Jengkol: Dari Cinta, Sahabat, hingga Perang Troya

/I/
Jengkol dan UN 2013
Anda tak tahu jengkol? Belum pernah lihat keping cokelat kehitaman ajaib ini? Tak pernah sekali pun mencicipi kelezatan salah satu kekayaan nabati nasional ini? Bahkan mendengarnya pun belum pernah? Kebangetan. Kata Bang Haji: sungguh ter-la-lu.

Jika sahabat mengikuti kabar tentang karut-marutnya penyelenggaraan UN beberapa waktu lalu, niscaya sahabat akan menangkap sesosok pohon tinggi yang bisa mencapai 25 m ini. Jika sahabat jeli, maka pohon jengkol sebenarnya kerap melenggang di berbagai layar televisi. Pohon jengkol ini tumbuh kokoh berdampingan dengan beberapa pohon durian dan nangka tepat di sisi pintu masuk percetakan. Bagaimana saya bisa tahu? Tentu saja, lantara saya pernah 2,5 tahun wira-wiri melewati jalanan ini. Saya pernah bekerja di sebelah kantor percetakan ini beberapa tahun silam. Sssst, jangan bilang kawan media ya, tar saya diwawancara lagi, haha 🙂 (mulai error!)

/II/
Serba jengkol: dari rasa turun ke hati
Selama bekerja di kantor itulah saya mengenal jengkol. Di Jawa Tengah atau Jawa Timur tak pernah saya temui makanan ini. Apalagi di media atau acara televisi jengkol kerap dikaitkan dengan bau yang tidak senonoh dan cenderung ndesit alias ndeso bin kampungan.

Di kantor ini setiap hari hampir saya bisa endus jengkol dalam aneka sajian. Pada pagi hari, saya bisa menyantap rempeyek jengkol yang ternyata sangat lezat untuk menemani nasi kuning. Apalagi bila nasi kuning disiram dengan sambal kacang yang gurih. Wow, sungguh sarapan yang menawan! Awal saya suka makan jengkol adalah karena teman seruangan juga menyukainya. Saking lekatnya dia dengan makanan berbau khas tersebut, teman asli Ciamis ini sampai dikenal dengan UJ alias ustad jengkol.

Lalu ada satu lagi temen asli Cijeruk Bogor yang juga sangat menggemari aneka masakan jengkol. Maka saya pun lama-lama tergoda untuk mencicipinya dan akhirnya menyukainya apa adanya. Halah, apaan sih!

Nasi hangat pun cukup!
Pada siang hari, di kantin kantor biasanya tersedia menu jengkol yang dimasak balado. Ahak ahak, ueeenak pol!!! Irisan cabe merah dan tomat yang merekah itu sungguh membuat hatiku meleleh. Maka sajian ini juga menjadi favorit kami selain soto daging dan ikan kembung. Minumnya es jeruk manis. Plus lalapan mentimun atau daun pintu, eh, maksudnya daun apa gitu…. Ga tau namanya. Bentuknya kayak daun karet tapi lebih kecil. Dicocol ke sambal terasi sangat aduhai rasanya. Lidah langsung menari hula-hula. Jigong rontok pun tak terasa—malah menambah gurih hidangan yang lumer di mulut, wakakakaka 😀

Pada malam hari, jengkol yang enak ya direndang. Walaupun siang atau pagi hari pun tetap lezat markotop! Rendang jengkol enaknya disantap dengan nasi putih hangat. Tanpa tambahan lauk pun, saya dijamin menghabiskan satu bakul, xixi. Sampe bakul tetangga pun saya embat (ngembat bakulnya lho ya, bukan nasinya) Dasar nggragas!

Selain gorengan yang disisipin irisan jengkol, rendang, dan balado, ada pula semur jengkol yang tak kalah lezat. Semur jengkol tentu serasi dengan nasi uduk karena nasi uduk sudah gurih dari sononya. (Sono mana? Yang jelas, dong!) Biasanya semur ini ditemani tahu-tempe dan sambal tomat atau sambal kacang. Menyantap ini sebelum para karyawan datang sungguh maknyusss. Menyendok lempengan jengkol yang krenyes-krenyes sungguh tiada bandingan. Belum lagi ditambah kerupuk rasa jengkol. Hadeuhhh, dijamin lupa daratan dah, haha. Lebayyyy….

/III/
Cinlok dan Rawa Belong
Tak disangka tak dinyana saya ternyata jatuh cinlok sama temen seruangan. Tapi bukan sama UJ si ustad jengkol lho ya. Eike lekong tulen, bo! Wanita yang akhirnya saya nikahi (kok mau ya?) ini ternyata jago menyulap jengkol menjadi hidangan lezat. Ibunya yang asli Yogya sangat piawai meracik aneka hidangan, tak terkecuali jengkol. Akhirnya, setelah menikah, saya sering dimanja dengan olahan jengkol oleh istri. Bisa berupa semur, balado jengkol plus ikan kembung atau tongkol, atau rendang. Khusus rendang kayaknya belum pernah deh, haha. Tinggal tunggu momen yang pas aja buat bikin rendang jengkol.

Kalau kami kangen jengkol, namun tidak sempat atau malas mengolah jengkol, kami segera meluncur ke daerah di dekat BNI Kebun Raya Bogor. Tepat di depan Masjid At-Taufiq terdapat sebuah warung tenda yang menjajakan semur jengkol. Warung ini berlabel “Rawa Belong” dan buka jam 5 sore, tutup pukul 12 malam.

Bukan Betawi, tapi Tegal
Biasanya kami menyantap jengkol cs selepas shalat magrib. Duduk tenang, jengkol pun segera tersaji karena penjualnya sudah mengenal kami sekeluarga. Rumi yang baru berumur 3 tahun pun sudah akrab dengan hidangan jengkol. Selain fasih mengucapkan kata ‘jengkol’, Rumi juga sangat menggemari makanan dengan bau khas ini. Saking hafalnya, dia sering menceletuk di keramaian, “Jengkol. Jengkol enak!!” Memasuki warung tenda, ia segera meminta satu kursi untuk ia kuasai.

Sajian jengkol di kedai pinggir jalan ini tidak terlalu kuat baunya. Konon bila dimasak dengan benar, maka aroma khas jengkol menjadi tak terlalu menyengat. Lebih-lebih akan cukup aman bila harus membuang ‘sampah cair’ di toilet orang yang menjadi recycle bin, haha. Kalau di kamar mandi sendiri sih tak masalah.

Kami pikir pemilik kedai ini asli orang Betawi karena mengusung daerah yang ada di Jakarta. Selidik punya selidik, ternyata satu kompi keluarga penjual ini berasal dari Tegal. Jadilah kami sering menyisipkan percakapan dalam bahasa daerah alias bahasa Jawa. Makan malam jadi terasa gayeng dan nikmat, sembari menunggu bedug Isya. Eh, ga ada bedugnya ding!

Paling lezat se-Bogor
Sependek pengetahuan kami, jengkol di Rawa Belong inilah yang paling nikmat di antero Bogor. Walaupun diracik oleh tangan orang Jawa, namun rasa dan cita rasanya sungguh Betawi banget. Paling tidak, demikian ujar istri saya yang besar di Jakarta dan telah malang melintang di dunia perjengkolan, wkwkwk! Belum lagi bila kami memesan empal goreng, beuh! Dagingnya empuk dan rasanya guriiiih. Telur yang dipindang juga sangat menggugah. Plus kari ayam yang legit banget dagingnya. Lalu ada ati ampela (sering saya hindari), tempe goreng, telur dadar, dan dua pendukung yang tak boleh dilewatkan: sambal kacang dan emping melinjo!

Disantap pas hujan malah sangat pas. Walaupun laju angkot yang ngebut kerap menyemprotkan air jalanan ke kaki, namun kelezatan jengkie cs di sini bisa bikin lidah kelenger. Mata merem-melek lebih nyaman ketimbang dipijit di spa semahal apa pun. Lebayyyy lagi …. :p

/IV/
Jengkie dan sahabat
Kira-kira akhir tahun lalu seorang sobat narablog mengajak kopdar di Bogor. Bersama suaminya ia akan berkunjung di salah satu kedai mi ayam di Cibinong. Saya tentu laangsung mengiyakan. Cerita lengkap kopdar pernah saya tuturkan di sini. Yang mengesankan dari pertemuan kedua kami itu adalah bahwa Mbak Niken alias Bunda Lahfy ini ternyata sengaja memasak rendang jengkol untuk saya dan istri. Pagi-pagi saat saya membuka akun facebook, Mbak Niken mengunggah deretan keping jengkie yang sudah berlumur bumbu lezat. Sedapnya lebih menggiurkan ketimbang lempengan emas atau embak, wahahaha. 😀

Harus saya akui, itu adalah salah satu rendang jengkie terlezat yang pernah kami makan. Secara, gratis gitu loh, haha. Sepiring rendang jengkie itu hanya bertahan untuk 2 kali makan. Hmm, bisa dibayangkan betapa candunya kami sama jengkie. Sayangnya, sampai sekarang belum disusul dengan rendang jengkie yang lain, haha. Apa kabar, Mbak Niken? 🙂

Di jagat blog atau di kalangan warga WB (Warung Blogger), saya kini dikenal sebagai pecinta jengkie yang fanatik. Saya bahkan pernah memasang sepiring rendang jengkie sebagai foto profil akun fb. Padahal itu kiriman Bunda Lahfy. Pokoknya setiap ada yang menyebut jengkol, langsunglah diasosiasikan ke saya. Padahal saya ga gitu-gitu amat sih. Kalau ada ya dimakan, kalau enggak ada ya cari-cari, hehe. Kalau gratis dan halal mah, ayuh aja!

/V/
Jangan sampai jengkolen
Kalau tak salah, nama latin jengkol adalah Pithecellobium lobatum. Orang Barat menyebutnya dengan Archidendron pauciflorum atau dogfruit. Sementara di Indonesia kita mengenalnya dengan sebutan jengkol atau jering. Jengkol sendiri masuk dalam keluarga kacang polong, Fabaceae, dan merupakan tanaman asli Asia Tenggara. Daunnya rimbun, buahnya gepeng bundar polong, rumpunnya berbelit, biasanya berisi 5—7 biji.

Harap diingat bahwa meskipun jengkol rasanya lezat namun konsumsi berlebihan bisa menyebabkan kejengkolan. Atau kita menyebutnya jengkolen, yakni rasa sakit saat buang air kecil. Oleh karena itu, harap kendalikan diri saat menghadapi jengkol. Jangan terbawa nafsu. Dan perlu dicamkan bahwa jengkol ternyata termasuk makanan mahal. Tidak jarang saya sulit menemukan semur atau rendang jengkol di warung langganan akibat mahalnya jengkie yang meroket seperti harga daging. So jangan macam-macam sama jengkie ya!

/VI/
Achilles dan Perang Troya
Sebagaimana saya tulis di atas, orang Barat menyebut jengkol dengan Archidendron pauciflorum. Disebut demikian karena ada sebab musababnya, sob. Mungkin hanya sedikit orang yang tahu bahwa jengkol bukan hanya endemik di Asia Tenggara. Menurut catatan Herodotus, yang kita kenal sebagai Bapak Sejarah Modern, jengkol telah ditemukan dan dimanfaatkan orang sejak masa Yunani Kuno.

Nama Archidendron pauciflorum diambil dari Achilles, nama tokoh Perang Troya yang sangat masyhur dengan kekuatan dan ketangkasannya dalam berolah fisik. Achilles sangat diandalkan saat pasukan Yunani merangsek Kerajaan Troya. Konon kekuatan fisik tersebut diperoleh Achilles berkat kegemarannya memakan tanaman sejenis polong yang berbentuk kepingan. Tumbuhan tersebut tak lain adalah jengkol yang kita kenal pada masa kini. Saat masih bayi, ibunya memandikan Achilles di sungai ajaib dengan tujuan menjadikan si bayi hidup langgeng. Di sepanjang sungai tersebut terdapat pohon-pohon tinggi dan berdaun rimbun. Akarnya merambah hingga ke dasar sungai.

Pohon keabadian
Orang Yunani memanfaatkan daun-daunnya untuk mengobati luka dan sebagai rempah. Para wanita melumurkan daun yang sudah ditumbuk pada muka untuk mempertahankan kecantikan. Namun baru Achilles-lah yang berani memakan buahnya dan tumbuh sehat serta kuat. Sejak saat itu orang menyebut buah itu dengan Archidendron yang berarti Achilles yang memiliki serat syaraf yang kuat. Sedangkan pauciflorum berasal dari kata paucity yang berarti kelangkaan, dan florum artinya bunga. Saat Achilles berusia 11 tahun, terjadi kelangkaan pangan yang luar biasa. Orang akhirnya mengolah berbagai makanan dari jengkol yang tumbuh subur di sepanjang sungai Arachthos.

Seperti kita ketahui, Helen istri Menelaus dilarikan oleh Paris ke Troya. Saat Menelaus dan Agamemnon adiknya menggempur Troya, banyak orang salah mengira bahwa mereka hanya melampiaskan dendam atas diculiknya Helen. Sedikit yang tahu bahwa ada jutaan bibit pohon jengkol yang diangkut dalam kapal Pangeran Paris. Masyarakat Yunani yang sudah menganggap jengkol sebagai pohon keabadian dan penyelamat kelaparan tentu tak bisa menerima aset penting mereka diboyong ke Troya dengan cara keji yakni dicuri.

Aset vital kerajaan
Agamemnon menganggap pencurian pohon ini sebagai mimpi buruk karena bisa menjadi ancaman berbahaya bagi Sparta oleh Troya. Maka selain perang demi harga diri, Perang Troya juga pecah sebagai akibat masalah ekonomi/pangan.

Sejarah mencatat bahwa Troya akhirnya bisa dibumihanguskan setelah pasukan Yunani menyerang selama sepuluh tahun. Mereka menumpang Kuda Troya yang sebenarnya berisi pasukan pilihan dan terlatih. Para prajurit yang berdiam dalam Kuda Troya ini bertahan hidup dengan mengunyah dedaunan Archidendron pauciflorum atau jengkol yang telah dikeringkan, dan ditambah dengan lumuran madu serta cairan anggur. Banyak sejarawan menilai bahwa kekuatan prajurit Yunani memang berkat khasiat dedaunan jengkol.

Masih misteri
Saat Troya akhirnya hancur dan rata dengan tanah, pasukan Agamemnon menduduki kerajaan dan mengambil alih pemerintahan. Sementara Achilles yang jatuh hati pada gadis biara Troya tewas mengenaskan. Untuk mengenang kekuatan Achilles, jasadnya lalu diawetkan dengan cara dibalsam dengan taburan bubuk kayu jengkol dan dilapisi daun mint. Sementara luka-lukanya, setelah dibersihkan, ditetesi dengan getah jengkol yang dicampur akar anggur dan akar pohon lilak. Sayangnya, hingga saat ini belum ada sejarawan yang menemukan di mana mumi Achilles disembunyikan.

/VII/
Daripada bingung, mendingan kita gemar makan jengkol, Sob! Salah satu tumbuhan lokal yang bergizi tinggi. Dan bepolusi bau tinggi pula, haha. “Mari jengkolkan jagad maya,” begitu pesan Oyen. Inilah semua hal yang bisa saya ceritakan tentang jengkol untuk Oyen, yang mbaureksa Kampung Jengkol.

CATATAN: Bagian VI hanya karangan saya, bertujuan menghibur semata. Maaf ya yang tertipu, Peace ah :D!

Tulisan ini ditampilkan untuk ikut menggegerkan Hari Jengkol ketiga

56 Comments

  1. beuhh, untung masih kurang 9 menit 8 detik jamnya kampong jengkol, kalo kagak uda Oyen bumihanguskan naskahnya. yo wes, di lap sek eluh e, uda dicatet jadi peserta sama Mumun. makasi partisisapinya 😛

    Like

    1. Ada sensasi tersendiri sebelum detik-detik penutupan. Jamnya Kampung Jengkol merek apa sih? Jangan buru-buru, lagi makan jengkol neh, haha 😀

      Like

      1. bukannya kayaknya. uenak tenan.. menu jengkol favorit khas bekasi, selain semur, gule, atau dicabein.
        apalagi kalo jengkolnya tua dan legit.
        direndam dua hari, biar gak bau…

        ah sampe ngeces gue ngetiknya.

        Like

  2. aiishhh, sebegitu fanatiknya sama jengkol. jujur dame tidak masuk tipe penyuka jengkol, doyan sih doyan tapi kurang suka. jadi pingin liat njenengan makan jengkol, hihihi

    salam hangat dari bandung, ^_^

    Like

    1. Saya juga sebenarnya ga gitu-gitu amat sih, Mbak. Cuma ini kan ikutan kontes, jadi sengaja dibikin lebay gitu, wakakaka–ngeles! 🙂

      Salam dingin dari Bogor. Brrr…

      Like

  3. Eealaah…
    Ini jengkol bisa sampai perang Troya segala. Itu Achlles suka rendang jengkol ga ya? Kalau suka biar sekalian aku masakin ntar kalau mas Belalang ke rmh. :p
    Ooh, jengkol Rawa Belong tuh ada di Bogor. Kirain di Rawa Belong dekat Binus. Di sana juga ada lho warteg yg sedia menu jengkol. Kayaknya warteg itu rame kok. Apa cabangnya ya? Tapi ya ga tau ramenya karena jengkol atau empal daging. Wkwkwk.
    Ciyuuss niih rendang jengkol buatanku terlezat yg pernah mas Belalang dan kel makan? Pantesaaaan, jadi meninggikan kadar persahabatan dan sampai ada hadiah yg luar biasa itu buat aku. Cihuuuyy…!!
    Rupanya penasaran banget sama masakanku yg satu itu ya. Pokoknya kalau ga ke kemanggisan ga akan dimasakin lagi ah. Janji doang main ke kmgsn :p.
    Ayo bunda Xi, Rumi, Bumi, ajak ayah Xi ke rumah bunda Lahfy kita berjengkol ria..! Yiiihaa…! Tooss Rumi! Lendang Jengkol bunda Afy mantaaapp (y).

    Like

    1. Bunda aku belum suka Jengkol, hihii…baca tulisannya Mas Belalang kok jadi pena dan saran *kalau rempeyek Jengkol, rasanya sudah hilang belum tuh si Jengkinya? ahihiii

      Like

      1. Yang saya sebut rempeyek jengkol itu adonan tepung beras yang dikasih irisan jengkol kecil-kecil, Mbak Astin. Baunya sih sudah tak kuat, tapi rasanya enak kok 🙂

        Like

    2. Achilles ga suka rendang jengkol, Mbak. Katanya sih doi lebih seneng duit aja. So tar siapin duitnya ya buat saya sampein ke dia 🙂

      Iya Mbak, Rawa Belong judulnya, tapi ada di Bogor. Warteg ya? Kapan-kapan ke sana yuk!

      Ciyus enak, Mbak. Tapi imbalannya jelas bukan karena rendang jengkie itu loh. Tapi berharap dapet hadiah bali *s*s, hehe 😀 Insya Allah nunggu momen yang pas Mbak. Tar kalau saya ambil hadiah GA ya sekalian 🙂

      Like

  4. waseeem , kirain yang nomer VI beneran, jebul mung apus2.

    eh, di kebon temen saya di sini banyak pohon jengkol juga lho *gakditanya

    Like

    1. Haha, maafkan daku, Mbak. Tiba-tiba kepikiran buat nyisipin cerita itu 🙂 Oh, ada juga ya temennya yang punya jengkie di kebonnya. Boleh dong minta sejuta pohon, walahh :p

      Like

          1. biar mambu asal ga laku, wkwkwk…iki kok komentar berantai sih. sengaja neh biar 2014 dapet paket gratis lageeh, beuh! 😦

            Like

    1. Bwahahaha….maaf ya Mas, sekadar penyedap cerita biar lebih mewah, hehe. di-Jangan di-forward, Mas, Tar saya dikira Eyang Kabur lantaran suka mengaburkan sejarah, hehehe

      Like

    1. Setuju, Teh. Bunda Lahfy katanya emang jago bikin rendang jengkie. Eh, ternyata itu pake bumbu instan (sensor!). Ayu atuh kopdar. Tempo hari sombong amat ga kabar-kabar pas ke kang Haris. Salam buat Olive ya! 😀

      Like

  5. Ckckckck…… Tyt si jengki sdh merambah smp tanah Yunani… Kira2 jengki mutlak pny org Indonesia. & yg lbh keren lg Rumi n bumi tyt bermula dr jengki……. Mangstaaabbbbb 😉

    Like

    1. Eh, itu keterangan palsu loh, jangan dipercaya. Udah pernah menyantap rendang jengkie belom? Haha B)

      Like

  6. rasa jengkoL sebenernya uenak namun banyak orang menghindarinya karena takut baunya akan mengganggu lingkungan sekitar, orang indo pada pedulian kok

    Like

Leave a reply to Rahmat Cancel reply