Pada tahun 2008 (mungkin pertengahan), saya mendapat kiriman buku puisi dari seorang teman yang sudah malang melintang sebagai penyair dalam jagat kesusastraan Indonesia. Buku mungil dengan desain sampul yang manis itu diberi label Surat Hening—merujuk pada salah satu sajak dalam antologi tersebut. Puisi-puisi dalam kumpulan itu menurut saya cukup subtil dan lembut sekali bertutur tentang banyak hal.
Suatu malam di penghujung 2008, saya tak tahu kenapa tiba-tiba menyalakan komputer dan mencoba ‘menerjemahkan’ tiga buah puisi pendek. Tak jelas mengapa saya memilih tiga puisi tersebut. Saya sama sekali tak punya pretensi untuk bisa mengalihkan puisi tersebut ke dalam bahasa asing. Jadilah ketiga puisi tersebut saya tampilkan di sini, yang sebenarnya pernah saya pajang di note Facebook. Tak tahu apa maksud dan tujuan saya memajangnya. Saat itu yang saya tag juga cuma penyair yang menggubahnya.
Sebagai catatan, ketiga puisi itu mungkin saja justru puisi baru dan tidak serta-merta terjemahan yang mewakili puisi aslinya dalam versi Indonesia. Sebab saya kdang berpikir bahwa puisi hampir mustahil diterjemahkan ke bahasa lain.
Jadi, selamat berakhir pekan dan icip-icip puisi berikut. [Puisi versi asli akan saya unggah dalam postingan terpisah]
THE SILENT LETTER
you’ve learnt there how
gloom and glow conspire with
the beauteous mist
to take cold away. the subtlest touch
is creeping through the whole emotion
we enjoyed the salutation from the toe
slowly grasping the joints of the sea
and in our own fontanel it ends finally
I bet you know, we’ve traveled a while
through that story of hike
we thus for centuries wandered all over the lands of indictment
it
is the quietest passage of butterfly
THE MIST IN AGE’S CLUTCH
The red deer that once
wandered all over those fantasies
will come here no more. only does the mist
squeeze the jungle in the body
You witness that those dried leaves
won’t turn green anymore
Just like a boat
Time flashes away, not allowing the age
to be back shining
And we were deeply absorbed
in our past memory
The red deer that leaped up last night
in my dream
has become the newspapers’ headline
It gets more obvious
it is difficult for coat and peat
to become a tree
as you know certainly
THE WAVE OF ESTUARY
to You the quake is silenced and storm remains a whisper
as they are
returning to water through the silence. Here come
I let the blood flow to Your fragrant estuary
as far as the way downstream
I have spread seeds of tree and purified every pond
thus You turned down dust and flood rage
till the whole universe hushes in veneration
come on!
be still, hey joy. be calm, hey misery
let us all come close to the Capital of unvarnished estuary
Puisi karya Herry Lamongan
Uuuuuuhh…jangankan pakai bahasa asing, pakai bahasa sendiri saja tidak bisa … jadi sedih …huhuhu
Kasih jempol banyak untuk puisi2 di atas 👍👍👍👍👍👍👍👍
LikeLike
Teman saya itu memang jago dan sudah sangat berpengalaman menulis puisi, Teh. Dua kali dia memenangkan sayembara penulisan puisi untuk anak sekolah tingkat nasional yang hadiahnya puluhan juta itu 🙂
LikeLike
ngga ngerti 😦
LikeLike
Puisi aslinya ada di postingan berikutnya, teh 😉
LikeLike
Bacanya pakai bawa kamus behehe
LikeLike
Mbak Nunu, versi Indonesianya saya tampilkan dalam postingan berikutnya kok 🙂
LikeLike