Menulis Buku dengan Ponsel, Kenapa Tidak?

Mengabadikan ide atau kenangan dalam bentuk tulisan kini semakin mudah. Dengan bantuan komputer meja atau komputer jinjing, kita bisa bebas menuliskan apa saja, hampir kapan saja dan di mana saja. Bagi yang tidak punya akses ke komputer, jangan berkecil hati. Sebab kita bisa memanfaatkan ponsel atau hape untuk mencatat setiap lesatan ide yang melintas di otak.

Georgina Campbell asal London telah membuktikan bahwa ponsel pintar Blackberry miliknya bisa mengantarkan dia melahirkan sebuah novel. Dia menulis kapan pun ia punya waktu luang. Begitu pun dengan istri saya. Serampung melahirkan anak kedua kami, ia seolah “dihantui” oleh sesuatu. Ia resah dengan kecenderungan orang yang berlibur harus ke mal atau pusat perbelanjaan atau wahana permainan khusus yang berbiaya cukup mahal. Setidak-tidaknya hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu.

Ia ingin berbagi ide liburan yang bisa dikerjakan di mana pun dan kapan pun sesuai kemampuan. Ia menyebutnya ide liburan yang asyik dan kreatif.

Ini buktinya!

Nah, berbekal ponsel ZTE Freddo dengan layar selebar 2.8 inchi ia pun menuangkan unek-uneknya. Sistem Android yang terbenam di dalamnya terbilang jadul, yakni versi 2.2 atau yang beken dikenal dengan Froyo. Syukurlah, kejadulan OS ternyata tak menghalangi saya menginstal program Word gratisan. Walaupun layar masih resistif, namun cukup responsif untuk menuliskan setiap kata yang diperlukan.

Makasih ya ZTE!
Makasih ya ZTE!

Prosesornya, tahun 2012 silam, boleh jadi masih terbilang lazim. Bila dibandingkan dengan ponsel pintar saat ini yang kecepatannya mencapai 2 Ghz, tentu ia jauh tertinggal. Karena kami tidak suka bermain game atau menjalankan program yang berat, maka prosesor ARM11 600 MHz ini sudah sangat memuaskan kebutuhan untuk menuangkan ide yang mendesak-desak. Adapun Internet kami pakai untuk membuka email dan browsing, juga mengakses media sosial, cukup lumayan!

Di sela waktu mengasuh Bumi awal 2013, bahkan saat memberi ASI, istri terus menulis dan akhirnya berhasil merampungkan naskah hingga tuntas sebanyak 36 bab. Setiap selesai menulis beberapa bagian, saya lalu memindahkannya ke dalam memori laptop. Bagian itu lalu saya edit agar tampil enak dibaca. Demikian seterusnya sampai seluruh isi buku komplet.

Begitu naskah lengkap, kami cari judul yang pas dan segera mengirimkannya ke beberapa penerbit. Kerja keras pun terbayar. Salah satu penerbit dari Bandung melirik dan setuju menerbitkannya menjadi buku tahun 2014 kemarin. Dan voila, inilah penampilan buku yang saya maksud.

with the book

 

Nah, bila Sobat pembaca punya ponsel, manfaatkan untuk mendulang rezeki, salah satunya dengan menulis buku. Semoga royalti di bulan September nanti cukup untuk berlibur ke Maldives atau Tibet, hehe. Ngimpi! Yuk nulis, yuk! Sesederhana apa pun ide kita, bagikan kepada dunia, asalkan punya potensi manfaat. 😀

 

 

32 Comments

    1. Iya, sekadar berbagi kegembiraan aja, Mbak. Siapa tahu ada yang punya ponsel lebih canggih, bisa tuh dipakai buat menulis. Saya doakan semoga bisa terwujud, Mbak. Asal didasari tekad kuat, bisa! InsyaAllah. Ganbatte!

      Like

    1. Mata istri saya silinder, Mbak Hanna. Ya kalau ga kuat di depan layar digital, bisa ngaso sejenak bila capek, Mbak. Atau pilih buku catatan seperti menulis diari tempo dulu, Mbak 😉

      Like

  1. Wahhh… aku belum pernah nyoba nulis panjang2 pake ponsel.. palingan nulis puisi asa.. Keren ya kalau bisa karena bakal bisa nulis dimanapun.. 🙂 Selamat buat istrinya mas.. Semoga bukunya laris manis dan menginspirasi banyak orang tentang liburan 😀
    Salam

    Like

    1. Nulis puisi bagus juga tuh, nanti kalau sudah terkumpul banyak bisa dibukukan, Mbak. Dan bila menulis naskah, tak harus panjang-panjang kok. Yang penting telaten, sedikit sedikit lama-lama jarinya sakit, hehe. Bila capek ya rehat dulu, dilanjutkan saat sudah segar kembali.

      Like

  2. Salut banget dengan istri mas Rudi. Kereeeeennnn…….
    Saya kalau nulis pakai touchscreen sering dilanda perasaan jengkel karena typo. rasanya pengen banting hp-nya. Kebayang sabarnya. dan….. lentiknya jemari. hihi…. semoga bukunya laris manis sehingga royalti mengalir deras. Aamiin

    Like

    1. Biasa aja kali, Mbak!*kibasin poni* 😀 Mungkin banyak juga di luar sana penulis yang pakai ponsel untuk mencatat idenya. Soal typo, jangan salah Mbak. Tentu terjadi. Nah itulah tugas saya untuk merapikan. Namanya papan ketik model sentuh tak dimungkiri bikin kita salah pencet atau kebanyakan huruf.

      Daripada dibanting, lempar ke saya aja, Mbak. Saya tangkap! Jarinya mah standar orang Indonesia, hanya memang harus pelan-pelan, sabar kalau ada yang salah musti dihapus, terus lupa idenya, hehe.

      Ya Mbak, terima kasih banyak atas doa Mbak ya. Semoga usaha Mbak dan suami semakin sukses!

      Like

  3. Hp saya jadul, Nokia ASHA. Pernah coba ngetik sistem 11 jari. Jempol kanan dan kiri. Terasa berat dan sering salah ketik. Mungkin yang sistim tuts-nya yang mirip keyboard lebih nyaman

    Like

    1. Saya juga pakai Asha yang dual input, Mas. Yang layar sentuh sudah ga terlalu responsif, jadi buat ngetik tetap pakai yang keypad fisik. Ga telaten juga, hehe. Kalau sekarang mungkin bisa dengan phablet yang bentang layarnya di bawah tablet dan di atas ponsel, jadi lega pas buat ketik-ketik.

      Like

    1. Istriku doang yang keren, Mak? Huasyeeem…mesti mburine rak penak 😦
      Alhamdulillah, memanfaatkan yang ada. Hayuk atuh. Di rumah masih ada stok buku ini. Sekalian barter ma bukumu yang terbitan TS ya? Mangga ka inbox. 🙂

      Like

Leave a reply to belalang cerewet Cancel reply