam di rumah. Lebih aman ketimbang keluar dan bertemu orang lalu melontarkan ucapan menyakitkan gara-gara ketidaknyaman kita.”

Gus Baha

Ya, setidaknya yang kulakukan kuanggap sudah tepat. Kondisi “gopok “ini akhirnya kumanfaatkan untuk menyepi dan introspeksi. Apa yang sebenarnya penting buatku, apa yang sesunguhnya kubutuhkan, terutama pola mencari rezeki yang mungkin perlu diluruskan.

Jujur saja setahun belakangan jadi saat yang menantang. Kakak tertipu investasi dan sempat pinjam uangku–meskipun enggak banyak banget. Kerabat lain pinjam sedikit, belum dikembalikan. Ada teman lain yang pinjam, enggak tega kutagih karena kondisinya pun sama-sama sepertiku yang struggling.

Ngopok saja!

Dengan pekerjaan freelance sepenuhnya, sebenarnya aku bisa dibilang teralu nekat. Apalagi anak-anak semakin besar dan butuh dana tak sedikit. Penundaan pembayaran job atau makin langkanya kesempatan meraup cuan secara online akhirnya membuatku memilih layanan Pay Later di sebuah platform yang cukup membantu tapi sebenarnya memberatkan.

Tapi biarlah, setidaknya tidak membebani teman jika harus pinjam uang kepada mereka. Kadang pinjam uang ke teman simalakama: di satu sisi tidak berbunga tapi di sisi lain tidak mudah mengutarakan maksud. Apalagi berpotensi merusak persahabatan di kemudian hari yang mungkin sudah banyak terjadi.

Langkah ini mungkin bisa dibilang ngopok, yang mirip dengan gopok dari konfigurasi hurufnya. Ngopok sendiri berasal dari kata kopok yang berarti tuli alias budek. Ngopok menandakan unsur kesengajaan untuk tidak mendengarkan komentar orang, kondisi eksternal, dan bahkan termasuk bisikan diri yang mendegradasi.

Kata ngopok kudapatkan dari seorang khatib Jumat di masjid kecamatan sebelah yang setiap bakda shalat selalu menyajikan roti dan kopi sebagai santap siang. Ya, ada kalanya kita memang harus menulikan diri, memilih tidak mengacuhkan apa yang tak kita benar-benar butuhkan bahkan saat banyak orang meyakini sebaliknya.

Selama me-ngopok-kan diri dan menyepi sementara (uzlah?), saya membantu istri yang mulai meramu masakan untuk dijual kepada siapa saja yang mau. Nasi liwet dan spaghetti sudah ada yang beli tapi tentunya tetap membuat kami waswas sebab masih baru.

Takut iya, semangat iya. Yang penting berusaha untuk enggak kebanyakan tingkah atau banyak cincong.

3 Comments

  1. Semangat Mas Rudy. Semoga bisnis kulinernya yang masih baru bisa berjalan lancar dan menjadi maju seiring waktu. InshaAllah dimudahkan segala urusan dan rejeki. Aamiin

    Like

  2. Semangat mas Rudi. Saya mau sharing ya mas. Dulu saya juga gopok banget hingga akhirnya saya terkena eksim, rasanya down banget tapi alhamdulillah kemudian saya bisa diet dan selektif selali dalam hal makan. Ternyata mengubah pola makan ini berdampak sekali pada tubuh saya. Sekarang saya tidak gopok lagi, ketika di rumah pada flu batuk alhamdulillah saya sehat. Kuncinya hanya satu, pola makan sehat. Lebih ke makanan real sih, stop camilan olahan. Semoga sehat selalu mas Rudi dan keluarga

    Like

Tinggalkan jejak