
SETELAH MENIKAH, SAYA menjadi gemar memasak. Selain karena suka makan, saya juga menikmati proses pembuatan makanan tertentu. Apalagi istri saya termasuk salah satu koki terbaik yang pernah saya kenal setelah ibu saya (klise ga sih?). Namun saya tidak akan menuturkan bagaimana kami biasanya memasak bersama, atau resep apa saja yang pernah kami coba atau bahkan hasilkan. Semoga di waktu lain bisa dikisahkan di blog ini. Alih-alih sekadar berpeluh saat masak, saya justru menangkap hal lain dari kegiatan mengasyikkan ini. Ada sensasi kedalaman yang menyeruak dalam hati saya yang belum pernah saya rasakan tatkala membantu ibu memasak masa-masa dulu.
Karena saya didera dengan pikiran atau perasaan ini, maka akhirnya bisikan atau getaran saat memasak itu saya putuskan untuk dirumuskan ke dalam beberapa poin sebagai berikut. Uniknya (atau anehnya?), hal-hal kecil yang saya jumpai selama memasak atau membantu memasak ternyata memberikan penyadaran kepada saya pribadi mengenai hakikat kehidupan (Nah, mulai lebai deh, haha!!)
Baiklah, singkat ucap, berikut adalah hal-hal yang saya maksud.
1. Mengupas/mengiris bawang merah
Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat mengupas bawang kita kerap harus merelakan air mata terluncur dari kedua kelopak. Barangkali ada koki atau pemasak yang tidak lagi berurai air mata saat mengupas/mengiris bawang, itu lain soal. Kita tahu bahwa bawang merah merupakan komponen wajib ‘ain dalam hampir semua masakan dalam tradisi kita (CMIIW!) Karena apa? Karena dengan bergabungnya bawang merah ke dalam satuan racikan, paduan bumbu bisa terasa semakin sedap dan nikmat. Ada sensasi kesegaran dan rasa yang unik dari anggota tumbuhan berumbi ini.
Nah, kegiatan ini menyentak pikiran saya bahwa untuk mencapai kenikmatan (baca: kebahagiaan) kita mesti berjuang dan berkorban (dalam hal ini adalah menangis karena mengiris bawang), dana seringkali pengorbanan kita dituntut lebih besar atau lebih dahsyat daripada orang lain. So, kesuksesan tidak menghampiri kita begitu saja, sob! Harus ada aksi, dan bukan cuma sekadar aksi. Harus rela mengambil tindakan yang kadang tidak mengenakkan.
2. Mengulek bumbu
Anda pernah mengulek bumbu? saya paling suka, apalagi mengulek sambal terasi. Hemmm, harumnya sampai ke ulu hati! Awalnya saya paling enggan mendapat tugas mengulek bumbu di atas cobek. Karena saya harus mengeluarkan tenaga ekstra sampai peluh harus menetes bercampur dengan bumbu yang saya ulek (makin sedaaap,hehe). Namun setelah saya tahu rahasia atau kiat sederhana saat mengulek, saya tidak lagi mengalami kesulitan. Mungkin bagi orang lain terdengar sepele dan bahkan sudah klise, namun kiat ini terbukti ampuh dan sangat membantu saya menghaluskan bumbu.
Mengulek yang baik dan benar (?) ternyata cukup sederhana. Yakni dengan cara mengulek sebagian dahulu, baru disusul dengan sebagian yang lain. Artinya, uleklah sedikit demi sedikit, dengan cara menyisihkan bagian yang terlalu besar yang berpotensi menguras tenaga kita pada satu waktu. Hal ini mencubit hati saya bahwa dalam hidup kita tidak bisa serta-merta mengeksekusi segala sesuatu dengaan serampangan tanapa pertimbangan yang matang. Semuanya harus terencana dan bertahap. Dalam hal ini, kita harus mampu membuat skala prioritas dan menentukan mana yang harus mendapat perhatian terlebih dahulu. Barangkali ini bisa disebut dengan pemetaan masalah, di mana kita menyusun rencana dan menyiapkan strategi yang jitu untuk bisa sukses mengubah rencana itu menjadi sebuah keberhasilan.
3. Waduh, santannya pecah!
Saya pernah diberi tugas oleh istri berkenaan dengan santan. Kalau tidak salah waktu itu tengah membuat kolak pisang campur ubi merah. Gara-gara tidak memahamai sebuah rahasia kecil tentang susu dari kelapa ini, semuanya jadi berantakan. Ya, santannya pecah! Memang tak serta-merta berpengaruh pada rasa kolak sih, hanya saja memang kelezatan dan kegurihan sang kolak tiada sempurna. Dari kejadian ini saya akhirnya belajar: santan membutuhkan perlakuan khusus, yakni bahwa ia tidak boleh didiamkan tanpa diaduk tatkala berada di atas api. saya baru menyadari bahwa santan merupakan bahan yang sensitif. Karena ia sensitif, maka tidak bisa sembarangan diperlakukan. Wow, ada-ada aja! Dalam hidup pun ada hal-hal yang sensitif yang membutuhkan kepekaan dan kecermatan kita sebelum mengambil sikap tertentu. Anda tentu paham apa maksud saya (ihh, kepedean amat sih..)
4. Memahami teori ‘secukupnya’
Saya paling gemes dan sedikit sebel kalau ada koki di televsi yang memberikan instruksi dalam pemberian suatu bumbu ke dalam masakan/adonan. Tak jarang mereka cukup bilang, “Tambahkan garam secukupnya,” sambil membubuhkan serbuk asin itu ke dalam masakan. Bumbu pelengkap yang biasanya erat dengan kadar ‘secukupnya’ adalah gula, kecap asin, lada, dan sebagainya. Akan tetapi, kesebelan saya segera pupus tatkala terjun ke dapur secara langsung. Karena terbukti bahwa bumbu-bumbu yang saya sebutkan tadi memang tidak bisa dirumuskan dalam ukuran baku yang cocok untuk semua masakan.
Masing-masing makanan membutuhkan sentuhan garam, atau gula dll. dalam kadar yang hanya bisa ditentukan oleh perasaan. Maka segera saja pikiran saya tersentuh oleh sesuatu: yakni bahwa komposisi seperti ini bisa juga dianalogikan dalam kehidupan nyata. Ada banyak hal (silakan pikir sendiri) yang kerap tidak bisa kita sampaikan dalam kata-kata atau diwujudkan dalam teori logis. Dalam hidup ada banyak hal yang seringkali lebih menuntut kecakapan perasaan dibandingkan pikiran kita.
5. Ini dulu, baru itu aka menjalani proses
Saya sering ditegur oleh istri karena ketidaksabaran saat melaksanakan instruksi atau arahan memasak. Apalagi masakan yang membutuhkan langkah-langkah cukup panjang. Saya enggan mengikuti perintah sebab kelamaan, maka saya putuskan untuk mencemplungkan semua bahan dan bumbu agar proses lebih cepat dan saya tak usah capek-capek menunggu. Ternyata tindakan semacam itu tidaklah benar. Karena hasil akhir makanan menjadi tidak keruan dan kacau, baik dari segi tekstur maupun rasa.
Istri saya berargumen bahwa untuk mencapai rasa makanan yang sempurna dibutuhkan kesabaran bersahabat dengan waktu dan mengamati perkembangan setiap bahan yang telah saya masukkan. Saya lantas berpikir bahwa barangkali demikian pula adanya kehidupan sehari-hari. Guna mendapat sesuatu yang hebat, kita harus sudi menjalani proses, kudu bersedia menunggu momen yang tepat sebelum melakukan ssebuah aksi besar, harus sabar melewati tahapan yang tidak mungkin dirangkum dalam satu hentakan. Bukankah tidak sedikit orang terjerumus dalam kejahatan (korupsi, misalnya) disebabkan ketidaksabaran menjalani proses dan konsisten dalam usaha?
Sampai jumpa dalam 10 Pelajaran Hidup dari Memasak (Bagian 2). Hoopla!
Mauu dong nyobain masakan ala chef Walank.. 🙂
Dua juta positif.. memasak itu adalah kegiatan yang super super menyenangkan.. terlebih kalau orang yang memakan masakan kita memberi kesan puas terhadap cita rasanya…
LikeLike
Iya betul Zoothera, memasak is a lot of fun! Sayangnya aku belum bisa banyak coba resep neh, hehe…Yang jago baru nasi goreng, hahaha…
LikeLike
Supaya ngiris bawang merah gak pake nangis ada tipsnya, rud!
1. Basahi tangan, pisau, dan cuci bersih bawang merah yang sudah dikupas. Air berfungsi mengurangi uap bawang merah yang membuat air mata menetes.
2. Lalu, iris bawang dengan posisi kepala kita tidak 90 derajat persis di atas bawang (agak menjauh dikit dari bawang), supaya uap bawang merah tidak menusuk langsung ke mata dan hidung kita.
LikeLike
Oke Mbakje, kiatnya patut dicoba neh. Terima kasih atas kunjungannya ya Mama Kai…
LikeLike
Thanks a lot for stopping by. Cheers…
LikeLike