Kalau ada satu kata penting yang harus disebut untuk mendefinisikan hakikat kehidupan, itu tentulah integritas. Ya, Integritas! Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memuat kata integritas dengan pengertian sebagai berikut.
in·teg·ri·tas n mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran;
Saya mencatat beberapa kata kunci dari definisi di atas: mutu, kesatuan, dan kejujuran. Mutu seseorang ditentukan seberapa kuat dia menjaga integritas. Integritas membuat seseorang menjadi utuh, menyempurnakan dirinya sebagai manusia dengan potensi kebaikan. Seseorang yang punya integritas akan berlaku jujur; senantiasa selaras antara ucapan dan tindakan. Singkat kata, bahasa kerennya mungkin to walk the talk. Dan iman turut membentuk elemen integritas ini.
Orang yang mengaku berintegritas akan menepati apa yang sudah ia tetapkan sebagai idealisme hidupnya. Integritas bukan sekadar ucapan belaka, melainkan kesanggupan untuk bertindak tepat sesuai dengan yang ia yakini sebagai kredo, cita-cita, nilai, dan sebagainya. Integritas akan tampak saat seseorang diuji untuk bertindak.
Dicegat Lelaki Tak Dikenal
Untuk memperjelas makna integritas, izinkan saya cuplik beberapa kisah nyata sebagai berikut. Seorang pembicara publik, pembawa acara, penulis, motivator, juga budayawan mbeling pernah dihadapkan pada pilihan sulit. Ia mati kutu saat turun dari panggung acara lalu dihadang seorang penonton. “Saya kehabisan uang. Anak saya mau dioperasi. Saya memberanikan diri meminjam uang Anda karena saya percaya Anda baik hati. Setidaknya, begitulah perasaan saya sehabis nonton Anda di TV!” pinta si pria memelas tetapi tampak serius. Betapa kalut sang pembicara ini. Amplop berisi honor yang ada di tangannya sedang diperebutkan. Normalnya dia akan menyerahkan kepada sang istri untuk menambah kebutuhan hidup. Namun kini lelaki asing ini tiba-tiba muncul meminta belas kasihan.
Sang motivator, sebagai manusia biasa, tentu gamang. Bila amplop dihibahkan kepada lelaki itu, bagaimana ia akan menghadapi sang istri? Bila amplop tetap dipertahankan, bagaimana pula ia bertanggung jawab terhadap nilai-nilai kebaikan yang tadi ia khotbahkan di depan pemirsa televisi? Kebaikan-keburukan pun bergulat, berusaha saling meruntuhkan. Motivator jenaka ini pun lantas merelakan amplopnya berpindah tangan kepada lelaki yang entah datang dari mana itu. Inilah integritas sejati–menguatkan diri untuk sejalan dengan perkataan. Walau sulit, walau berat.
Dilema Honor Besar
Tokoh kita ini masih punya satu kisah unik lain. Saya lupa menyebutkan bahwa dia juga seorang kartunis yang kerap mengisi di kolom-kolom gambar majalah atau koran. Dahulu sebelum dia terkenal, tentu saja hidupnya tidak seindah sekarang. Saat masih menggelandang di Jakarta bersama teman-teman kartunis lainnya, hidupnya miris bin tragis. Lapar seolah menjadi bagian dalam kamus hidupnya kala itu.
Keadaan berubah saat surat panggilan dari sebuah majalah menghampirinya. Girang tentu saja sebab dia akan kaya raya berkat honor kartun yang dimuat di majalah tersebut. Begitu pikirnya. Berbekal utang sana-sini, plus janji pengembalian berlipat, dia pun menumpang bus kota menuju kantor redaksi. Setiba di kantor majalah, ia diterima oleh sekretaris redaksi yang segera menyodorinya dengan selembar kuitansi. Voila, melotot matanya menangkap angka yang tertera di sana. Ia bergumam, teman-teman sesama pengangguran akan ditraktirnya makan ketoprak sekenyangnya.
Sesaat sebelum kuitansi itu ia tanda tangani, sang sekretaris redaksi mengangsurkan majalah yang memuat kartun hasil karyanya. Kartunis kita ini segera membukanya demi mengagumi hasil karyanya sendiri. Dan olala, betapa terkejut dia saat melihat bahwa telah terjadi kesalahan fatal! Gambar yang dimuat ternyata karya orang lain tetapi didata atas nama dirinya. Keringat dingin segera merembes di sekujur tengkuk. Gemetar tak terkira.
Pikirannya berkecamuk. Bila kuitansi itu ia tanda tangani, berarti ia mencuri rezeki temannya sesama kartunis, yang boleh jadi lebih miskin ketimbang dirinya. Bila ia ceritakan hal sebenarnya kepada redaksi, maka ia tak akan menerima honor besar itu. Itu artinya ia harus rela pulang jalan kaki dan siap jadi bahan tertawaan teman-temannya. Ia memilih opsi kedua, mempertahankan kewarasan demi menepati integritasnya sebagai seorang seniman. Dia memilih pulang dengan berjalan kaki melintasi Jakarta yang panas dan hampir pingsan lantaran didera rasa lapar dan kelelahan.
Begitulah integritas bekerja. Integritas seseorang terlihat saat ia diuji oleh sebuah keadaan yang sudah jelas, saat yang benar dan salah sudah gamblang dalam pikiran. Tinggal yang hati yang memutuskan. Kini sang motivator mengenang tindakannya itu dengan penuh kebanggaan.
Nah, bagaimana integritas kita sebagai seorang blogger? Juga sebagai pebisnis? Silakan baca pada tulisan ini. Selamat berakhir pekan! 🙂
Gak sabar nunggu yg utk blogger
LikeLike
Semoga tak lama lagi tayang 😛
LikeLike
Mempertahankan kewarasan itu bagian dari menjaga integritas. Maka, bila seseorang sudah tidak punya integritas, berarti ia sudah tak … 🙂
LikeLike
Betul sekali, Mas. Berusaha waras di tengah abad yang gila. Tak berintegritas berarti tak waras ya …
LikeLike