Suatu malam saya berkunjung ke rumah salah seorang teman. Entah berawal dari mana tiba-tiba perbincangan mengarah pada sebuah kisah yang sangat membekas di hati saya. Teman saya tersebut bercerita bahwa ia mempunyai seorang teman yang bekerja di sebuah BUMN yang cukup bergengsi. Karena ini bukan sinetron yang bertele-tele, maka singkat kata, si pegawai tersebut dapat meraih jabatan yang lumayan ‘basah’ dalam waktu yang relatif cepat. Maka tak heran jika hartanya kemudian menumpuk dan terus bertambah. Mobil bukan lagi barang yang istimewa bagi dirinya. Semua orang pun salut pada hasil kerjanya dan tak sedikit yang merasa iri akan kesuksesannya.
Hidup terpuruk
Ternyata pegawai tersebut banyak memakan harta yang bukan haknya. Atau dengan kata lain, ia kerap menggelapkan uang demi kepentingannya sendiri. Bahasa kerennya sekarang mungkin: markup! Dan demi kemewahan haram itu, ia harus membayar dengan semuanya, bahkan nyawanya sendiri. Allah meminta pertanggungjawaban secara langsung begitu setimpal bahkan lebih dari apa yang sudah ia perbuat selama ini. Ini memang kisah sederhana dan mungkin sudah pernah kita dengar sebelumnya. Dan bagi Anda barangkali sekadar cerita tak bermakna. Tapi entah mengapa saya pribadi seolah dikucuri air hikmah serampung mendengar ‘dongeng’ ini.
Siapkan dari sekarang!
Cerita pendek ini segera mengingatkan kepada saya,—siapa tahu juga bagi Anda yang membaca tulisan ini—, tentang pentingnya bersikap jujur dan mengemban amanah. Mari kita ingat, jangan-jangan ada fasilitas atau benda kantor (kalau kita pernah atau bahkan sedang jadi karyawan) yang kita pergunakan bukan untuk pekerjaan, melainkan demi kepentingan pribadi atau keluarga kita tanpa seizin pemilik perusahaan. Mungkin ada waktu di mana kita harusnya masih bekerja, namun justru kita manfaatkan untuk mengobrol atau berselancar di dunia maya—kendatipun kita menggunakan ponsel dan pulsa kita sendiri, karena pada hakikatnya kita tengah berada dalam jam kerja yang sudah kita sepakati untuk pelayanan kepada employer.
Seusai mendengar cerita teman tersebut, hati saya gemetar tak keruan; seperti ditampar, atau jika meminjam salah satu lirik puisi Rendra, ibarat sambal tomat pada mata! Hanya saja rasa pedas kisah ini menohok mata batin saya sejadi-jadinya. Saya seperti dihantam dengan milyaran ton kesalahan masa silam (yes, literally) karena saya spontan teringat dulu waktu masih jadi karyawan pernah menggunakan fasilitas internet untuk kepentingan sendiri dan juga mengobrol pada saat jam kerja (terkutuklah akyu). Satu kalimat yang tergores kuat di benak saya: memang berat menjunjung amanah dan kejujuran, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Kisah pendek ini barangkali juga akan membuat kita miris melihat kondisi negeri kita yang seolah lekat dengan label negeri koruptor. Dan semua itu berawal dari sikap tidak amanah dan tidak jujur.
kisah yg inspiratif banget.. inspiratif, supaya kita tak mengikuti jejaknya.. makasih sharingnya ya.. 🙂
LikeLike
LikeLike
itulah perlunya kita mengenal diri kita sendiri, karna kalo ndak kita kenali siapa kita, selalu kita menganggap bahwa harta yang bukan pantas tuk kita miliki selalu kita upayakan untuk memilikinya sehingga segala cara kita jalankan untuk memuaskan hal tersebut.
LikeLike
Betul Mas. kita memang harus mengenal diri sendiri agar bisa mengenal Tuhan. Dan terus belajar tentunya…terima sudah berkunjung dan meninggalkan jejak 🙂
LikeLike