Misteri Selembar Foto (1)

Mengetahui Mudhoiso tak bergerak lagi, Inspektur Suzana sigap mencabut radio HT dari pinggangnya. “Paramedis! Paramedis! Segera kirimkan tim paramedis ke panggung. Buto Cakil bersimbah darah.”

“Siap, Inspektur! Siap meluncur ke panggung!” Aiptu d’Conckon menjawab singkat sambil memberi kode kepada tim paramedis yang bersiaga di atas ambulans. Tim bergerak cepat dan cekatan. d’Conckon lantas memanggil dua anak buahnya dan mengajak mereka masuk menemui Inspektur Suzana.

Mudhoiso tampak semakin membeku. Darah terus berleleran membasahi busana khas musuh Arjuno. Darah juga merembes hingga ke bawah pundak dan menggumpal di dekat rambut tengkuknya. Topeng Cakil masih ia kenakan—hanya tersingkap sedikit akibat hentakan saat kepalanya membentur lantai. Wajahnya membiru dan pucat.

Tak ada harapan lagi. Begitu gumam Inspektur Suzana. Ia hanya mengangguk saat jasad Mudhoiso diangkat di atas tandu. Ketika tim paramedis beranjak pergi, Aiptu d’Conckon tiba. Dua anak buahnya segera memasang police line dan mengamankan barang bukti berupa sebilah keris yang terhempas cukup jauh dari tempat Mudhoiso roboh. Rikmo Sadhepo spontan melemparkan keris itu saat tahu bahwa Mudhoiso benar-benar tewas. Denting keris yang terhempas sama sekali tak terdengar oleh penonton karena ditelan keriuhan tepuk tangan saat layar diturunkan.

“Inspektur,” sapa d’Conckon pertanda ingin meminta arahan.

“Hmm….” Hanya itu  yang terlontar dari bibir Inspektur jelita itu. Tangannya menempel di dagu, sementara dahinya berkerut kuat. Sesekali kedua matanya mengerjap-ngerjap seolah mendapat ide atau petunjuk baru. Rambutnya yang dikucir rapi semakin menegaskan keanggunannya. Dari jauh orang akan langsung mengira bahwa ia laksana bintang film Hollywood. Walau berbeda benua, Inspektur Suzana seolah saudara kandung Sandra Bullock.

“Inspektur?” ujar d’Conckon ingin memastikan.

Karena masih tak ada jawaban, maka d’Conckon beranjak mendekati Rikmo yang terduduk lunglai di belakang panggung. Wajah Rikmo tampak begitu tertekan dan dirundung rasa bersalah.

“Anda baik-baik saja?” d’Conckon membuka percakapan. “Minum?”

“Sudah, Pak. Terima kasih.”

“Oh iya, saya Aiptu d’Conckon yang menangani kasus ini. Anda yakin tak butuh sesuatu yang lain?”

“Tidak ada, Pak Polisi. Terima kasih.” Rikmo meneguk airnya kembali.

d’Conckon tak ingin membebani Rikmo yang masih syok dengan banyak pertanyaan. Bintara cerdas ini bangkit dari tempat duduknya dan melirik ke atasannya. Ternyata Inspektur Suzana telah meninggalkan TKP. d’Conckon bisa memahami itu. Karena sang inspektur selalu punya cara untuk menguak setiap kasus yang rumit. Meskipun ini adalah kasus pertama bagi mereka yang melibatkan terbunuhnya pemeran wayang orang.

d’Conckon mengumpulkan dua asistennya dan meminta mereka untuk mengamankan TKP sampai kasus tuntas. Rikmo masih terlihat lesu, dibimbing oleh salah satu kru pementasan menuju ruang ganti. Layar panggung yang berwarna gelap tampak berkibar-kibar diterpa kipas angin besar dari ujung panggung. Seperti pikiran d’Conckon yang kalut diselimuti kabut misteri tentang kasus pembunuhan malam itu.

***

“Jadi sudah 12 tahun Anda memerankan tokoh Arjuno?”

“Betul, Pak. Sejak saya masih kuliah sampai sekarang saat sudah punya dua anak.” Rikmo menjawab pertanyaan d’Conckon dengan lugas dan jujur. Wajahnya terlihat bugar, namun masih tergores aura kecemasan.

“Selama itu apakah pernah ada masalah dengan pemeran Buto Cakil?”

“Selama 25 kali pementasan lakon yang sama kami tak pernah ada masalah, Pak.”

“Hmm…” d’Conckon bangkit dan mengendurkan simpul dasinya. “Selain Mudhoiso, apakah ada orang lain yang pernah memerankan Buto Cakil?”

“Seingat saya Mas Jembar pernah dua kali jadi Buto Cakil.”

“Siapa itu Jembar? Apakah dia masih aktif dalam setiap pementasan?” mata d’Conckon mendadak bercahaya. Seolah-olah ada pendar petunjuk yang akan menuntun pada petunjuk lain.

“Masih, masih, Pak. Jembar Radosane, atau biasa kami sebut Mas Jembar, adalah keponakan Pakdhe Bagyo yang sudah 7 tahun ikut pementasan. Dia sarjana tari kontemporer namun tertarik mendalami seni tradisional.”

“Mengapa Jembar hanya dua kali tampil sebagai Buto Cakil?”

“Menurut kawan-kawan, penampilannya buruk. Pada kesempatan kedua pun ia tak menunjukkan kemajuan.”

“Bagaimana pendapat Pak Bagyo?”

“Justru Pakdhe Bagyo yang bersikeras meminta agar Mudhoiso kembali mengambil peran Buto Cakil.”

“Begitu ya?” ujar Aiptu d’Conckon sambil menulis sesuatu di buku kecilnya. “Keris yang Anda gunakan, apakah Anda bawa sendiri ataukah ada tim yang menyiapkannya?”

“Kami para pemain tugasnya hanya menampilkan lakon sebaik mungkin, Pak. Properti dan alat sudah ditangani tim produksi.”

d’Conckon mengangguk dengan senyum tipis. “Baiklah, Bu Rikmo. Informasi Anda sangat membantu. Terima kasih atas waktu Anda. Bila Anda teringat sesuatu, apa saja, jangan sungkan hubungi saya.”

Rikmo Sadepho mengambil kartu nama itu dan menyisipkannya ke dalam tas yang ia jinjing. Seorang wanita, mungkin adiknya atau penata rias, menjemputnya di pintu keluar. Taksi biru lalu melaju membawa mereka berdua. Sebuah mobil silver perlahan bergerak mengikuti taksi itu.

***

Lelaki 34 tahun itu berpostur tinggi dan bertubuh atletis. Cambang yang tumbuh tipis di sepanjang pelipis membuatnya terlihat semakin macho dan gagah.

“Saya pernah ….” (BERSAMBUNG ke bagian 2)

20 Comments

    1. Makasih atas kunjungan Anda, Mbak Lusi. Tahan dulu ya hehe….ga enak kalo langsung tuntas 😀

      Like

    1. Sabar Mbakyu, disela kesibukan lain. Kalo diterusin dalam satu postingan, tar terlalu panjang 🙂

      Like

    1. Biar yang baca ga ngos-ngosan Bang. Siip, segera saya intip ya lanjutan misteri versi Anda. salam kenal 🙂

      Like

Tinggalkan jejak