Pak Edi Belum Siap Ngopi

kopi nusantara bakpia jogja

Hidup lagi capek-capeknya, aku malah ketemu Pak Edi tanpa terduga. Jelas tak terduga karena memang pertemuan tidak disengaja, bahkan sama sekali enggak saling kenal.

“Mau ke mana, Pak?” tanyanya singkat di depan pintu masjid sementara aku berdiri sambil mengisi ponsel yang dayanya nyaris tandas.

“Ke Lamongan, Pak. Kalau Bapak ke mana?”

Ke Bojonegoro, katanya, setelah bertolak dari Kota Apel. Dia berkunjung ke Malang untuk takziah adiknya yang belum lama berpulang.

“Njenengan bawa mobil?” Lelaki yang mengaku bernama Edi itu bertanya lagi, entah serius atau basa-basi.

Saya ceritakan bahwa saya naik motor, baru saja mengunjungi anak di pondok pesantren tak jauh dari masjid tempat kami bercakap. Dia baru tahu ada ponpes di sekitar situ.

Aku masih berdiri, dia terlihat mengelus perutnya. “Tadi sempat tertidur pas rehat di tengah perjalanan. Dompet saya hilang, jadi enggak bisa makan.” Pandangannya lalu kosong, mata menyapu parkiran hingga lalu lalang kendaraan di perempatan jalan Ngoro menuju Kediri-Malang. 

Ada sisa uang yang cukup untuk minum kopi, tapi perutnya malah kembung gara-gara belum makan dan kopi seduhan yang katanya kurang matang.

Aku beranjak mendekat dan duduk di sebelahnya. “Sama, Pak. Saya pun belum makan siang.” Selepas Ashar aku berencana membungkus batagor yang ada di mulut gang masjid, tak jauh dari penjual jus yang sebelumnya kami pesan.

Cerita pun mengalir: tentang pesangon yang ia dapatkan dari pabrik di Surabaya lantas ia gunakan untuk membeli sepetak sawah dan memulai jualan sayuran.

“Sayangnya jualan sayur sedang lesu. Pun sawah hasilnya enggak bisa diharapkan,” kata Pak Edi merespons pertanyaanku.

Kami bertukar cerita seperlunya, termasuk tiga anaknya yang sudah mentas dan tinggal di luar Bojonegoro. Di rumah istri Pak Edi sehari-hari merawat anak kerabatnya. Mungkin semacam adopsi untuk meringankan beban.

Jarum jam merambat, aku enggak bisa lebih lama bertahan. Selain takut kehujanan, perjalanan Jombang ke Lamongan dengan motoran setidaknya memakan waktu 2,5 jam. Kadang 3 jam, bergantung kecepatan.

Kalau tertunda, lewat kawasan hutan jati di Kemlagi Mojokerto bisa jadi mencekam. Gelap dan sepi, hanya deretan pohon kayu putih dan tebu yang sesekali menyelingi. Belum lagi kalau kehujan di jalan berkelok dan naik turun, tentu bukan perkara ideal sebagai pilihan.

Setelah mengangsurkan selembar uang, aku pun pamit. Tentu juga dari marbut yang sudah mengizinkanku ngecas hape. Semoga uang itu cukup untuk makan atau beli bensin yang kata Pak Edi kehabisan.

Pak Edi berterima kasih berkali-kali sembari menjabat tangan. “Lah njenengan masih ada uang?” ujarnya spontan, wajahnya terlihat perhatian.

Saya mengangguk sembari menunjukkan selembar uang sisa si sulung belanja detergen di Alfamart langganan. Bisa buat ngopi di perbatasan rel kereta sebelum stasiun, pikirku. Batagor bisa kapan-kapan.

Hidup sedang capek-capeknya ternyata menghadirkan kejutan lain. Pak Edi tak perlu tahu saya pun kesulitan keuangan sebab ada teman dan kerabat pinjam. Dia juga enggak perlu tahu ada tagihan bulanan yang masih nunggak dan belum kuselesaikan.

Yang penting aku bisa pulang dan tiba di Namira sebelum azan magrib berkumandang. Yang lebih penting dia enggak kelaparan setidaknya sampai Pak Edi bertemu istrinya di Bumi Angling Dharma.

Lapar itu enggak enak, sumpah, karena aku pernah merasakan saat di perantauan. Orang lapar bukannya tidak atau belum berikhtiar. Tuhan memang ingin kita semua bersabar.

Jadi Pak Edi harus sabar untuk makan dulu sebelum menyeruput kopi. Tapi itu kalau ada yang bisa dimakan duluan. Makanya saya beruntung bisa ngopi setiap Minggu pagi di Masjid Namira sembari sarapan.

2 Comments

Tinggalkan jejak